Oleh : Nuni Toid (Pegiat Literasi dan Alumni Branding for Writer)
Siapa yang tak kenal dengan Papua? Sebuah pulau yang memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah ruah. Begitupun dengan hutan yang dimilikinya. Merupakan hutan hujan terluas yang masih tersisa di Asia. Namun sayang seribu sayang, kini hutan adat itu telah terbakar. Tentu kebakaran itu bukan karena ketidaksengajaan ataupun faktor alam. Tetapi karena sengaja dibakar demi untuk mencapai ambisi yang telah disepakati bersama.
Dilansir dari laman bbc.indonesia (12/11/2020), sebuah investigasi visual yang dirilis pada Kamis (12/11). Menunjukkan perusahaan raksasa asal Korea Selatan "Secara sengaja" menggunakan api untuk membuka hutan Papua. Demi memperluas lahan sawit.
Tentu saja perusahaan sawit yang berasal dari Korea Selatan itu, Korindo Group yang memiliki lahan terluas di pedalaman Papua membantah tuduhan pembakaran hutan adat tersebut.
Namun investigasi yang dilakukan oleh Forensic Architecture dan Greenpeace Indonesia yang diterbitkan pada Kamis (12/11/2020) bersama dengan BBC, telah menemukan bukti bahwa Korindo telah melakukan pembakaran hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawitnya. Hal itu ditemukan bukti kebakaran di salah satu konsesi Korindo selama beberapa tahun dengan pola 'pembakaran yang disengaja' secara konsisten. (detikNews.com, 14/11/2020)
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani menegaskan pihaknya akan memberikan perhatian terhadap kasus ini. Dengan menyarankan bila Greenpeace memiliki bukti-bukti terhadap kejadian seperti itu, lebih baik segera dilaporkan temuan-temuannya kepada Ditjen (Direktorat Jenderal) Gakkum (Penegakan Hukum Lingkungan Hidup) KLHK (Kehutanan Lingkungan Hidup Kehutanan). Agar segera dapat ditindaklanjuti dengan tegas bagi perusahaan dari negara manapun yang melanggarnya. (cnn.indonesia, 13/11/2020)
Miris, hanya itu yang mampu terucap dalam hati. Tidak seharusnya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan mesti mengorbankan hajat hidup rakyat. Mengapa? Karena hutan adalah nafas kehidupan rakyat. Hutan juga adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup yang ada di dalamnya. Bukan itu saja hutan adalah pasak keselamatan, perlindungan bagi seluruh alam.
Kini nasib hutan itu sudah berubah menjadi petak-petak lahan sawit yang membentang luas seperti sebuah wilayah yang seluas Seoul, ibukota Korea Selatan. (cnn.indonesia, 13/11/2020)
Namun adalah hal yang dibenarkan dalam kehidupan saat ini. Untuk mencapai kekuasaan dihalalkan dengan melakukan segala cara. Walaupun hal itu pasti menyakitkan, merugikan kehidupan rakyat. Bisa kita lihat, bagaimana nasib rakyat Papua saat ini yang dulu diiming-iming dengan janji manis oleh para korporat agar mau merelakan tanahnya untuk dijual kepada perusahaan asing.
Kenyataannya tidak seindah yang dibayangkan. Kini rakyat Papua hidup di bawah garis kemiskinan. Hanya penderitaan yang mereka rasakan. Begitupun tidak ada jaminan kesehatan maupun keamanan. Tanah mereka, kekayaan mereka bukan menjadi milik mereka lagi. Mereka hanya mampu melihat bahwa kekayaan yang dulu dimiliki kini telah dirampas menjadi milik perusahaan asing aseng atas nama kebebasan yang diberikan oleh penguasa secara loyal.
Itulah sistem kapitalisme-demokrasi yang diagungkan negeri ini. Sistem yang penuh kemandulan. Bukannya melindungi dan menjamin hak-hak rakyat. Sebaliknya memberikan kebebasan kepada perusahaan asing untuk menguasai dan mengelolanya. Penguasa yang seharusnya mampu melindungi, memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Namun justru penguasa hanya sebagai alat regulator bagi perusahaan asing aseng untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Penguasa pun seolah-olah menutup mata, tidak mau tahu apa yang telah dilakukan oleh perusahaan Korea Selatan yang dengan sengaja membakar hutan adat Papua. Dengan tujuan ingin meluaskan lahan sawitnya yang ada di pedalaman Papua. Penguasa membiarkan tindakan mereka yang bukan saja merugikan ekonomi rakyat Papua, dan merusak lingkungan hidup. Tapi juga simbolisasi kepentingan asing yang semakin mencengkeram situasi politik dan ekonomi Papua yang semakin kuat dikuasai oleh korporasi.
Maka situasi politik Papua dan tuntutan Otsus (Otonomi Khusus) makin menguat tidak bisa lepas dari leluasanya asing memainkan kepentingan ekonomi dan politiknya di wilayah Papua. Penguasa pun semakin tak berdaya, tak mampu melepaskan diri dari ikatan belenggu yang menjeratnya dari para pengusaha yang mempunyai kekuatan modal, bila masih berpegang teguh dengan sistem kapitalisme.
Faktanya, rakyat Papua masih hidup dibawah garis kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di 16 daerah masih tinggi dan berada di atas rata-rata nasional yang mencapai 9,22%. (cnn.indonesia, 15/1/2020)
Sungguh ironis nasib rakyat Papua sekarang. Papua yang kaya raya dengan sumber alamnya, kini hanya mampu melihat bagaimana para korporasi mengeruk dan menikmati kekayaan mereka.
Tambang emasnya dikeruk, hutan adatnya disulap menjadi lahan sawit, lautnya pun dieksploitasi menjadi pariwisata. Apakah semua itu rakyat Papua menikmati? Oh tidak, hanya penderitaan dan kesengsaraan yang mereka rasakan. Negara tak mampu memberikan jaminan apapun kepada rakyatnya. Seperti jaminan kesejahteraan, jaminan kesehatan, jaminan pendidikan dan jaminan rasa aman bagi rakyat Papua.
Maka, ulah siapa sampai hutan adat Papua terbakar? Tentu para kapitalis yang bertanggung jawab atas semua ini. Mereka menghalalkan segala cara untuk ekspansi lahan sawit mereka. Tanpa takut hukuman yang kelak menimpanya. Mereka asyik bercengkrama, bermain-main dengan dosa.
Jelas sudah, sistem kapitalisme-demokrasi hanya mampu memberikan penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat. Sebaliknya memberikan kebahagian, kesejahteraan bagi para korporat dan sejawatnya. Hal ini terbukti bagaimana nasib rakyat Papua yang dikenal dengan kekayaan yang melimpah ruah yang dimiliki negerinya.
Begitulah bila negeri ini dipimpin oleh sistem yang salah. Negara yang seharusnya mampu mengelola hutan dengan hasilnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Tapi justru hak itu diberikan kepada para korporasi, pemilik modal (pengusaha asing dan swasta) untuk mengelolanya. Tentu saja yang ada di benak para korporat itu adalah bagaimana caranya untuk mendapatkan manfaat sebanyak-banyaknya bagi mereka. Maka kita bisa menyimpulkan betapa lemahnya sistem demokrasi ini. Ternyata sistem ini tidak mampu menjaga kedaulatan negaranya.
Lalu bagaimana dengan sistem Islam? Apakah sama dengan sistem kapitalisme-demokrasi? Tentu saja tidak. Islam adalah agama yang sempurna, bukan hanya mengatur ibadah ritual saja, tetapi Islam adalah sebuah aturan yang mengatur seluruh aturan kehidupan. Karena bersumber dari sumber yang benar, yaitu Allah Swt.
Dalam sistem Islam, yaitu negara akan bekerja keras untuk melindungi setiap jengkal tanah dan hak rakyat dari intervensi asing. Karena sudah menjadi kewajiban negara untuk memberikan jaminan kesejahteraan, menjaga alam dengan mengelolanya sebaik mungkin kemudian hasilnya akan dikembalikannya lagi kepada rakyat.
Dalam pengelolaan hutan, negara membuat beberapa langkah. Diantaranya sebagai berikut.
Pertama, hutan dalam Islam, merupakan kepemilikan umum, bukan individu atau swasta maka hak mengelola hutan berada di tangan negara. Rasul saw bersabda : "Orang muslim berserikat dalam tiga hal yaitu : air, rumput (pohon), api (bahan bakar) dan harganya haram." (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani mendefinisikan kepemilikan umum sebagai ijin Allah (selaku pembuat hukum) kepada jamaah/masyarakat untuk memanfaatkan benda secara bersama-sama. Yang termasuk fasilitas umum adalah apa-apa yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Seperti sumber-sumber air, padang gembalaan, kayu bakar hutan, energi listrik dan lain sebagainya. Dengan demikian fasilitas umum tersebut benar-benar menjadi milik umum dan dapat dinikmati oleh rakyat.
Kedua, negara cukup mengawasi saja pada pengelolaan hutan yang pemanfaatannya mudah dilakukan oleh rakyat selama tidak menghalangi hak orang lain dan membahayakan dirinya sendiri. Seperti pengambilan ranting-ranting kayu, penebangan pohon dalam skala terbatas, Pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan dan air dalam hutan.
Ketiga, negara dalam mengelola hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi. Sedangkan dari segi administratif bersifat desentralisasi, yaitu ditangani pemerintah provinsi/wilayah. Seperti pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual-beli hasil hutan untuk dalam negeri dan sebagainya.
Keempat, hasil pengelolaan hutan akan dimasukkan ke dalam kas negara (Baitul mal) dan didistribusikan sesuai kemaslahatan rakyat menurut pandangan syariat Islam.
Kelima, negara wajib mengawasi dan mencegah pengrusakan hutan dan lingkungan sekitarnya yang dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi hisbah) yang bertugas menjaga hak-hak rakyat secara umum.
Keenam, negara memberlakukan sanksi tegas terhadap pelanggaran hutan. Seperti pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan. Sanksi ta'zir bisa berupa denda, cambuk, penjara bahkan sampai hukuman mati tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya harus memberikan efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi kejahatannya lagi.
Demikianlah beberapa langkah yang dibuat negara dalam pengelolaan, pengawasan terhadap hutan dan kekayaan alam lainnya. Semuanya itu menjadi hak milik umum serta semata-mata hasilnya untuk kesejahteraan rakyat.
Indah bukan? Betapa rakyat saat ini sudah sangat merindukan hadirnya seorang pemimpin yang akan mampu memberikan kesejahteraan, perlindungan, keamanan bagi semua rakyatnya. Semua hanya ada dalam sistem Islam, yaitu sebuah sistem yang akan menerapkan seluruh syariat-Nya dalam setiap aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bish-shawab.
0 Komentar