UU Ciptaker, Pengkhianatan pada Rakyat

Oleh : NS. Rahayu (Pengamat Sosial)

Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Senin (5/10) di komplek DPR secara resmi mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU). Fraksi-fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan PAN. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Ciptaker. (Waspada.co.id)

Esoknya, gelombang besar demo penolakan Undang-undang (UU) Omnibus Law dilakukan oleh para buruh dan mahasiswa. Berita viral di semua media, dari lokal hingga internasional. Pasalnya UU ini sangat tidak manusiawi. 

RUU Cipta Kerja juga memiliki cacat baik secara substansial maupun prosedural. Karena tidak melibatkan masyarakat, pekerja dan civil society.

Rakyat pada umumnya dan buruh pada khususnya berada pada posisi bekerja ala perbudakan zaman dahulu, tidak punya hak apa pun. Penolakan adalah kewajaran dalam menuntut hak mereka atas penindasan melalui UU Ciptaker. Hampir seluruh buruh bergerak menolaknya, dari kota-kota besar hingga ke kota-kota kecil. 

Buruh dan mahasiswa kota Ngawi juga ikut bergerak melakukan penolakan UU tersebut dengan aksi damai. PMII Cabang Ngawi pada Jum'at besok (9/10), menggelar aksi turun ke jalan sebagai bentuk penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang diteken DPR RI. RMOLJatim, Kamis , (8/10/20).

UU Ciptaker ini mengebiri hak azasi manusia yang dilindungi oleh HAM, namun dipaksakan disahkan.  Bahkan ketok palu pengesahan belum mencapai kata mufakat dari semua fraksi di DPR. 

Sebagaimana diberitakan suara.com (6/10/20). Fraksi Partai Demokrat DPR  Benny K Harman walk out saat rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Dia menilai Wakil Ketua zis Syamsudin sudah sewenang-wenang dalam memimpin forum. Sebab tidak memberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan. Menurutnya pengambilan keputusan tingkat II harus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Karena masih ada dua fraksi yang menolak, yakni Demokrat dan PKS. 


UU Ciptaker menguntungkan pengusaha

Pemerintah dan DPR bernafsu mengesahkan UU ini. Patut dicurigai UU ini menjadi pesanan para oligarki yang menguntungkan mereka. Pembahasannya bagai operasi senyap dan tiba-tiba disahkan tengah malam, di saat rakyat masih terlelap. 

Sejak digagasnya RUU Ciptaker ini sudah menuai kontroversi dan ragam penolakan, karena tidak melibatkan rakyat, tapi ngotot minta disahkan. RUU ini menghilangkan hak pekerja dan memberi karpet merah bagi para pemilik modal besar (pengusaha). 

Bagaimana tidak dholim? Beberapa pasal kontroversi telah membuat pekerja bekerja tanpa ada perlindungan sedikit pun. Bahkan rawan terjadi PHK.

Di antaranya, penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten sebagai dasar upah minimum pekerja akan membuat pekerja dibayar dibawah standart, peningkatan jam kerja lembur adalah bentuk eksploitasi pada pekerja, pengurangan nilai pesangon, perjanjian kerja kontrak untuk waktu tertentu yang terus diperpanjang alias kontrak seumur hidup.

Bahkan bagi pekerja wanita lebih ironis lagi, adanya ketentuan cuti umum yang dilindungi HAM ditiadakan. Seperti tidak ada cuti haid, hamil dan memulihkan stamina pasca melahirkan. Dan sejumlah pasal lain yang mengabaikan hak pekerja.

Disahkannya UU ini mengindikasikan aspirasi rakyat tak berlaku. Meski penolakan masif disuarakan,  tetap disahkan juga. Lantas, DPR itu sesungguhnya mewakili siapa? Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu.  Selebihnya mereka bicara atas nama kepentingan oligarki dan partainya sendiri.

Terlihat dalam UU Ciptaker ini sebagai produk perselingkuhan antara penguasa dan oligarki. Rakyat menjadi tumbal keserakahan kapitalis. Karena UU Ciptaker dibuat untuk memenuhi kehendak kapitalis. Pastinya, akan sangat menguntungkan para kapitalis, namun merugikan para pekerja. 

Sistem kapitalisme sekuler menghitung segala sesuatu dari segi manfaat dan materi.   Sebab, prinsip dasar kapitalisme hanya peduli pada persoalan untung rugi dan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kerakusannya.

Problem akut sistem kapitalisme adalah kesejahteraan. Buruh dan pekerja masih jauh dari kata sejahtera. Dalam kapitalisme, negara hanya berperan sebagai regulator kepentingan kapitalis. Akibatnya, kesejahteraan rakyat terabaikan. Kekayaan hanya dinikmati segelintir orang.

UU sapu jagad ini menjadi kuda troya oligarki di atas keringat rakyat. Adapun demokrasi hanyalah tunggangan sesaat untuk memuluskan kepentingan tersebut. Berlagak mewakili rakyat, tetapi sejatinya mengkhianati rakyat. Suara rakyat hanya dijadikan bumper kekuasaan.


Sistem Islam menyejahterakan

Berbeda dengan sistem Islam. Di mana kekuasaan merupakan amanah dan tanggung jawab atas pengurusan terhadap rakyatnya. Kholifah akan secara maksimal mengurusi kepentingan dan kemaslahatan umat serta berupaya menyejahterakannya dalam kondisi apapun.

Di sistem pemerintahan Islam, regulasi dan UU yang dibuat tidak akan menyalahi syariat. Tidak ada politik kepentingan dan produk hukum yang dibuat berdasarkan kepentingan manusia. 

Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan harta hingga distribusi harta kepada rakyat juga diatur. Islam tidak mengenal kebebasan kepemilikan, meski membolehkan kepemilikan harta dengan cara  halal haram sebagai standarnya. Pengaturan harta ini terbagi dalam tiga aspek, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara.

Ada pun dalam menentukan standar gaji buruh, maka Islam menetapkannya berdasarkan manfaat tenaga yang diberikan pekerja, bukan living cost terendah. Sehingga tidak akan terjadi eksploitasi buruh/pekerja oleh para majikan. 

Jika terjadi sengketa terkait upah dan hak pekerja, maka pakar (khubara’) lah yang menentukan upah sepadan. Pakar ini dipilih kedua belah pihak dan jika masih bersengketa, negaralah yang memilih pakar tersebut dan memaksa kedua belah pihak mengikuti keputusannya.

Negara tidak perlu menetapkan UMK dan kesepakatan kerja lainnya. Penetapan seperti ini tidak dibolehkan sebagaimana larangan menetapkan harga. Jika harga adalah kompensasi barang, maka upah adalah kompensasi jasa.

Dalam UU Ciptaker ini negara justru telah memberi karpet merah bagi para kapitalis, investasi asing dan aseng untuk menguasai tenaga dan SDA (sumber daya alam) yang dimiliki oleh negara. Dan disahkannya UU ini justru membuat keterpurukan bagi kesejahteraan umat.

Hanya dalam sistem Islamlah, kesejahteraan bisa terwujud. Hak-hak asasi dan kebutuhan dasar rakyat bisa terpenuhi secara menyeluruh. Hal ini hanya akan terjadi, jika Islam diterapkan secara sempurna dalam naungan khilafah. Wallahu’alam bishawab

Posting Komentar

0 Komentar