UU Cipta Kerja Produk Impostor?

Oleh : Maya Dhita (Aktivis Dakwah Muslim dan Member Akademi Menulis Kreatif)

Mengambil istilah dari game Among Us yang sedang tren di masa pandemi, impostor, berarti penipu yang lihai. Seseorang yang diam-diam menyamar untuk membunuh. Menggunakan sabotase untuk membuat kekacauan. (www.detiknews.com, 7/10/2020)

Rupanya istilah ini cukup pas disematkan untuk para wakil rakyat yang duduk di kursi panas Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan kekuasaan yang dipunyai, secara otoriter, mereka mengesahkan kebijakan yang dari awal rancangan sudah mendapat penolakan dari masyarakat dan ormas. Tak hanya rakyat, sebagian anggota DPR sendiri tidak menyetujui pengesahan UU ini karena dinilai tidak mewakili aspirasi rakyat. Pun tak menyurutkan pengesahannya. RUU ini diketok palu lebih awal dari jadwal semula, dan terkesan terburu-buru. 

Kejanggalan pun terjadi. Misalnya, tidak dibagikannya draf RUU dalam rapat paripurna, baik fisik maupun virtual oleh sebagian besar anggota DPR bahkan hingga aturan ini disahkan dengan alasan teknis. Disahkannya beberapa RUU secara prematur sebagai UU Cipta Kerja. Pengesahan RUU ini dinilai cacat prosedur. (www.zonapriangan.pikiran-rakyat.com, 9/10/2020)

DPR merevisi pasal-pasal yang dianggap menghambat masuknya investor di negeri ini. Berbagai kebijakan yang merugikan pekerja tetap diambil untuk memuluskan gerak kapitalis baik lokal maupun asing. Dalih terbukanya lapangan kerja sebagai konsekuensi hadirnya investor menjadi alasan utama.

Adapun pasal-pasal yang dianggap merugikan para pekerja antara lain, tentang dihapuskannya Upah Minimum Kabupaten/Kota. Hal ini menjadikan standar upah yang sama tanpa melihat tingkat biaya hidup yang berbeda di setiap  daerah. Padahal biaya hidup di kota, semisal ibu kota pasti lebih tinggi daripada di daerah. 

Dihilangkannya pembatasan mengenai tenaga outsourcing. Hal ini membolehkan perusahaan untuk mengangkat tenaga outsourcing selama dibutuhkan. Tidak ada kepastian bagi pekerja untuk menjadi pegawai tetap. Perusahaan bisa menghentikan tenaga outsourcing sewaktu-waktu.

Kemudian dihapuskannya cuti haid dan cuti melahirkan. Hal ini berimbas pada hilangnya pendapatan saat mereka mengambil cuti haid dan melahirkan. Adanya jam kerja yang lebih tinggi. Juga rendahnya pesangon.

Pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja ini sangat merugikan para pekerja. Hak-hak mereka untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik telah dicederai. Apalagi di masa pandemi yang serba sulit ini. Pemerintah seperti memancing di air keruh. Berusaha mendapatkan keuntungan di tengah krisis.

Alasan pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja ini untuk mempermudah masuknya investor ke Indonesia dengan segala manfaatnya bagi perekonomian negeri juga perlu ditelaah lagi. Saat iklim investasi menjadi positif, belum tentu akan membuka banyak lapangan kerja di Indonesia. Hal ini disebabkan kebanyakan investasi berbasis teknologi tinggi dan digitalisasi yang tidak membutuhkan banyak SDM. 

Hal ini mengakibatkan perusahaan tidak akan mengambil pekerja lokal karena faktor keahlian. Perusahaan akan merekrut tenaga ahli dari negara asal mereka. Faktor biaya training dan waktu yang menjadi alasan utamanya. Lagi-lagi pekerja lokal dirugikan karena peluang mendapatkan pekerjaan semakin kecil.

Dalam demokrasi, kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat sangat mungkin diambil. Aspirasi rakyat bukan tolok ukur kebijakan. Demokrasi juga melahirkan rezim oligarki yang hanya mementingkan segelintir elit. Kapitalisme mendorong penguasa membuat UU yang mengakomodasi kepentingan mereka. Sistem inilah yang sebenarnya menzalimi rakyat. 

Dicabutnya UU Cipta Kerja atau terbitnya Perpu yang membatalkan UU ini hanya akan menjadi solusi parsial. Kejadian serupa akan berulang jika sistem yang mengampu negeri ini masih sama. 

Adalah sistem khilafah yang mampu menyejahterakan rakyat. Menghapus ketidakadilan. Memosisikan pemimpin atau khalifah sebagai junnah atau pelindung bagi rakyatnya. Menjadikan syariat Islam sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku. Sehingga setiap kebijakan yang diambil tidak akan bertentangan dengan syariat Islam.

Dalam melegislasi hukum, khalifah terikat dengan hukum-hukum syara’. Diharamkan atasnya melegislasi hukum yang tidak diambil melalui proses ijtihad yang benar dari dalil-dalil syara’. Khalifah terikat dengan metode ijtihad yang dijadikannya pedoman dalam pengambilan suatu hukum. 

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. al-A'raf [7]: 96)

Begitulah syariat Islam dalam meriayah rakyatnya. Kesejahteraan dan kemakmuran akan dirasakan karena mendapat rida Allah Swt. Untuk itu sudah saatnya kita campakkan demokrasi dan menggantikannya dengan sistem khilafah. 

Wallahu a'lam bishshowab.

Posting Komentar

0 Komentar