UU Cipta Kerja, Apakah "Amanah" Bagi SDA ?

Oleh : Ageng Kartika, S.Farm (Pemerhati Sosial)


Indonesia tanah air beta

Pusaka, abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala

Tetap dipuja-puja bangsa

Di sana tempat lahir beta

Dibuai dibesarkan bunda

Tempat berlindung di hari tua

Tempat akhir menutup mata


Keindahan tanah air Indonesia yang membentang begitu didambakan rakyatnya sampai mereka menutup mata. Kesejahteraan tergambar dari lagu tersebut.

Pada faktanya sekarang, keindahan alam tersebut tergerus oleh namanya perluasan usaha investasi baik oleh korporasi pribumi maupun asing. Sayangnya, cara perluasannya sering kali abai akan pembaharuan lingkungan sekitar. Dan imbasnya masyarakat merasakan dampak buruk akibat kerusakan alamnya.

Sang Khalik, Maha Pencipta, Allah Swt telah berfirman bagi hamba-Nya agar tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Menggunakan sebaik-baiknya manfaat dari ketersediaan alam agar terhindar dari musibah akibat kelalaian manusia dalam mengeksploitasi alam.

وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِين  

Artinya : “ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S Al ‘Araf, 17: 56)

Bumi Indonesia tengah berduka, RUU Omnibus Law Cipta Kerja diketok palu oleh badan legislatif yaitu DPR melalui Rapat Paripurna (5/10/2020) menjadi UU Omnibus Law Cipta Kerja. Dari awal RUU ini dinilai tidak berpihak kepada masyarakat Indonesia umumnya, kaum buruh secara khusus dan masyarakat luas secara umum, sehingga gelombang demonstrasi kala itu tidak terhindarkan. Pun demikian, dengan disahkannya menjadi UU yang akan mengikat bagi semua lapisan masyarakat maka demonstrasi kembali digelar. Karena secara substansi, isi keseluruhannya tidak berubah.  Hal ini menunjukkantidak berpihaknya  pemerintah dan DPR terhadap aspirasi rakyat.

UU Omnibus Law Cipta Kerja ini dikenal dengan UU sapu jagat karena berisi materi dari ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal. Undang-undang ini dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah, dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran. Pada faktanya, pasal-pasal kontroversial bermunculan, terutama soal ketenagakerjaan. Namun, isu lingkungan hidup dalam aturan sapu jagat itu pun tak kalah pelik. Alih-alih menjamin kelestarian alam, beberapa pasal justru bertolak belakang dengan hal tersebut dengan dalih menggenjot investasi.

UU Cipta Kerja ini secara garis besar menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur sebelumnya dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perubahan yang dimaksud adalah kewenangan dalam menetapkan izin usaha yang berkaitan dengan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sebagai dasar uji kelayakan lingkungan hidup menjadi kewenangan tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat, pasal 24 ayat 1, terdiri atas unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat. Keputusan ini akan menjadi syarat penerbitan perizinan berusaha dari pemerintah. Hal ini bertolak belakang dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 yang menyebutkan dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal, yang dibentuk oleh menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan. Jika tidak ada rekomendasi Amdal, maka izin lingkungan tidak akan terbit. (Katadata.Co.Id, 6/10/2020)

Dengan hilangnya Komisi Penilai Amdal (KPA) maka menghilangkan kesempatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. KPA diganti dengan ahli bersertifikat dalam UU Cipta Kerja, aturan ini memberi peluang kepada swasta sebagai pengganti KPA. Dikhawatirkan akan terbuka lebar main mata antara pengusaha-swasta sebagai badan/ahli bersertifikat ini. Uji Kelayakan Amdal akan dimanipulasi untuk mempermudah perizinan usaha. Demikian dengan peran masyarakat yang dipersempit ruang dalam perumusan Amdal. Masyarakat dibatasi untuk mendapatkan informasi mengenai perumusan perizinan usaha. Berdasarkan UU Cipta Kerja masyarakat yang perlu menjadi objek konsultasi publik hanyalah masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. 

Menurut pakar lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Totok Dwi Widiantoro menilai UU Cipta Kerja mengeksploitasi sumber daya negara, alam dan manusia. 

“Spirit dan semangat UU ini berorientasi utama pada ekstrasi. Jadi mengejar kepentingan eksploitasi lingkungan, sumber daya alam, dan manusia”, katanya melalui konferensi pers daring yang digelar FH UGM, Selasa (6/10). Mengacu pada bagian ketiga UU Cipta Kerja pada paragraf pertama, Pasal 13 pada bagian tersebut mengatur persyaratan dasar perizinan berusaha, pengadaan tanah dan pemanfaatan lahan. Korporasi, kata dia, hanya diwajibkan memastikan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi. (CNN Indonesia, 6/10/2020)

Alih-alih dibuatnya UU ini untuk kemashalatan bersama, justru lebih menjerumuskan (merusak)  SDA, manusia, dan lingkungan hidup. Pada UU terdahulu pun, berbagai manipulatif dalam perizinan dan penyelenggaraan usaha sering kali terjadi, padahal peranan dari masyarakat dan pejabat daerah besar. Apalagi sekarang UU Cipta Kerja ini yang meminimalisasikan peranan tersebut,(.) tentu dikhawatirkan akan memperburuk kondisi keadaan. Kerusakan lingkungan yang disebabkan eksploitasi SDA akan semakin luas dan dampak buruknya dirasakan oleh masyarakat sekitar khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.  

Beginilah potret nyata dari perundangan yang dibuat oleh manusia bersifat dzalim, eksploitatif, membahayakan fisik dan mental. Tujuan utama UU Omnibus Law Cipta Kerja  untuk mendongkrang investasi,(.) memudahkan investor menanamkan modalnya di Indonesia agar dapat memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia dan menyerap tenaga kerja tambahan "yang katanya" demi keberlangsungan kesejahteraan Indonesia. Peran negara sebagai penjamin kesejahteraan rakyatnya dialihkan kepada para investor. Negara bertindak sebagai regulator antara pemilik modal/korporasi dengan rakyat sebagai tenaga kerjanya. Otomatis UU ini lebih condong terhadap kepentingan investor,(.) karena bagi kapitalisme, materi merupakan asasnya, demi materi yang berlimpah, akan dilakukan berbagai usaha untuk mendapatkannya walaupun membuat kerusakan bagi alam dan ketidakadilan bagi pekerjanya. Membahayakan bagi manusia secara fisik atas eksploitasi yang serakah dan mental yang buruk dari korporasi yang berlindung dibalik regulasi.

Islam sebagai sistem kehidupan memiliki seperangkat aturan dan pemecahan problematika kehidupan termasuk didalamnya pengelolaan sumber daya alam. Firman Allah swt:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ  

(Yaitu) Orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S Ali Imrân, 3:191)

Syariah Islam telah memiliki aturan yang jelas. Al-qur’an dan Sunah telah memberikan koridor, bahwa kepemilikan dalam pandangan ekonomi Islam itu dibagi tiga yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. 

Dalam Islam, kekayaan alam merupakan harta milik umum (kepemilikan umum) yang hasilnya diperuntukkan bagi seluruh rakyat untuk kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara melalui perundangan dan kebijakan dari pemerintah yang wajib ditaati.  Tidak boleh berpindah tangan kepemilikannya dan pengelolaannya kepada individu, swasta , apalagi swasta asing.

Rasul saw bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Air, rumput, dan api adalah sumber kekayaan alam yang berlimpah dan keberadaannya merupakan kepemilikan umum yang ditujukan hasilnya untuk kepentingan rakyat. Meliputi penyediaan air bersih, pertambangan besar, minyak bumi, gas alam, batu bara, hutan, dan lain sebagainya. Terlarang didalamnya bisnis atau investasi dengan swasta nasional atau swasta asing. Sebagaimana sabda Rasulullah saw di atas, tidak ada monopoli atas kepemilikan umum. Diperbolehkan berbisnis atau berinvestasi pada koridor kepemilikan individu. Untuk pengusaha asingnya, maka akan dilihat terlebih dahulu yang berkaitan dengan status kewarganegaraannya. Sehingga dapat dipastikan bahwa prioritas dan mekanisme alokasi anggaran dan belanja pemerintah Islam dapat menghindari investasi asing dengan pengelolaan sumber daya alam yang baik dan amanah. Dan semua ini akan terwujud jika diberlakukan sistem Islam secara menyeluruh dalam setiap sendi kehidupan.

Kesalahan dalam pengelolaan kekayaan alam akan mengakibatkan kerusakan berkepanjangan yang mengakibatkan alam hancur, kesejahteraan rakyat tidak tercapai dan negara bisa terancam dalam kepengurusan yang salah apabila kran bisnis/investasi dengan swasta/asing menjadi dalih akan meningkatkan iklim perekonomian negara dan perluasan tenaga kerja jika sumber kekayaan alam diserahkan dan dikelola bukan oleh negara.

Padahal Allah tidak menyukai hamba-hamba-Nya yang membuat kerusakan di muka bumi ini, akan ada teguran bagi negara yang salah dalam mengelola dan mengatur kekayaan alam berupa peristiwa alam yang tidak dikehendaki, berupa bencana alam atau wabah. Allah swt berfirman: 

بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ 

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S Ar Rum, 30:41)

Hal ini terjadi karena, banyaknya kemaksiatan dan kelalaian lainnya dalam menjalani kehidupan. Standarisasi perilaku Islam yaitu halal-haram telah ditabrak demi pemuasan materi yang tidak ada habisnya dikuras. Sehingga imbasnya dirasakan oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung dan lingkungan yang terdampak akibat eksploitasi yang tidak amanah.

Sudah saatnya masyarakat tersadar untuk bangkit dari kerusakan yang terjadi dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Terikat dengan aturan-aturan yang ditetapkan negara untuk kemashlahatan bersama.

Wallahu'alam bishowab

Posting Komentar

0 Komentar