Utang Menggunung, Negara Tergadai

Oleh: Ine Wulansari (Pendidik Generasi)

Indonesia, dengan segala kekayaan alam yang melimpah ruah menjadi magnet tersendiri bagi negara-negara lainnya. Sebagai salah satu negara  berkembang, Indonesia kian memantapkan diri meraih simpati negara-negara besar agar bisa sejajar di perpolitikkan global dengan cara investasi sebanyak mungkin. Ibarat gayung bersambut kesempatan tak di sia-siakan kaum imperialisme sekaliber AS dan China menancapkan maksud hatinya.

Salah satu investasi yang menjadi andalan Indonesia adalah dengan melakukan kerjasama di berbagai bidang dengan cara utang.   Utang pemerintah pusat tercatat hingga akhir Agustus 2020 sebesar Rp5.594,93 trilliun. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebutkan, utang Indonesia yang mencapai trilliun-an itu merupakan warisan dari Belanda. Sejak awal kemerdekaan, Belanda bukan hanya mewariskan perekonomian yang rusak, namun juga utang kata Sri dalam pembukaan Ekspo Profesi Keuangan 2020 melalui video conference. (finance.detik.com, 12/10/2020)

Pernyataan Menteri Keuangan ini secara tak langsung membuka tabir bahwa selama ini Indonesia belum layak  dikatakan sebagai negara yang merdeka dari ketergantungan kepada negara imperialisme. Bahkan warisan buruk tersebut diikuti oleh pemimpin negeri ini dengan staf kementeriannya. Luar biasa. Mental terjajah masih tumbuh subur di benak pejabat publik hingga tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman utang dengan segala topengnya. 

Kondisi tersebut, diakui atau tidak, menyebabkan Indonesia telah  berada dalam krisis ekonomi mengkhawatirkan. Penyebabnya, bukan karena wabah corona atau defisit APBN untuk korban wabah,  melainkan tumpukan utang luar negeri yang mengerikan jauh sebelum pandemi muncul. Mirisnya lagi  saat negeri ini dihantam berbagai macam problematika,  ditambah dengan kondisi ekonomi terpuruk dan utang menumpuk, Sri Mulyani dinobatkan menjadi Menteri Keuangan Terbaik Asia-Afrika tahun 2020 dari majalah Global Markets. Menurut majalah ini, penghargaan diberikan kepada Sri atas prestasinya dalam menangani ekonomi Indonesia di masa pandemi Corona.

Sedangkan menurut Fadli Zon, penghargaan yang  diberikan hanya penilaian yang nampak dari luar, nyatanya perekonomian Indonesia justru kian sulit. Seperti nilai tukar rupiah yang melemah dan utang negara yang semakin menggunung menjadi warisan bagi anak cucu kita. Fadli menyimpulkan, bahwa Menkeu merupakan menteri terbaik di mata asing. (TribunPalu.com, 17 Oktober 2020)

Sungguh mengherankan, di tengah keterpurukan bangsa akibat derasnya rentetan utang, justru sang menteri meraih penghargaan dari pihak asing. Tentu ini menimbulkan banyak pertanyaan, apakah layak penghargaan ini disematkan ketika kondisi ekonomi bangsa tengah terpuruk? Apa parameter yang digunakan untuk menilai situasi ekonomi semakin baik? Karena sangat jelas terlihat semakin bertumpuknya utang, maka aset publik dan negara satu demi satu beralih kepemilikan. Sehingga tak dapat dipungkiri penilaian asing ini sebagai jebakan agar negeri ini masuk ke dalam jeratan kapitalisme global. 

Suatu kebahayaan jika masuk perangkap kapitalisme global, utang ribawi yang ditawarkan dianggap sebagai bentuk hubungan kerjasama dan cara efektif untuk menutupi defisit anggaran pemerintah. Maka tidak heran jalan pintas pun diambil, dengan anggapan resiko kebangkrutan ekonomi yang ditimbulkan utang relatif lebih kecil. Padahal apabila diamati, sudah terbukti utang ribawi mengandung resiko yang besar. Tak ada yang gratis dalam paradigma kapitalis, utang ribawi jelas memiliki potensi bahaya atas negeri ini. 

Kebahayaan yang ditimbulkan utang luar negeri diantaranya sebagai alat campur tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan pemerintah, meraup sebanyak-banyaknya sumber pendapatan dari kekayaan alam, dan terus memperpanjang kontrak kerjasama sampai Indonesia dikuasai secara penuh.. Semua ini jika didiamkan tentu akan menimbulkan bencana dan kerusakan umat manusia disebabkan jeratan utang ribawi.

Dengan bergantung pada utang ribawi perekonomian yang dibangun tidak akan pernah stabil. Akan terus goyah bahkan terjatuh dalam krisis secara berulang. Kemandirian negara pun akan tergadai, karena diatur oleh berbagai kebijakan asing yang mengakibatkan pemimpin abai terhadap kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. 

Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallah bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu masa di mana saat itu mereka akan memakan riba, “Abu Hurairah berkata, maka timbulah pertanyaan kepada baliau: “Apakah semua manusia melakukannya?” Beliau menjawab: “Yang tidak makan di antara mereka akan mendapatkan debunya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An- Nasai dan Ibnu Majah)

Islam memiliki pandangan yang khas dalam menjalankan sistem pemerintahan tanpa intervensi dari pihak asing. Kepemimpinan Islam (khilafah) wajib menjadi negara mandiri tidak memiliki ketergantungan pada negara lain dan menjadi pemimpin bagi negara lainnya. Sebagaimana sabda Nabi saw: “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” (HR. Ad- Daruquthni)

Dengan menjadi negara mandiri, tak akan mudah didikte dan dikuasai. Kepemimpinan Islam akan menutup pintu bagi negara kreditur untuk menekan khilafah dengan utang yang diberikannya. Untuk itu, khilafah berupaya untuk membiayai seluruh kebutuhan warganya. Seluruh pembelanjaan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat yang diambil dari pos Baitul Mal.

Baitu Mal memiliki sejumlah sumber pemasukan tetap yakni, fa’i (ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan harta orang murtad.

Apabila pemasukan Baitul Mal tidak stabil atau mengalami kekosongain kas, maka negara akan menerapkan kewajiban pembiayaan kepada kalangan yang memiliki kelebihan harta (aghniya). Jika skema ini belum mampu memulihkan kas negara, maka khilafah bisa berhutang, akan tetapi tidak tunduk dengan aturan ribawi dan tidak akan menjadi negara yang mudah didikte. Khilafah hanya akan membayar hutang pokoknya saja tanpa membebani rakyat.

Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga,  dan potensi menutupi kebutuhan seluruh rakyat dari berhutang dapat dihindari.  Khilafah bertanggung jawab dalam mengoptimalkan harta kepemilikan umum yang tujuannya untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat dengan memenuhi kebutuhan secara keseluruhan.

Hanya dengan kembali pada aturan Islam dan menerapkan ekonomi Islam keberkahan akan terlimpah ruah bagi seluruh alam.


Wallahu a’lam bi ash shawab

Posting Komentar

0 Komentar