Boikot Sekularisme,Menjaga Kehormatan Nabi Muhammad SAW

Oleh: Ummu Hafidz (Pemerhati Masalah Sosial Lalembuu, Sulawesi Tenggara) 

Terulang lagi tindakan yang menghina Nabi Muhammad SAW justru hanya di anggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Presiden Prancis Emmanuel Macron mendukung kebebasan berekspresi terkait kontroversi kartun Nabi Muhammad SAW di negaranya. Macron berargumen bahwa prinsip negaranya adalah mendukung kebebasan berpendapat.

Ucapan Macron dikritik Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Ia menyebut kesehatan mental Macron perlu diperiksa serta menginisiasi ajakan boikot produk-produk Prancis. Ajakan Erdogan lantas direspons oleh warganet dari Arab maupun Indonesia yang menyerukan boikot untuk produk-produk Prancis lewat sosial media. (Liputan6.Com, 30/102020).

“Indonesia juga mengecam keras pernyataan Presiden Prancis yang menghina agama Islam, yang telah melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia,” kata Jokowi saat konferensi pers secara virtual dari Istana Merdeka Jakarta, Sabtu (31/10/2020). Jokowi menyebut, pernyataan Macron dapat memecah belah persatuan antar umat beragama di dunia. Padahal, saat ini dunia tengah dilanda pandemi virus corona (Covid-19). (Liputan6, 31/10/2020)

Sebelumnya, Indonesia sudah memanggil Dubes Prancis melalui Kementerian Luar Negeri untuk meminta penjelasan. Juru bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah, mengatakan Indonesia keberatan dengan pernyataan Macron yang mengaitkan agama dengan tindakan terorisme.

Itulah yang sudah dilakukan Indonesia sebagai bentuk pembelaannya terhadap Nabinya umat Islam. Panggil kedubes, minta penjelasan, dan berakhir pada kecaman. Apakah pemerintah Indonesia akan memenuhi tuntutan massa aksi bela Nabi untuk mengusir Dubes Perancis? Belum tentu.

Pemerintah lebih memilih berhati-hati dalam bertindak. Pemerintah tidak ikut menyerukan memboikot produk Prancis. Seruan boikot produk Prancis hanya disuarakan MUI dan umat Islam sendiri.

Pengamat Hubungan Internasional UI Shofwan Al Banna Choiruzzad menilai kecaman ini tak akan berdampak terlalu signifikan. Apalagi sampai memengaruhi hubungan dagang kedua negara. “Saya kira belum ada kecenderungan ke arah sana ya (hubungan dagang),” ujar dia. Menurut Shofwan, Indonesia masih sekadar menyampaikan respons atas sikap Macron. (Liputan6, 31/10/2020)

Bukan pertama kalinya majalah Charlie Hebdo menghina Islam. Pada tahun 2015, mereka pernah mencetak ulang karikatur Nabi Saw yang berakhir dengan penyerangan kantor majalah tersebut. Dengan dalih kebebasan berekspresi, majalah satire yang berpusat di Prancis itu kerap memprovokasi umat Islam.

Berulang kali Islam dilecehkan, dihina, dan diolok-olok. Berulang kali pula negeri muslim mengecam, mengutuk, dan memboikot. Namun, apakah dengan kecaman itu Prancis bertekuk lutut kepada Islam? Apakah dengan pemboikotan, negara mereka bangkrut? Apakah dengan pengusiran duta besar, Prancis takut?

Sampai sekarang mereka tetap senang merendahkan Islam. Malah bertambah arogansinya. Tak merasa salah dan enggan meminta maaf. Semua berlaku atas nama kebebasan. Meski demikian, kita patut mengapresiasi respons umat yang marah karena Nabi Saw. dihina. Ekspresi itu ditunjukkan dengan kecaman, kutukan, pemboikotan produk, dan tuntutan pengusiran duta besar Prancis.

Hanya saja, umat Islam dunia bagai buih di lautan. Banyak, tapi tak memiliki kekuatan yang memobilisasi tentara kaum muslimin untuk menyerukan jihad. Hanya berbekal lisan dan seruan. Tapi lemah menghadapi penghinaan Nabi Saw. yang dilakukan kaum kafir.

Saat ini yang bisa dilakukan pemimpin muslim itu sekadar mengecam karena kekuatannya tersekat oleh nasionalisme. Adakah pemimpin-pemimpin muslim berani memutus hubungan diplomatik dan menyeru jihad kepada kaum muslim? Sebagaimana yang sudah pernah terjadi, panasnya bela Nabi Saw akan menyurut seiring berjalannya waktu.

Inilah kelemahan umat. Tersekat oleh paham nasionalisme. Tak punya kekuatan bersatu padu melawan dan menekan Prancis ataupun Barat baik secara politik maupun ekonomi. Para pemimpin muslim lebih memikirkan dampak buruknya bila terus berkonfrontasi dengan Prancis. Mereka lebih mengutamakan kepentingan nasional negara masing-masing dibanding membela kehormatan Nabi Saw.


Umat Butuh Persatuan Politik

Bersatu kita kuat, bercerai kita lemah. Nasionalisme telah mengerat tubuh umat Islam menjadi puluhan negara. Dulu, saat Khilafah masih digdaya, Prancis yang ingin mengadakan teater mengenai Nabi Saw pun dibuat merinding dengan ancaman Khalifah Abdul Hamid II. kaum muslim disegani dunia saat Khilafah masih berdiri tegak.

Namun, kemuliaan itu sirna setelah Khilafah hancur akibat paham nasionalisme. Barat membagi-bagi wilayah Khilafah dengan konsep nation state. Mengoyak tubuh Khilafah menjadi bagian-bagian kecil negeri muslim sebagaimana kita saksikan hari ini.

Umat pun tercerai-berai. Tersandera kepentingan nasional masing-masing. Tersebab Islam tak memiliki kekuatan politik yang mampu menyatukan umat di bawah satu kepemimpinan tunggal.

Menghadapi negara bebal seperti Prancis itu harus dengan kekuatan yang mampu menandingi kedigdayaan mereka. Pernyataan Macron mestinya menyadarkan kita semua bahwa tanpa kekuatan politik, umat tak berdaya. Tanpa institusi yang menjalankan politik pemerintahan, Islam akan terus ditindas dan dihina.

Umat butuh persatuan. Bukan hanya persatuan karena bersatunya perasaan, namun juga bersatunya pemikiran. Tatkala perasaan dan pemikiran menyatu, bukan tidak mungkin rumah besar umat akan terwujud. Ya, rumah besar kita sebagai umat terbaik adalah Khilafah Islamiyah, bukan demokrasi sekuler.

Umat membutuhkan persatuan politik dan ukhuwah Islam. Agar bermunculan kembali sosok sultan Sulaiman Al Qanuni yang disegani Barat. Agar terlahir kembali sosok khalifah Abdul Hamid II yang tegas membela kehormatan Rasulullah dan Islam. Khilafah menjadi urgensi yang tak bisa ditunda lagi. Dengan Khilafah, penghina Nabi Saw merasakan efek jera. Tanpa Khilafah, Islam akan terus di hina dan di rendahkan.

Wallahu A'lam bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar