Normalisasi UEA, Bahrain Dan Israel, Penghianatan Pada Palestina?

Oleh : Yanik Inaku (Anggota Komunitas Setajam Pena)

Dunia Islam terperangah. Uni Emirat Arab menyatakan diri melakukan langkah normalisasi dengan Israel. Arab Saudi hingga kini masih bungkam terkait hal ini,  Uni Emirat Arab menjadi negara Teluk Arab pertama yang secara resmi memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Uni Emirat Arab dan Bahrain resmi menandatangani kesepakatan normalisasi hubungan dengan Israel di Gedung Putih, Amerika Serika. Sebelum Bahrain dan Uni Emirat Arab, Israel baru berdamai dengan Mesir pada 1979 dan Yordania pada 1994. Kesepakatan antara UEA dan Israel terjadi pada (14/8). Keduanya setuju menjalin hubungan diplomatik dalam perjanjian yang ditengahi Presiden AS Donald Trump. Presiden AS Donald Trump pada momen kesepakatan antara Israel dan UEA dengan gembira mengumumkan adanya prospek perjanjian historis lainnya dengan negara-negara Arab dan Islam. 

Organisasi negara-negara Arab, Liga Arab, menolak untuk mengeluarkan resolusi yang akan mengutuk kesepakatan normalisasi baru-baru ini antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA). Kesepakatan itu dimediasi oleh Amerika Serikat (AS). Penolakan Liga Arab untuk mengutuk kesepakatan itu merupakan pukulan terbaru bagi Palestina. Sebelumnya, Palestina juga meminta untuk pertemuan darurat agar pakta Israel-UEA ditolak oleh kelompok itu bulan lalu. Banyak negara muslim yang berwacana seperti itu termasuk indonesia. Lagi-lagi ini pengkhianatan terhadap upaya Palestina. Lewat normalisasi dengan Israel, Bahrain melanggar semua resolusi Arab. Walaupun demikian, pejabat pemerintah UAE dan Bahrain meyakinkan komunitas Muslim dunia bahwa normalisasi itu bukan tanda bahwa mereka meninggalkan rakyat Palestina dan perjuangan mereka untuk merdeka.

Bagi Palestina, normalisasi itu tidak terlalu mengejutkan karena UAE dan Bahrain telah menjalin banyak hubungan dagang sebelum mereka membuat kesepakatan normalisasi hubungan dengan Israel. Sejumlah pemikir-cum-aktivis asal Palestina, antara lain Salem Barahmeh dan Yara Hawari, melihat normalisasi hubungan diplomatik dan perjanjian damai itu tidak akan mengubah status quo saat ini di Palestina, yaitu praktik penjajahan dan politik apartheid praktik diskriminasi berdasarkan kebangsaan/ras yang dilakukan Israel terhadap Bangsa Palestina. Normalisasi hubungan dengan Israel itu tidak sejalan dengan perjuangan rakyat Palestina yang menghendaki kemerdekaan, salah satunya bebas dari pendudukan militer tentara Israel.

Kita sering sering mendengar tentang kebiadaban zionis Israel terhadap Palestina. Pemberitaan korban di Gaza, Palestina yang terus bertambah. Entah berapa banyak lagi korban jiwa yang harus melayang karena kekejian bangsa Israel. Telah begitu jelas dalam al-qur'sn yang menyatakan sifat-sifat Yahudi tentang kebenciannya terhadap Islam. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Yahudi adalah sejarah pembangkangan dan pengkhianatan. Karena itu sungguh sangat aneh jika pemimpin-pemimpin Islam masih berharap mengadakan negosiasi dan perjanjian perdamaian dengan zionis Israel. Allah Ta’ala telah jelas-jelas menerangkan permusuhan Yahudi dalam firmanNya: "Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik."

Akidah Islam telah menjadi asas bagi seluruh bentuk hubungan yang dijalankan oleh kaum Muslim, termasuk politik dalam dan luar negeri. Islam memandang, hubungan dengan negara-negara luar dibatasi dalam ruang lingkup negara. Bagi individu-individu atau partai-partai sama sekali dilarang melakukan hubungan dengan negara manapun. Dalam hubungannya dengan lembaga internasional, Khilafah tidak boleh ikut dalam lembaga internasional maupun regional yang tidak berasaskan Islam atau menerapkan hukum selain Islam. Selain itu, lembaga-lembaga ini merupakan alat politik negara besar, khususnya Amerika Serikat. Amerika Serikat telah memanfaatkan lembaga-lembaga ini untuk meraih kepentingan-kepentingan khusus mereka. Lembaga-lembaga ini merupakan media untuk menciptakan dominasi kaum kafir atas kaum Muslim dan negara Muslim. Oleh karena itu, secara syar‘î, hal ini tidak diperbolehkan.

Wallahua'lam bishowab.

Posting Komentar

0 Komentar