Pendidikan Negeri Kita Bagai Remaja Puber, Mampukah Melahirkan Generasi Terbaik?

Oleh: Widhy Lutfiah Marha (Pendidik Generasi)

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyatakan terdapat tiga permasalahan pendidikan yang harus segera diatasi di Indonesia. Ia menyatakan persoalan itu merujuk pada hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian Pelajar Internasional.

Dari hasil survei PISA tahun 2018, skor rata-rata Indonesia menurun di tiga bidang kompetensi yakni di bidang membaca, kemampuan matematika, dan kemampuan sains. “Berdasarkan survei PISA kita bisa mengetahui tiga permasalahan utama yang harus diatasi,” ujar Jokowi saat membuka rapat terbatas tentang  'Strategi Peningkatan Peringkat Indonesia dalam PISA' melalui siaran langsung di akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (3/4/2020).

Mengacu pada survei PISA, kata Jokowi, perlu langkah-langkah perbaikan menyeluruh baik dari aspek peraturan, regulasi, anggaran infrastruktur, manajemen sekolah, kualitas guru, hingga beban administratif guru. “Ini berkali-kali saya tekankan, mengenai beban administratif guru. Guru tidak fokus kegiatan belajar mengajar, tapi lebih banyak dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan administratif. Ini tolong digarisbawahi,” ucap Jokowi. (CNNIndonesia.com, 4/4/2020)

Berdasarkan pemberitaan dari sumber dan waktu yang sama seperti di atas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memastikan bakal mengurangi beban siswa dalam penyederhanaan kurikulum. Ia berpendapat kurikulum saat ini masih membebani siswa. “Kita sudah sepakat akan menyederhanakan kurikulum kita sehingga lebih mudah dimengerti oleh guru dan siswa. Jadi jelas beban konten harus turun,” ujarnya melalui konferensi video seusai rapat terbatas bersama presiden, Jumat (3/4/2020).

Nadiem menilai kurikulum yang diterapkan di sekolah masih membebani siswa. Pada akhirnya Nadiem menilai guru tidak bisa mengajar sesuai kemampuan masing-masing siswa.

Jadi, keputusan pemerintah bisa berubah-ubah mengenai pendidikan negeri ini selanjutnya,  bagaikan remaja yang sedang puber. Jika dalam dunia psikologi, remaja puber itu ditandai dengan pencarian jati diri, emosi yang tidak stabil, labil dan penuh dengan keinginan coba-coba. Jadi sangat terasa bahwa pendidikan di negeri kita itu sering sekali coba-coba. Padahal, di  iklan saja mengatakan,” buat anak jangan coba-coba!” Pertama dari nama kementriannya yang berkali-kali ganti nama. Mulai dari kementrian pengajaran, kementrian pendidikan nasional, bahkan sekarang bernama kementrian pendidikan dan kebudayaan. Jika nama bermakna doa, dan nama memiliki makna filosofi mendalam sehingga akhirnya muncul sebuah nama, maka berarti ketidakkonsistenan negeri ini dalam memandang arti dari sebuah pendidikan. 

Kurikulum yang selalu berubah yang membuat pusing para orangtua. Mulai dari masalah buku pelajaran yang harus selalu membeli, karena milik kakaknya sudah tidak sesuai dengan kurikulum. Atau terkait penilaian yang terkadang terlalu sulit dimengerti oleh orangtua. Dengan adanya perubahan kurikulum maka terdapat perubahan muatan kurikulum. Dari beberapa responden orangtua, mereka merasa kesulitan membimbing anak-anaknya belajar dikarenakan anak SD mempelajari muatan pelajaran ketika dahulu orangtuanya SMP begitu seterusnya seperti anak SMA kini banyak mempelajari muatan yang seharusnya dipelajari ketika kuliah. Adanya fakta ini membuat orangtua berbondong-bondong memasukkan anaknya ke bimbingan belajar (bimbel) dan harus diikuti anak-anak sepulang sekolah atau bahkan privat agar sang anak mampu mengikuti materi-materi yang ada di sekolah.

Karena anak sibuk mengikuti bimbel atau privat sana-sini, maka terlupakanlah pendalaman agama bagi anak. Orangtua rela memplot waktu dan dana besar agar anak bisa memperdalam pelajaran sekolah, namun sangat jarang melakukan hal yang sama untuk memperdalam ilmu agama. Padahal, ilmu agama adalah bekal  kita bisa hidup bahagia dunia akhirat. Jika zaman kakek nenek kita tingkat buta huruf latin lebih tinggi daripada Al-Qur’an, sekarang malah sebaliknya. Lebih banyak yang buta huruf Al-Qur’an. 

Keparahan fakta ini didukung oleh dibedakannya sekolah agama dan sekolah umum. Seolah-olah, hanya orang yang berada di sekolah agama saja yang lebih berhak untuk memiliki pengetahuan agama yang lebih. Jadi, wajar saja jika sekolah umum yang hanya 2-3 jam pelajaran belajar agama mencetak kepribadian siswa yang labil juga. Sama seperti kurikulumnya. Kedewasaan dan kematangan siswanya diragukan.

Buktinya, gonta-ganti kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah tidak memberikan hasil yang berbeda. Sebab, permasalahan output pendidikan negeri ini akibat polemik sistemik. Bangsa dan negara ini tidak hanya butuh manusia yang cerdas tetapi juga shalih, beradab, serta berakhlakul karimah.

Sebab, cerdas dalam hal akademik saja tidak akan menjamin peserta didik menjadi insan kamil. Masih fresh diingatan, kasus Pandu, sang predator anak. Mantan Presiden Green Generation, mahasiswa UGM, bahkan mendapat beasiswa untuk lanjut S2 di luar negeri. Prestasinya yang segunung tak sebanding dengan kebejatannya. Begitupula Reynhard Sinaga. Maka, hanya berpatokan kepada hasil survei PISA tentu tak akan menghantarkan negeri ini ke arah yang lebih baik.


Hanya Pendidikan Islam yang Terbaik

Ketika negeri ini menginginkan lahirnya generasi berkarakter Islam, yang tidak hanya pandai di sekolah tetapi juga mampu mengaplikasikan pemahamannya untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan, beriman, bertakwa, serta memiliki budi pekerti yang luhur, sudah sepantasnya pemerintah melirik sistem Islam. Dalam sistem Islam terdapat sebuah sistem pendidikan Islam yang mampu melahirkan generasi terbaik (Ali ‘Imran:110), shalih (Adz Dzariyat:56, Al A’raf:189), penyenang hati (Al Furqan:74), pemimpin orang-orang bertakwa (Al Furqan:74, Al Baqarah:30), serta cerdas (Ali ‘Imran:190).

Islam memiliki pandangan yang khas terkait pendidikan. Pendidikan, dalam Islam dipandang sebagai salah satu jawaban bagi pembentukan dan perbaikan generasi. Oleh karena itu, wajib bagi sebuah negeri yang ingin membangkitkan generasi dari keterpurukan untuk menggantinya dengan sistem pendidikan Islam.

Berdasarkan buku Dasar-Dasar Pendidikan Negara Khilafah karya syeikh ‘Atha bin Khalil dengan judul asli kitab Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah, sistem pendidikan Islam disusun dari kumpulan hukum syara’ yang berkaitan dengan pendidikan. Hukum-hukum tersebut terpancar dari akidah Islam.

Berbicara tentang sistem pendidikan, maka hal pertama yang harus dibahas adalah kurikulum. Kurikulum pendidikan Islam wajib berlandaskan akidah Islam. Sebab, kurikulum merupakan ruh yang dirancang untuk mewujudkan output pendidikan sesuai yang diinginkan. Ketika yang diharapkan generasi emas, maka menanamkan akidah Islam sebagai dasar pemikiran adalah suatu kewajiban. Dari akidah Islam inilah akan lahir life skill yang mumpuni disertai pemahaman tsaqofah Islam untuk melaksanakan tujuan hidupnya sebagai pemimpin orang-orang yang bertakwa. Kemudian, seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan disusun agar tidak menyimpang dari landasan akidah Islam tersebut.

Kedua, strategi pendidikan. Strategi pendidikan Islam adalah membentuk pola pikir Islami (‘aqliyah Islamiyah) dan pola sikap yang Islami (nafsiyah Islamiyah). Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut. Hal ini dilakukan agar tertancap konsekuensi keimanan seorang muslim. Dimana sebagai seorang muslim, dia harus memiliki keteguhan dalam memegang identitas kemuslimannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan Islam ialah membentuk kepribadian islami (Syakhsiyah Islamiyah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan anak-anak kaum muslimin menjadi ulama-ulama yang ahli di bidangnya, baik ilmu keislaman (ijtihad, fiqih, dan lain-lain) maupun ilmu terapan (kedokteran, teknik, kimia, dan lain-lain). Ulama yang mumpuni akan membawa negara Islam dan umat Islam berada di puncak keemasan dan kejayaannya. Tidak akan ada negara yang berani untuk menjarah apalagi menjajah. Hanya akan ada negara-negara yang ingin ikut tunduk di bawah naungan negara Islam.

Keempat, strategi penyelenggaraan pendidikan. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan, yaitu jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma atau gratis. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan secara gratis pula. 

Negara wajib menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, selain gedung-gedung sekolah, kampus, untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, dan tafsir, termasuk di bidang pemikiran, kedokteran, teknik, kimia, serta penemuan, inovasi, dan lain-lain, sehingga di tengah-tengah umat lahir sekelompok mujtahid, penemu, dan inovator.

Pendidikan berkualitas seperti yang diuraikan di atas dijamin bisa dinikmati oleh seluruh warga negara, muslim maupun non muslim, kaya maupun miskin. Seluruh pembiayaan tersebut diambil dari Baitul Mal, yakni pos fa’i dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah, yakni kepemilikan umum yang mencakup hasil-hasil sumber daya alam. Sehingga warga negara tidak akan mengeluarkan sepeser pun uang untuk mengenyam pendidikan berkualitas.

Sehingga wajar dari penerapan sistem pendidikan Islam lahirlah generasi emas yang membuat takjub bahkan hingga masa yang akan datang.  Sebut saja Imam Syafi’i, seorang mujtahid mutlak yang hafal Alquran sejak usia 7 tahun, mampu menghafal kitab Muwattha’ karya Imam Malik hanya dalam waktu 9 malam. Ada pula Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Modern yang telah mengarang sekitar 450 kitab tentang pengobatan dan kedokteran.

Semua itu hanya bisa diraih ketika negara ini berkiblat dan kembali kepada sistem Islam. Tidak ada kebangkitan yang hakiki tanpa Islam sebagai pondasinya. Tidak ada kejayaan tanpa penerapan hukum Allah. Dan tidak akan terjawab permasalahan generasi jika tidak mau mengambil Islam sebagai problem solver. 

Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar