Oleh : Sunarti
"Ditepuk air didulang terpercik ke muka sendiri"
Peribahasa yang tepat untuk disematkan pada kondisi yang terjadi saat ini. Menilik berbagai polemik yang terjadi di negeri Zamrud Khatulistiwa yang kian hari kian larut marut. Tumpang tindih persoalan belumlah terselesaikan. Alih-alih mengupayakan jalan keluar, justru banyak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Ambil satu contoh UU Omnibus Law yang menjadi tarik ruang persoalan tersendiri dari sekian persoalan yang terjadi.
Banyak pihak yang pro-kontra dengan disahkannya UU Cipta Kerja ini. Seperti syang dimuat dalam salah satu media online detikNews.com bahwa Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta Presiden Joko Widodo mendengarkan penolakan undang-undang (UU) Ciptaker dari sejumlah kalangan. Khususnya para kepala daerah yang meneruskan aspirasi warganya.
Selanjutnya HNW mengingatkan meski Indonesia merupakan negara kesatuan, bukan negara federal, tetapi kedudukan daerah sangat penting dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
"Ketentuan Pasal 18 ayat (2) menjamin adanya asas otonomi daerah dan Pasal 18 ayat (4) memberikan kewenangan otonomi yang seluas-luasnya," ujarnya dalam keterangannya, Sabtu (10/10/2020).
Berbagai penolakan dari berbagai lapisan masyarakat juga muncul. Adanya gelombang demonstrasi menuntut keadilan adanya UU Cipta Kerja yang muncul beberapa waktu lalu, menunjukkan aspirasi rakyat yang sebenarnya adalah hak pada setiap rakyat. Yang konon dalam negeri yang menerapkan sistem demokrasi ini, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi bisa dikatakan suara rakyat adalah suara pihak yang musti didengarkan.
Agaknya negeri yang menganut sistem demokrasi sekuler ini telah bergeser misinya. Terlihat suara rakyat kini bukanlah sesuatu yang musti dipertimbangkan. Konon DPR sebagai wakil rakyat, justru terkalahkan. Buktinya UU Cipta Kerja ini sudah disahkan, padahal banyak pihak yang menolaknya. Sebagaimana diketahui bahwa UU Cipta Kerja ini banyak pihak yang dirugikan, terutama kaum buruh/pekerja.
Sayang, idealisme demokrasi telah menunjukkan wajah aslinya. Sehingga tidak heran jika suara rakyat melalui demonstrasi (yang mustinya didengarkan oleh pihak penguasa) justru terabaikan begitu saja. Sistem ini akan menjadi sistem yang terkubur akibat perilaku para penjaganya sendiri, yaitu para pemegang dan penentu kebijakan. Ini juga menunjukkan salah satu dari sekian penyebab matinya demokrasi, yakni menolak aturan permainan yang demokratis.
Hal berikutnya yang merupakan penampakan lemahnya sistem demokrasi adalah mereka menyarankan perlunya tindakan antidemokrasi dan membatasi hak-hak sipil. Rakyat yang telah menyuarakan aspirasi melalui demonstrasi maupun peringatan-peringantan melalui berbagai media, sa sekali tidak ada tanggapan. Bukankah itu salah satu bukti aspirasi rakyat telah dimatikan? Alih-alih mendapatkan perhatian malah sebaliknya, banyak yang terjerat dengan undang-undang dan musti masuk kurungan.
Tampak nyata bahwa sistem demokrasi selain banyak mendatangkan keburukan kepada masyarakat luas, sejatinya juga memberikan keburukan para pengembannya pula. UU Cipta Kerja yang jelas-jelas banyak menguntungkan pihak investor/swasta disahkan tanpa persetujuan dari masyarakat luas. Wajah buruk demokrasi yang ternyata melanggar aturannya sendiri. Berupaya membuat kejahatan, akan tetapi dirinya sendiri yang terkena imbasnya, akibat pelanggaran yang dilakukannya pula.
Tak sadar jika sekuat apapun penjagaan sistem ini, meski melalui konstitusi, maka demokrasi akan tumbang. Apalagi jika para pengembannya sendiri menggunakan otoritasnya sebagai kekuatan menerapkan kepentingan dirinya dan tuannya. Rakyat, jangankan terpikirkan kesejahteraan, justru akan menjadi media pengais kepentingan. Lambat laun dan pasti, kepercayaan rakyat akan luluh lantak dengan berbagai fakta atas pelanggaran yang dilakukan para pemimpinnya. Maka masihkah percaya pada sistem buruk ini?
Wallahu alam bisawwab.
0 Komentar