UU Cipta Kerja Sah, Bukti Pengkhianatan Kostitusi

Oleh : Iiv Febriana (Pengajar di Homeschooling Mutiara Sidoarjo)

Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Senin (5/10) ini di Kompleks DPR secara resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang Undang. Sedianya RUU Ciptaker akan disahkan dalam Rapat Paripurna Kamis, 8 Oktober mendatang. Namun secara tiba-tiba DPR dan pemerintah mempercepat agenda pengesahan RUU kontroversial ini.

Ada sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Ciptaker ini yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan PAN. Sementara itu hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Ciptaker. Pengesahan RUU Cipta Kerja dihadiri langsung perwakilan pemerintah, di antaranya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. (waspada.co.id, 6/10/2020)

Para elemen masyarakat banyak yang menolak UU Cipta Kerja, khususnya para buruh dan pekerja. Penolakan tersebut kemudian memunculkan aksi demo nasional hingga ancaman penolakan kerja. Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) memperkirakan sekitar 20 ribu massa yang berasal dari buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil turun ke jalan menuju Istana Negara.(cnnindonesia.com, 08/10/2020)


UU Cipta Kerja Pesanan Pengusaha?

Sejak awal bergulirnya RUU ini sudah banyak menimbulkan kecurigaan. Pembahasannya tak melibatkan rakyat dan pengesahannya dilakukan menjelang aksi mogok nasional yang diinisiasi para buruh dan pekerja dan penggagasnya adalah para pengusaha. 

Secara keseluruhan, UU Cipta Kerja terdiri atas 11 klaster. Di antaranya Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan Berusaha, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus.

RUU ini dinilai menghilangkan hak pekerja dan memberi angin segar bagi pelaku usaha. Di antara pasal kontroversi tersebut ialah penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten sebagai dasar upah minimum pekerja; peningkatan waktu kerja lembur yang dianggap sebagi bentuk eksploitasi pada pekerja; pengurangan nilai pesangon; perjanjian kerja waktu tertentu yang terus diperpanjang alias kontrak seumur hidup; ketentuan cuti, dan sejumlah pasal lain yang mengabaikan hak pekerja.


Islam Solusi Hakiki Kesejahteraan Rakyat

Disahkannya UU ini mengindikasikan aspirasi rakyat tak berlaku. Meski mayoritas rakyat menolak. Demokrasi yang katanya pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, nyatanya “dari kapital, oleh kapital, dan untuk kapital”. Itulah karakter demokrasi. Legislasi hukum biasa direkayasa sesuai kepentingan penguasa yang dikendalikan pengusaha.

Keleluasaan membuat undang-undang sesuai kepentingan elite tertentu, seperti para pengusaha, tentu tidak dikenal dalam Islam. Islam menetapkan bahwa pembuatan undang-undang adalah untuk memudahkan negara dalam mewujudkan kemaslahatan umat sesuai dengan hukum syara’.

Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin pemenuhan kebutuhan primer tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai jaminan pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan kemampuan.

Bila pemenuhan kebutuhan hidup diselesaikan, maka persoalan ketenagakerjaan juga dapat diselesaikan dengan tuntas. Permasalahan antara buruh dan pengusaha, dapat diselesaikan sendiri sesuai dengan ketentuan hukum syariat.Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai pengawas sekaligus penengah jika terjadi persoalan yang tidak dapat diselesaikan keduanya. 

Demikianlah, pandangan dan solusi yang ditawarkan Islam bukanlah solusi tambal sulam, melainkan solusi yang fundamental dan komprehensif terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Sudah saatnya umat berpaling pada Islam untuk menyelesaikan berbagai persoalan, karena itulah jaminan kebahagiaan dan keadilan bagi seluruh manusia. Wallahu’alam.

Posting Komentar

0 Komentar