Oleh: Habibah, A.M.Keb
Pemerintah melalui Kementerian BUMN akhirnya memilih skema bail in atau penyuntikan modal sebesar Rp 22 triliun untuk menyelamatkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Dana ini diberikan dua tahap kepada PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) atau Bahana sebesar Rp 12 triliun di tahun depan, sisanya Rp 10 triliun di 2022. (https://www.cnbcindonesia.com)
Suntikan dana yang besar ini sungguh membuat geram rakyat. Ditengah kondisi pandemi yang membuat ekonomi semakin sulit, negara malah menyuntikan dana besar pada PT Asuransi Jiwasraya yang mengalami pailit. Yang mana pailitnya pun bukan karena mengurusi rakyat, tapi dinikmati oleh mereka-mereka oknum yang tidak bertanggung jawab.
Dari pemberitaan ini banyak pihak yang ikut mengkritisi kebijakan ini, Koordinator Komite Sosial Ekonomi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Said Didu dengan tegas menolak upaya suntikan dana tersebut.
Menurut Said, uang yang dipakai untuk memberikan PMN itu adalah milik rakyat. Harusnya dipakai untuk kepentingan rakyat, khususnya menyelesaikan masalah pandemi Covid-19. Ia meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk membuka seluruh aliran dana PT Jiwasraya. Mengamati ketidakwajaran dan kemungkinan terjadinya pencucian uang (Kompas, 3/10/2020).
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance ( Indef) Enny Sri Hartati mengkritik langkah DPR RI dan pemerintah menyetujui penyuntikkan dana Rp 22 triliun ke PT Asuransi Jiwasraya (Persero) melalui skema penyertaan modal negara (PMN).
Menurut Enny, DPR dan pemerintah telah melakukan kejahatan berjamaah lantaran menyelesaikan kasus Jiwasraya melalui cara yang tidak beradab. "Ini menurut saya kejahatan yang berjamaah. Walaupun DPR enggak ikut menikmati uang Jiwasraya, tapi DPR menyetujui penyelesaian dari (kasus) Jiwasraya dengan cara-cara yang tidak beradab," kata Enny kepada Kompas.com, Jumat (2/10/2020). (https://nasional.kompas.com)
Maka wajar saja bila banyak yang mengkritisi kebijakan ini, karena sungguh kebijakan ini sudah mendzalimi rakyat. Ditengah pandemi dan krisis ini tak seharusnya pemerintah menyuntikan dana begitu besar, kenapa anggaran sebesar itu bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat ditengah himpitan ekonomi yang begitu sulit, ditambah dengan adanya pembuatan RUU Ciptaker yang semakin menyempurnakan kesengsaraan rakyat. Sungguh penyelesaian kasus jiwasraya mencerminkan buruknya pemerintah dalam mengurus urusan rakyat.
Akibat pandemi, 3,06 juta jiwa harus di-PHK (Data per 27 Mei 2020, cnnindonesia.com, 20/7/2020). Kemiskinan sebagai dampak pandemi pun bertambah. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan per Maret 2020 mencapai 9,78%, sekitar 26,42juta jiwa. Apalagi di kuartal ke-3 ini, Indonesia mengalami resesi akibat pandemi. Masyarakat pastinya merasa tambah sulit lagi.
Resesi seharusnya menjadi momentum mereformasi sistem ekonomi, bukan malah menghidupkan sektor ribawi, karena jelas asuransi didalamnya terdapat praktek ribawi. Beberapa alasan bahwa asuransi termasuk ribawi antara lain: a) Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi; b) Asuransi mengandung unsur yang tidak jelas dan tidak pasti; c) Asuransi mengandung unsur riba atau rente; d) Asuransi mengandung unsur eksploitasi, karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan; e) Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba (karena uang tersebut dikreditkan atau dibungakan); f) Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar uang tidak tunai dengan uang tunai.
Dalil keharaman riba dapat ditemui dalam al-Qur’an maupun Hadis. Ayat yang secara tegas mengharamkan riba adalah Surat al-Baqarah: 275
ÙˆَØ£َØَÙ„َّ اللَّÙ‡ُ الْبَÙŠْعَ ÙˆَØَرَّÙ…َ الرِّبَا
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Dipertegas lagi dalam Surat al-Baqarah: 278
ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ Ø¢َÙ…َÙ†ُوا اتَّÙ‚ُوا اللَّÙ‡َ ÙˆَØ°َرُوا Ù…َا بَÙ‚ِÙŠَ Ù…ِÙ†َ الرِّبَا Ø¥ِÙ†ْ ÙƒُÙ†ْتُÙ…ْ Ù…ُؤْÙ…ِÙ†ِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka penyuntikan dana pada PT Jiwasraya yang pailitnya karena di korupsi oleh kelompok elit merupakan sebuah kedzaliman yang besar. Ini merupakan perampokan terhadap dana rakyat. Ibaratnya orang lain yang mencuri tapi kita yang harus bayar ganti ruginya, padahal kita tidak ikut menikmatinya.
Dalam kapitalis negara berperan sebagai regulator. Yang mana negara tidak bertanggung jawab dalam mengatur urusan rakyat. Rakyat dibuat mandiri baik sandang, pangan, papan, dan lainnya. Maka asuransi dimanfaatkan kapitalis sebagai lahan bisnis yang menggiurkan dan menguntungkan bagi mereka. Seolah olah persiapan tabungan jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Jelas hanya orang-orang yang berduit saja yang mengikuti, mereka yang miskin tak akan ikut-ikutan. Yang mana ketika ada masalah seperti ini, mencari solusi yang pragmatis dengan sesegera mungkin, tanpa memikirkan baik tidaknya solusi yang diambil.
Maka jelas hanya Islamlah yang mampu mewujudkan sistem ekonomi anti krisis, karena menghapus sistem ekonomi ribawi. Dalam negara Islam, sumber pendanaan diperoleh dari baitulmal yang dibagi menjadi tiga pos pendapatan. Pendapatan zakat yang akan dialokasikan untuk delapan orang yang berhak menerima zakat. Pos kedua, terdiri dari Jizyah, Kharaj, dan Fai, yang akan dipakai untuk keperluan administrasi negara termasuk menggaji pegawai negara, tentara, dan santunan penguasa.
Dan pos ketiga adalah pendapatan kepemilikan umum. Diperoleh dari pengelolaan SDA, baik hasil laut/perairan, tambang maupun hutan/padang sabana. Semua harta ini akan masuk ke kas umum. Hasilnya akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dari sinilah rakyat akan menikmati pendidikan, kesehatan gratis, termasuk menikmati pelayanan sarana dan prasarana umum.
Semua itu hanya bisa dilaksanakan dalam sistem kepemerintahan Islam, yang bersumber dari Allah yang Maha Pencipta dan Pengatur alam semesta ini.
0 Komentar