Suara Mahasiswa, Suara Perubahan

Oleh : Ismawati (Aktivis Dakwah Banyuasin)

Sejak disahkan pada Senin (5/10) lalu Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja menuai kontroversi ditengah-tengah masyarakat. Sejumlah buruh, pelajar bahkan mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa sebagai bentuk protes terhadap Undang-Undang yang ditengarai menyengsarakan buruh. Bahkan di masa pandemi, Undang-Undang ini dikebut penyelesaiannya. Sehingga pasal demi pasal tidak terbahas mandalam.

Namun, muncul surat edaran dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentang pelarangan mahasiswa untuk tidak ikut aksi demo Omnibus Law Cipta Kerja tersebut. Surat edaran dengan nomor 1035/E/KM/2020  berisi pelarangan mahasiswa mekakukan demonstrasi dan mengimbau para dosen untuk tidak memprovokasi mahasiswa agar menolak UU tersebut, dilansir dari pikiranrakyat.com (11/10).

Meski demikian gelombang massa melakukan unjuk rasa semakin besar, tak terkecuali mahasiswa. Hanya saja, demo mahasiswa menolak UU Cipta Kerja mendapat respon dari pemerintah yang mengklaim mengetahui siapa dalang yang menggerakkan demo besar-besaran itu. Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto dalam wawancara dengan CNC Indonesia TV, Kamis (8/10) mengaku mengetahui pihak-pihak yang membiayai aksi demo tersebut. 

Sejatinya aksi yang dilakukan para intelektual muda (mahasiswa) adalah bentuk dari ekspresi kekecewaan mereka terhadap keberadaan wakil rakyat hari ini. Mereka berani menyuarakan aspirasinya untuk kesejahteraan buruh. Merasakan apa yang buruh rasakan setelah UU ini disahkan. Seharusnya negara mengaspresiasi sikap mereka yang tidak tinggal diam ketika sebuah Undang-Undang zalim mulai disahkan. Sebagaimana tanggapan dari Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim yang mengatakan seharusnya Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim memberikan apresiasi kepada para mahasiswa.

Satriawan Salim bependapat bahwa kampus merupakan tempat untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki peran sebagai intelektual organik. Jika mahasiswa memiliki intelektual yang satu napas dengan rakyat, betul-betul dapat merasakan apa yang dirasakan oleh para buruh, aktivis lingkungan dan yang lainnya, yang merasa dirugikan oleh UU Ciptaker ini. Itulah wajah para intelektual muda hari ini, meskipun isi dari UU itu sendiri masih dikatakan belum final. Namun, di alam demokrasi sekuler hari ini telah jelas kemana arah UU tersebut. Karena lahir dalam rahim demokrasi, alhasil isinya sebagian besar memihak kepada korporasi.

Sementara hari ini, di negara yang konon menganut kebebasan berpendapat, suara para intelektual muda dikerdilkan hanya sekadar memikirkan pribadi para korporasi. Mereka yang bersuara kritis nyaris selalu dibungkam. Meski demikian, selain menyampaikan aspirasi karena ketidaksetujuan akan UU Cipta Kerja ini, mahasiswa hendaknya memiliki bekal tentang solusi apa yang akan mereka tawarkan dan bagaimana menghantarkan kepada perubahan yang mendasar. Menolak UU Cipta Kerja juga harusnya menolak sistem yang melahirkannya. Hanya saja, intelektual muda hari ini kian terjebak dalam sistem pendidikan sekularisme kapitalis. Dimana orientasi pendidikan berasaskan tsaqafah asing, sehingga output pendidikan yang dihasilkannya adalah materi.

Sementara itu, harus kita sadari bahwa para intelektual muda adalah agen perubahan. Bahkan ada kutipan dari tokoh nasional Indonesia, Bung Karno yang mengatakan “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Karena ditangan merekalah kunci perubahan sebuah bangsa diraih. Bagaimanapun suara para agen perubahan ini sedikit banyak akan berpengaruh kepada umat. 

Oleh karena itu, intelektual muda hendaknya mengajak umat pada perubahan hakiki yakni kembali kepada hukum sang ilahi, sang pencipta dan pengatur kehidupan manusia didunia ini. Arah gerak perubahan yang benar harus disadari oleh para intelektual muda yakni dengan menyuarakan Islam sebagai solusi atas seluruh permasalahan bangsa ini. Dimana tidak lain akar masalahnya terletak pada ideologi kapitalisme yang sudah jelas kerusakannya.

Lihatlah bagaimana sistem pemerintahan Islam mendidik generasi menjadi generasi yang cerdas dengan Islam. Pendidikan di dalam Islam didasari dengan penanaman akidah yang kuat. Output generasi yang dihasilkan dari pendidikan Islam adalah membentuk generasi terbaik yang memiliki kepribadian Islam, menguasai fikroh (pemikiran) Islam dan menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sehingga sosok intelektual muda sebagai agen perubahan dapat dengan mudah diwujudkan, agar perjuangan mereka yang berkorban untuk kepentingan rakyat bukan sebatas emosional semata, tapi untuk menyuarakan Islam sebagai solusi perubahan.

Wallahu a’lam bishowab.

Posting Komentar

0 Komentar