Ujian Nasional Dihapus, Ciri Kapitalisme Dunia Pendidikan

Oleh : Bunda Dee (Ibu Rumah Tangga, Member Akademi Menulis Kreatif)

Pandemi Covid-19 masih menyisakan berbagai persoalan. Salah satunya terjadi pada sistem pendidikan. Saat ini sistem pendidikan di Indonesia kembali ramai diperbincangkan.  Kemendikbud, Nadiem Makarim menghapus Ujian Nasional secara resmi pada tahun 2021 dan sebagai gantinya diberlakukan Asesmen Nasional. Asesmen Nasional merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar, dengan tujuan untuk mendorong perbaikan mutu pembelajaran dan hasil belajar peserta didik. 

Penghapusan UN menjadi AN sepertinya tidak bisa diganggu gugat sebagai putusan final kementerian pendidikan. Buktinya, untuk memuluskan agenda tersebut pemerintah telah menyiapkan dana yang cukup fantastis padahal  penanganan Covid-19 yang tak kunjung finish harusnya lebih prioritas. Memang, setiap program baru butuh persiapan dan penunjang. Begitu pula AN (Asesmen Nasional). Mulai dari sarana, prasarana serta dana. 

Sebagaimana  dilansir  dari Kompas.tv, Menteri Nadiem Makarim  mengatakan pada saat rapat dengan Komisi X DPR RI, Kamis (3/9/2020) bahwa anggaran sebesar Rp1,48 trilyun akan digunakan untuk penyempurnaan Asesmen Nasional. Selain itu anggaran biaya juga digunakan untuk pelatihan yang akan memakan waktu. Dengan rincian anggaran untuk pelatihan dan pendampingan guru mencapai Rp518,8  miliar dan untuk asesmen kompetensi minimum dan akreditasi disiapkan dana sebesar Rp358,2 miliar.

Ujian Nasional (UN) sebelumnya merupakan ujian akhir yang bertujuan untuk menentukan kelulusan, pemetaan mutu pendidikan secara nasional, dan juga untuk seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. UN selama ini dijadikan sebagai tolak ukur standarisasi pendidikan di Indonesia. Artinya UN sangat dibutuhkan untuk mengetahui ukuran kualitas pendidikan siswa-siswi dan kualitas pengajaran suatu sekolah. Adapun Asesmen Nasional adalah satu kebijakan dimana sekolah tidak lagi mengevaluasi capaian murid secara individu, akan tetapi mengevaluasi, memetakan sistem pendidikan berupa input proses dan hasil. 

Hasil Asesmen Nasional 2021 tidak ada konsekuensinya untuk sekolah, hanya pemetaan agar tahu kondisi yang sebenarnya. Menteri Nadiem Makarim juga menambahkan agar tidak perlu cemas dan mengikuti bimbel khusus demi Asesmen Nasional karena Asesmen Nasional 2021 tidak memerlukan persiapan-persiapan khusus maupun tambahan yang justru akan menjadi beban psikologis tersendiri.

Kesiapan sarana dan prasarana sekolah termasuk sumber daya manusianya juga perlu dipikirkan. Sudah siapkah menerima kebijakan tersebut tanpa adanya sosialisasi dan evaluasi secara seksama? Karena dengan dihapusnya UN beban negara beralih ke sekolah . Tugas guru harus lebih kreatif dan inovatif dalam kegiatan belajar mengajar.

Sekali lagi, perubahan Ujian Nasional menjadi Asesmen Nasional sebaiknya harus dipertimbangkan secara matang dan tidak terburu-buru. Jangan sampai hal serupa terjadi saat adanya perubahan kurikulum, dimana guru-guru serta sarana prasarana sekolah belum siap untuk menjalankannya. Perubahan ini akan menjadikan guru dan siswa ibarat sebagai kelinci percobaan. Hal ini berdampak tidak akan lahir generasi-generasi unggul seperti yang diharapkan. Pengajar dan pelajar tentu  harus dipersiapkan terlebih dahulu hingga dapat beradaptasi dengan kebijakan baru dengan beragam konsekuensinya. 

Dinamika pendidikan yang mengharubirukan hati dan perasaan para orangtua, guru dan kalangan lainnya saat ini adalah buah penerapan sistem kapitalisme. Di sinilah kita semakin melihat betapa karut marutnya pendidikan yang dijalankan dalam sistem kapitalis. Perubahan berbagai kebijakan dianggap biasa sehingga timbul jargon ganti menteri ganti kebijakan atau ganti menteri ganti kurikulum. Perubahan berbagai kebijakan ini sudah menjadi “syarat”  bagi para agen untuk mewujudkan agenda besar yang sebenarnya dari negara penguasa sistem kapitalis yaitu Amerika Serikat. Dengan agenda membentuk karakter  yang hanya mengharap materi duniawi semata.

Hal ini sangat kontras dengan pendidikan Islam. Di dalam Islam, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan yang diperlukan manusia dalam kehidupannya. Semua ini harus terpenuhi bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan  termasuk di antaranya dalam aspek pendidikan. Baik pada tingkat pendidikan dasar, menengah  hingga pendidikan tinggi. Negara wajib menyediakannya bagi semua kalangan masyarakat kesempatan pendidikan secara cuma-cuma dengan fasilitas sebaik mungkin  Hal ini karena Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan primer bagi masyarakat.

Sistem pendidikan Islam telah menggariskan bahwasanya kurikulum wajib berlandaskan pada akidah Islam. Mata ajar serta metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa adanya penyimpangan sedikit pun dari asas tersebut. Politik pendidikan adalah membentuk pola pikir dan pola  sikap islami. Maka seluruh mata ajar disusun berdasarkan strategi tersebut.

Tujuan pendidikan di dalam Islam adalah membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam, handal menguasai pemikiran Islam,  berbagai keilmuan, menguasai ilmu-ilmu terapan IPTEK (ilmu, pengetahuan, dan teknologi) dan memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.

Pembentukan kepribadian Islam dilakukan pada semua jenjang pendidikan yang sesuai dengan porsinya melalui berbagai pendekatan. Barulah setelah anak didik mencapai usia balig,  materi yang diberikan bersifat lanjutan (pembentukan, peningkatan, dan pematangan). Hal ini dimaksudkan untuk memelihara sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatannya dengan syariat Islam sedari awal. Keberhasilan anak dilihat dari tingkat ketakwaannya kepada Allah.

Dari sinilah akan dihasilkan individu generasi yang memiliki kepribadian  mulia dan paham akan makna kehidupan sehingga kelak akan dirasakan peranannya di masyarakat.  Bukan anak  yang sekadar bisa menyelesaikan soal dengan kesulitan tingkat tinggi, namun minim dari sisi kepribadian. 

Syakhsiyah islamiyyah sebagai output pembelajaran dalam dunia Islam mampu mewujudkan generasi cemerlang dalam peradaban gemilang bahkan mampu melahirkan sosok-sosok mujtahid sekaliber Imam Malik, Imam Hanafi, Hambali, asy-Syafi'I  juga ilmuwan muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Jabar,  Ibn Khaldun dan sebagainya.

Dari paparan di atas, jelas bahwa sistem pendidikan Islam akan menghasilkan generasi mulia sekaligus mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dengan sangat pesat. Maka  wajar bila pada abad pertengahan, Islam menjadi pusat peradaban dan rujukan ilmu pengetahuan. 

Puncak pencapaian penguasaan sains dan teknologi pada zaman kejayaan umat Islam di masa lalu memang tidak bisa dilepaskan dari tegaknya sistem kekhilafahan. Dalam sistem ini ada komando yang terintegrasi secara global yang peranannya secara politik sejalan dengan peranan agama. Dengan demikian kita bisa melihat adanya integrasi tiga pilar utama pendidikan dalam pembentukan peradaban Islam yaitu Ilmu pengetahuan, agama, dan politik yang terpadu dalam satu kendali sistem  pemerintahan Islam di bawah pimpinan seorang penerap syariah kaffah (al imam/khalifah) Inilah sistem pendidikan yang kita dambakan, Sebagaimana penggalan  firman Allah dalam surah Al-Mujadillah ayat 11: 

 ....."Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan." 

Wallahu a'lam  bi ash-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar