Oleh: Lisnawati (Aktivis Muslimah Karawang)
Dalam sistem Demokrasi kita akan menemukan empat aspek kebebasan yang lahir darinya. Pertama kebebasan atas kepemilikan. Kedua, kebebasan beragama, ketiga kebebasan individu dan yang terakhir adalah kebebasan berpendapat (berekspresi). Keempat aspek ini menjadi standar utama bagaimana sebuah Negara yang berasaskan Kapitalisme-demokrasi menjalankan roda pemerintahannya.
Namun akhir-akhir ini beberapa kasus yang muncul mengenai kebebasan berpendapat menjadi fokus perhatian publik. Terutama sikap represif rezim terhadap sejumlah orang yang menyuarakan pendapatnya yang dinilai bersebrangan dengan pendapat rezim.
Pendapat yang bersebrangan ini dikategorikan ke dalam UUD ITE sebagai kasus ujaran kebencian (hate speech). Tentu saja menjadi tanda tanya. Benarkah demokrasi memberikan lampu hijau kepada semua warga negara dalam menyampaikan pendapat?
Kebebasan Berpendapat Tak Berlaku Bagi Pihak Yang Berbeda Pilihan Politik
Beberapa kasus “hate speech” yang menyita perhatian publik adalah kasus Habib Bahar Bin Smith dan Gus Nur. Apakah pasal?Keduanya menyampaikan kritik terhadap rezim.
Namun, karena pendapat kritisnya dinilai menyerang rezim, maka baik Habib Bahar atau pun Gus Nur akhirnya terjerat hukum. Lantas kemana esensi kebebasan berpendapat yang digaungkan demokrasi? Jika untuk berpendapat saja harus mengikuti selera elit tertentu.
Kasus di atas cukup membuktikan bagaimana karakter asli demokrasi yaitu anti kritik. Dan kasus-kasus disebabkan menyuarakan pendapatnya tentu saja akan memberikan efek psikologis terhadap masyarakat.
Dilansir dari merdeka.com, Lembaga Indikator Politik Indonesia telah melakukan survey terhadap 1200 koresponden secara acak pada Tanggal 24 September hingga 30 September 2020. Pertanyaan-pertanyaan yang digulirkan pada koresponden adalah setuju tidaknya responden dengan adanya pernyataan bahwa warga makin takut dalam menyatakan pendapat.
Pertanyaan berikutnya apakah responden setuju warga makin sulit berdemonstrasi. Kemudian pertanyaan ke tiga setuju tidak bahwa aparat makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pilihan politik. Dan pertanyaan terakhir adalah terkait penanngan covid-19 oleh pemerintah.
Setelah menjumlahkan hasil survei, Lembaga ini mendapati bahwa sebanyak 79,6% warga semakin takut menyuarakan pendapat. dan sebanyak 73,8% makin sulit berdemonstrasi atau menyampaikan aspirasi. Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, menyatakan hasil survei menunjukkan mayoritas setuju bahwa kebebasan sipil mulai terganggu. Kesimpulan ini dilihat dari penjumlahan indikator penjumlahan hasil survei sangat setuju dan agak setuju.
Kebebasan Berpendapat Dalam Islam
Dalam demokrasi Kebebasan berpendapat dalam sistem ini ternyata hanya omong kosong belaka. Maka hal yang wajar jika ada pihak yang berbeda padangan politik akan dihadiahi jeruji besi.
Namun tidak sama dengan Islam. Pada saat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam sebuah Negara. Maka, semua pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Islam membuka ruang diskusi dan ruang untuk melakukan muhasabah lil hukkam (koreksi atas kebijakan penguasa).
Islam pun akan menetapkan sebuah kebijakan yang menjadi standar dan batasan baku dalam menyikapi perbendaan pendapat antara rakyat dan penguasa. Dan tidak akan ada standar ganda dalam menyikapi sebuah perbedaan pendapat.
Standar yang digunakan dalam menyampaikan pendapat dalam Islam adalah pendapat tidak boleh meyalahi Syariat Islam. Artinya, apapun kritik yang disampaikan pada penguasa akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan selama pendapat tersebut tidak keluar dari aturan syariat Islam.
Kemudian, pendapat tidak menguntungkan pihak tertentu. Dalam Islam semua warga memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sehingga aturan yang diterapkan memungkinkan untuk tidak menguntungkan segelintir orang. Begitu pun dalam berpendapat, maka dapat dipastikan Islam tak akan berlaku berat sebelah hanya untuk kesenangan nafsu individu.
Yang terakhir, pendapat yang disampaikan pada penguasa adalah pendapat yang mengandung kemashlahatan bagi ummat. Sesuai dengan karakter Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, maka apapun aspeknya maka itu semua harus memberikan rahmat bagi siapapun. tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah Negara pasti mendapatkan banyak tantangan dan persoalan, maka menjadi kewajiban semua pihak terutama penguasa dalam mencari jalan keluar yang shahih. Jalan keluar tersebut mungkin saja disampaikan oleh pihak-pihak yang kritis terhadap penguasa.
Sehingga perlu dipastikan setiap pendapat harus bermuara pada solusi Islam dan memberikan kemashahatan.
Rosulullah bersabda: "Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhoi Allah SWT yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh Allah SWT keridhoin-Nya bagi orang tersebut sampai nanti hari kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah SWT yang tidak dikiranya akan demikian, maka Allah akan mencatatnya yang demikian itu sampai hari kiamat” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Wallahu’alam
0 Komentar