Konflik Lahan, Akankah Rakyat Bertahan?

Oleh : Sunarti

Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

***

Tambal sulam persoalan. Begitulah negeri yang menganut sistem buatan manusia. Tak cukup dengan satu kebijakan untuk menuntaskan satu persoalan, sudahlah muncul persoalan baru. Berbagai kebijakan pun diambil, akan tetapi kebijakan malah memunculkan persoalan baru pula. Bertambah karut marut.

Ambil satu contoh saja undang-undang Cipta Kerja. Yang menimbulkan pro dan kontra. Misalnya, beberapa waktu yang lalu, sebelum undang-undang ini disahkan, pihak Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti tambahan kategori kepentingan umum untuk pengadaan tanah dalam draf omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Tambahan ini dikhawatirkan akan memperparah konflik agraria (Kompas.com).

Menurutnya Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, saat dihubungi Kompas.com, pada hari Senin (10/8/2020), “Atas nama pengadaan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umum, RUU Cipta Kerja akan memperparah konflik agaria, ketimpangan, perampasan dan penggusuran tanah masyarakat."

Terkait dengan Pasal 121 RUU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 8 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal ini menambah empat poin kategori pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Demikian sorotan dari Dewi Sartika.

Lebih lanjut disebutkan, keempat kategori baru itu adalah kawasan industri minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan lain yang diprakarsai atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD. Kawasan lain yang belum diatur RUU Cipta Kerja akan ditetapkan dengan peraturan presiden (PP).

Menilik apa yang disampaikan oleh pihak agraria, membuktikan bahwa akan muncul persoalan baru pada pasal yang disebutkan di atas. Rakyat sebagai pemilik lahan akan rawan terjadi konflik dengan pihak pemerintah atau swasta. Ini dinilai pula oleh Dewi ketentuan tersebut dapat mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian dan berpotensi merugikan kelompok petani. Proses alih fungsi lahan yang dipermudah, menurut Dewi, akan memperparah konflik agraria, ketimpangan kepemilikan lahan, praktik perampasan dan penggusuran tanah (dikutip dari Kompas.com).

Nyata sudah dominan keberpihakan rezim berada pada pemilik modal (kaum kapitalis). Tumpang tindih kebijakan yang tidak terelakkan. Akhirnya rakyat yang menjadi korban.

Padahal, tanah termasuk sebagai lahan tempat tinggal. Dan hal tersebut adalah kewajiban negara dalam rangka melakukan periayahan kepada rakyat. Tempat tinggal sebagai kebutuhan pokok selain sandang dan pangan. Maka sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara. 

Tanah sebagai kepemilikan umum yang keberadaannya bukan untuk dijual atau dimiliki oleh swasta. Kalaupun ada pembangunan dalam berbagai wilayah, itupun dengan mempertimbangkan tempat tinggal dan prioritas-prioritas pemanfaatan lahan. 

Apalagi pengolahan sumber daya alam yang menyebabkan terjadinya kerusakan lahan dan berimbas kepada lingkungan rakyat, semestinya tidak dibiarkan terjadi. Namun sayang, alih-alih mempertimbangkan nasib tempat tinggal rakyat, kebijakan justru membuka peluang para investor untuk menguasai lahan milik warga. Meski dengan alasan pariwasata, perkembangan industri dan lain sebagainya, pada faktanya efek samping yang lebih buruk akan lebih dominan. Bukankah sudah kewajiban negara menjaga keamanan dan ketentraman warganya? Mengapa muski membuka peluang konflik baru pada rakyat sendiri?

Wallahu alam bisawwab.

Posting Komentar

0 Komentar