Omnibus Law Mengancam Alam

Oleh : Sofia Ariyani, S.S.m (Pemerhati Kebijakan Publik)

UU Omnibus Law diketuk palu. Pengusaha menyambut baik angin segar ini. Artinya investor asing akan berbondong-bondong membuka usaha di Indonesia. Adakah hal ini kabar baik untuk rakyat? Nampaknya tidak. Tidak hanya buruh yang menjadi objek penderita, lingkungan hidup pun akan terdampak atas disahkannya UU sapu jagat ini.

Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Begitulah UU Omnibus Law dibuat, mengundang kontroversial. Memberikan "lapangan pekerjaan" tapi juga membuka bahaya bagi lingkungan hidup.

Dilansir oleh cnnindonesia.com, Pakar hukum lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Totok Dwi Widiantoro menilai UU Cipta Kerja mengeksploitasi sumber daya negara, baik alam dan manusia. Ini dilihat dari berbagai pasal yang diatur dalam UU yang diharapkan mendongkrak investasi itu.

"Spirit dan semangat UU ini berorientasi utama pada ekstraksi. Jadi mengejar kepentingan eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, termasuk manusia," katanya melalui konferensi pers daring yang digelar FH UGM, Selasa (6/10). (cnnindonesia.com, 06/10/2020)

Dengan dalih akan mempermudah membuka lapangan pekerjaan sejatinya undang-undang ini merusak alam. Kemudahan itu nampak pada pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat. Hal ini bertolak belakang dengan aturan sebelumnya. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan. Jika tidak ada rekomendasi Amdal, maka izin lingkungan tak akan terbit. (katadata.co.id, 06/10/2020)

Dalam Omnibus Law, angka 30 persen hilang dan pengaturan diserahkan kepada pemerintah pusat di tingkat yang lebih rendah dari UU, yaitu Peraturan Pemerintah (PP).

"Pemerintah pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau," demikian beleid ini di Pasal 18 ayat 2 ini diganti, dalam Pasal 36 Omnibus Law.

Alasan penghapusan kewajiban 30 persen ini tertuang dalam naskah akademik Omnibus Law halaman 1347. "Kewajiban mempertahankan kawasan hutan minimal 30 persen ini sudah tidak relevan dengan perkembangan saat ini mengingat di Pulau Jawa sendiri, kawasan hutan sudah kurang dari 30 persen"

Selain menghilangkan klausul 30 persen, Omnibus Law juga menambahkan satu ayat dalam Pasal 18 UU Kehutanan. Bunyinya yaitu: "ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan, termasuk pada wilayah yang terdapat Proyek Strategis Nasional (PSN) diatur dengan PP". (bisnistempo.co, 10/10/2020)

Adanya revisi pada UU Omnibus Law sejatinya mengonfirmasikan bahwa undang-undang ini dibuat hanya untuk kepentingan segelintir orang semata (baca: kapitalis). Dan membuktikan undang-undang buatan manusia hanya menyisakan cacat di mana-mana. Begitu nampak pengeksploitasian alam terjadi tanpa lagi memperhatikan amdal. Lahan-lahan hijau kini dibabat habis untuk pembangunan pabrik-pabrik. Tak ayal bencana alam pun belakangan ini sering menghampiri negeri. Atas nama pertumbuhan ekonomi kesejahteraan dan keamanan rakyat diabaikan. 

Inilah ciri khas sistem ekonomi kapitalisme dengan prinsip kebebasan berkepemilikannya. Meraup keuntungan sebesar-besarrnya tanpa memperhatikan kemaslahatan alam maupun manusianya. Serta kemandulan negara terhadap periayahan (pemeliharaan) rakyatnya menambah beban derita kaum buruh. Dalam sistem ini negara hanya berperan sebagai regulator, pengawas semata.

Islam sangat memperhatikan lingkungan hidup. Lingkungan hidup harus hidup beriringan dengan manusia. Keduanya saling memberikan manfaat. Daulah (negara) sebagai periayah berkewajian memenuhi tanggung jawabnya kepada rakyat. Negaralah yang menciptakan lapangan kerja untuk warga negaranya, dengan membuka lahan atau mengeksplor sumber daya alam hanya untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Dengan demikian negara akan memperhatikan Amdal, tidak mengeksploitasi alam. Karena hasilnya hanya diperuntukkan bagi warga megaranya. Bukan untuk kepentingan ekonomi sebagaimana sistem kapitalisme hari ini. Dimana, alam dieksploitasi untuk kepentingan pribadi., mengeruk habis-habisan demi kantong sendiri.

Itulah mengapa pengelolaan sumber daya alam harus dikelola oleh negara, bukan swasta. Karena kekayaan alam adalah bagian kepemilikan umum. Dan ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya akan diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum dalam bentuk pelayan publik seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, listrik gratis, dan sebagainya. Begitu pula sandang, pangan, dan papan adalah negara yang memenuhinya dari hasil pengelolaan sumber daya alam.

Inilah alasan kekayaan alam haram hukumnya dikuasai oleh individu, swasta, apalagi asing. Hal ini merujuk kepada hadis Rasulullah saw.:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah).

Rasul saw. juga bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah).

Dengan demikian, tanggung jawabnya negara terhadap periayahan rakyat tidak akan menimbulkan kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Apa yang terjadi pada buruh hari ini adalah karena rusaknya sistem kapitalisme. Dimana, aturan hidup dibuat oleh manusia lemah yang penuh dengan keserakahan. Undang-undangnya sarat akan kepentingan para kapitalis. Zalim dan eksploitatif. Inilah yang menyebabkan kerusakan fisik dan mental. Serta menyengsarakan manusia.

Hanya Islamlah dengan syariat-Nya yang sempurna mengatur manusia dan alam tanpa ada kerusakan, perselisihan, dan pertentangan. Dan hanya dalam instutusi negara Daulah Islam umat manusia akan sejahtera di bawah naungannya. Islam rahmatan lil alamin akan dirasai oleh seluruh makhluk.

Wallahu 'alam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar