Oleh: Puji Ariyanti (Pegiat Literasi untuk Peradaban)
Indonesia mengalami krisis multidemensi. Dari persoalan ekonomi, hukum, sosial, politik, hingga persoalan ketenagakerjaan. Pandemi covid-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda telah landai. Rakyat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhannya, namun lapangan kerja tidak berimbang.
Alhasil pengangguran meningkat hingga terjadi masalah sosial, kejahatan merajalela seperti pencurian, perampokan. Masalah keluarga juga tak kalah peliknya. Karena istri yang menggantikan peran suami mencari nafkah menjadi pemicu perceraian.
Dalam sistem negara kapitalis, hubungan antara rakyat dengan pemerintah didasarkan pada asas untung dan rugi. Oleh karenanya subsidi akan menjadi beban kas negara. Inilah yang mendasari kenapa subsidi pemerintah dicabut. Dari subsidi listrik, gas elpiji, subsidi kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Akibatnya harga kebutuhan sekunder ataupun kebutuhan primer naik dan menjadi tanggung jawab rakyat. Sistem kapitalisme memunculkan kesenjangan sosial, karena barang dan jasa tetap dimiliki para pemilik modal. Rakyat yang miskin semakin susah hidupnya.
Dalam sistem Islam birokrasi diatur dengan sederhana, cepat pelayanannya serta profesionalitas. Negara menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warga negaranya. Khususnya bagi setiap laki-laki yang wajib bekerja dan menafkahi keluarganya Setiap orang yang memiliki status kewarganegaraan khilafah dan memenuhi kualifikasi, baik laki-laki maupun perempuan, muslim maupun nonmuslim boleh menjadi pegawai di departemen, jawatan, atau unit-unit yang ada.
Para Pegawai Negeri Sipil dalam negara Khilafah adalah pegawai negara yang akan diupah dengan akad ijarah (kontrak kerja) dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaannya.
Imam Ad Damsyiqi menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa, di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khaththab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikalkulasikan artinya gaji guru (kala itu) sekitar Rp30.000.000. Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS ataupun honorer.
Para pegawai negeri merupakan ajir (pegawai/pekerja). Rekrutmen pegawai negara dalam Islam tidak mengenal istilah honorer. Karena pegawai negara akan direkrut sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi.
Dari sisi tanggung jawab para pegawai, maka mereka adalah para pekerja. Pada saat yang sama mereka juga berposisi sebagai ra’in (pelayan/pengurus rakyat). Dari sisi pelaksanaan tugas (sebagai pekerja), mereka bertanggung jawab kepada kepala jawatan, yaitu kepada direktur jawatan.
Adapun dari sisi pelayanan/pengurusan mereka bertanggung jawab kepada Khalifah, para penguasa, para wali dan mu’awin. Para pegawai negara terikat dengan hukum-hukum syariah dan peraturan administratif yang ada.
Gaji pegawai negara diambil dari kas baitulmal. Bila kas baitulmal tidak mencukupi, maka bisa ditarik dharibah/pajak yang bersifat temporer. Di saat sama, karena terbukanya lapangan kerja maka menjadi Pegawai Negeri bukanlah satu-satunya pekerjaan yang dikejar oleh warga negara untuk mendapat beragam jaminan hidup layak dan tunjangan hari tua.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Wallahu'alam Bissawab[]
0 Komentar