Omnibus Law RUU Cipta Kerja Disahkan, Untuk Siapa?

Oleh: Iit Oktaviani Patonah, S. Pd. (Aktivis Islam Kaffah)

Pasca disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang  pada tanggal 5 Oktober 2020, berbagai elemen masyarakat termasuk kaum buruh melakukan aksi penolakan besar-besaran. Keputusan yang diambil pemerintah kali ini sontak menuai beragam kontroversi. Pasalnya, UU Cipta Kerja dinilai banyak pihak merugikan para buruh dan tenaga kerja Indonesia. Yang diuntungkan justru adalah para pengusaha serta pemilik perusahaan asing. RUU Cipta Kerja juga lebih banyak mengakomodir kepentingan pebisnis. 

Kelompok rentan seperti nelayan, petani, pekerja, UMKM, sama sekali tidak diperhatikan. Hal tersebut selaras dengan pernyataan anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman yang mengungkap  bahwa RUU ini dibuat hanya untuk melayani kepentingan dan keserakahan pengusaha-pengusaha yang menurutnya berada di lingkaran oligarki kekuasaan saat ini. (Merdeka.com, 6/10/2020 )


UU Cipta Kerja Untuk Siapa?

Dengan pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja ini, sangat wajar bahwa masyarakat khususnya kaum buruh mempertanyakan sebenarnya dalam rangka apa dan untuk siapa UU ini? Mari kita cermati bersama, dibawah ini adalah poin-poin yang dianggap akan sangat merugikan dan merusak kesejahteraan rakyat kecil dilansir dari Cekaja.com 19/02/2020, diantaranya:

1. Upah minimum di kabupaten/kota hilang

Poin pertama yang disoroti adalah hilangnya ketentuan upah minimum di kabupaten/kota. Berdasarkan RUU Cipta Kerja (sebelumnya Cipta Lapangan Kerja), pasal 88C ayat (2) hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP). Sedangkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, penetapan upah dilakukan di provinsi serta Kabupaten/Kota.


2. Pesangon menurun dan tanpa kepastian

Poin kedua ini yaitu soal nilai pesangon yang dianggap menurun dan tanpa kepastian. Nilai pesangon bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) turun karena pemerintah menganggap aturan sebelumnya tidak implementatif. Aturan perihal pesangon ini ada di UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


3. Bisa asal PHK

Karena adanya aturan outsourcing dan karyawan kontrak bebas yang tak ada batas waktu, maka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dianggap menjadi mudah dilakukan. Dalam seumur hidup boleh dikontrak dan di-outsourcing. Dalam RUU Cipta Kerja, agen outsourcing resmi diberi ruang oleh negara.


4. Tenaga ahli daya semakin bebas

Selanjutnya, KSPI menganggap, Omnibus Law ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas. Padahal; sebelumnya dalam aturan UU mengenai Ketenagakerjaan, penggunaan outsourcing dibatasi dan berlaku hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok. 


5. Penghapusan sanksi pidana perusahaan

Alasan kelima, federasi buruh mengkhawatirkan soal penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar. Omnibus law menggunakan basis hukum administratif, sehingga para pengusaha atau pihak lain yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda. Karena sebelumnya pelanggar tersebut masuk dalam kategori kejahatan.


6. Aturan jam kerja yang eksploitatif

Pada pasal 89 RUU Cipta Lapangan Kerja poin 22 berisi perubahan dari pasal 79 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Isinya, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Dalam bekerja, setiap buruh memiliki hak yang manusiawi. Sedangkan waktu kerja dituntut paling lama 8 jam perhari, dan 40 jam dalam satu minggu. Serikat pekerja khawatir, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.


7. Hilangnya jaminan sosial

Seperti yang dikatakan Said Iqbal Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), bagi. Dengan karyawan kontrak dan outsourcing, tak ada jaminan sosial pensiun. Pekerja yang haid, sakit, dipotong gaji.

Menurut Said, hal ini akibat dari adanya sistem kerja yang fleksibel. Agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan. Sementara itu fleksibilitas jam kerja menurut serikat buruh akan membuat kepastian pengangkatan pekerjaan tidak jelas.


8. Karyawan dikontrak tanpa batas

Pemerintah menghapus aturan perjanjian kerja antarwaktu pada pasal 59 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penghapusan ini diketahui melalui draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja yang sudah disampaikan oleh pemerintah ke DPR. Aturan tersebut berlaku untuk semua jenis pekerjaan, dan jika seseorang bekerja bisa seumur hidup lamanya.


9. Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) 

Aturan ini dikhawatirkan dan karena berpotensi untuk penggunaan buruh kasar bebas, karena tak perlu izin tertulis dari menteri. Jika aturan ini dihapus justru akan lebih membuka peluang besar dan industri startup dan lembaga pendidikan TKA bebas bekerja. Hal ini tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena persaingan kerja yang ketat antara orang lokal dan orang asing.


Kalau kita perhatikan beberapa poin diatas jelas menjawab untuk siapa sebetulnya UU ini disahkan, tak lain hanyalah demi kepentingan para pengusaha. Di era kapitalis hari ini pemerintah tidak lagi mementingkan kepentingan masyarakat, terlebih ditengah keterpurukan ekonomi sebagai imbas dari pandemi Covid-19. Sungguh sangat disayangkan. 

Namun nyatanya hal tersebut sangatlah wajar sebagai hasil dari busuknya sistem kapitaslime. Kapitalisme yang serakah memaksa para pepimpin Indonesia membuat aturan untuk memuluskan jalan mereka dalam mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Pemerintah dijadikan alat eksploitasi, bukan hanya pada SDA (Sumber Daya Alam) nya saja, namun dengan disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini juga menyasar SDM (Sumber Daya Manusia) nya.

Dalam kasus ini, bisa kita pastikan yang menjadi korban adalah masyarakat secara umum dan khususnya para buruh Indonesia. Pasalnya dalam sistem kapitalis mereka yang memiliki modal besar akan mampu menguasai segala hal, termasuk pemerintah kita sekalipun. Pemerintahlah yang seharusnya menjamin kebutuhan dasar masyarakat, bukan pengusaha. Kebutuhan dasar masyarakat baik kesehatan, pendidikan maupun keamanan wajib dipenuhi oleh pemerintah. Namun di sistem kapitalis penguasa membebankan itu semua pada pengusaha. Tak mau kalah, pengusaha pun akhirnya berlepas tangan juga dari menjamin kesejahteraan para buruh melalui tangan-tangan ampuh penguasa dalam bentuk perundang-undangan. 

Peraturan yang akhirnya tidak berpihak pada kepentingan masyarakat ini tidak terlepas dari kuasa modal dalam dunia politik. Akibatnya, dana korporasi dalam jumlah besar digelontorkan untuk membiayai kebutuhan politisi dan pejabat kenegaraan. Alhasil, tidak heran bila kebijakan yang diambil penguasa hari ini cenderung menguntungkan pebisnis. (transisi.org, 19/02/2020)

Demikianlah watak licik kapitalisme. Dengan segala tipu daya yang senantiasa para pemainnya lakukan, menyebabkan kesengsaraan yang dirasakan masyarakat, terus-menerus. Maka dari itu, marilah kita semua bersatu dan saling berpangku tangan untuk menghancurkan sistem kapitalisme sampai ke dasarnya. Menggantikan sistem buruk ini dengan sisitem yang sudah jelas kebenarannya datang dari Allah Swt, yakni Islam. Sistem Islam yang diterapkan dalam wadah bernama Daulah Khilafah Islamiyyah. Wallahua’lam

Posting Komentar

0 Komentar