Oleh : Inis Kuswati, S.Pd (Pemerhati Politik Islam)
No Free Lunch, tak ada makan siang gratis! Itu barangkali idiom yang tepat untuk menggambarkan kedatangan Menlu AS ke Indonesia. Hal ini terbukti dari berbagai kesepakatan yang disepakati antara kedua negara tersebut di tengah ketegangan Cina-AS di laut Cina Selatan. Dilansir dari beberapa media, ada beberapa kesepakatan yang dibuat oleh RI dan AS, di antaranya di bidang ekonomi dan keamanan. "Kami menghabiskan waktu setelah berbicara tentang ekonomi, tentang keamanan atau hukum dengan negasi menolak klaim yang dibuat oleh Partai Komunis China di Laut China Selatan," kata Pompeo. (CNBC Indonesia, 31/10/2020)
Dasawarsa ini, kerap kali kapal patroli Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China sering mengganggu Indonesia dengan memasuki zona maritim NKRI di Kepulauan Natuna. Sementara aparat militer Indonesia tak bisa berbuat banyak karena Beijing menyatakan wilayah tersebut masuk dalam zona bebas terkait klaim sembilan garis putus-putus (nine dash line). (Galamedianews.com, 1/11/2020).
Di bidang ekonomi, Retno dan Pompeo sepakat untuk memperkuat kerja sama terutama untuk memperkuat rantai pasokan global serta mempercepat pemulihan ekonomi. Sementara untuk investasi, Retno mendorong agar bisnis AS berinvestasi lebih banyak di Indonesia termasuk untuk proyek-proyek di pulau-pulau terluar Indonesia seperti di Pulau Natuna. Sementara pertemuan langsung dengan menteri pertahanan Prabowo Subianto yang diundang langsung ke AS sudah membicarakan kerja sama Bidang pertahanan dengan memperkuat kemampuan pertahanan dan perlengkapan militer untuk mencapai Minimum Essential Force (MEF). Kedua negara juga sepakat melakukan sinergi dalam pelatihan, bidang intelijen, dan kerja sama keamanan maritim di kawasan regional (republika.co.id, 29/10/2020)
Dari semua kesepakatan yang dibuat tersebut, diakui atau tidak kedatangan Pompeo ke Indonesia kian mengukuhkan ketergantungan Indonesia kepada AS seperti sebelumnya, dan AS sejatinya butuh bukti bahwa Indonesia masih berpihak kepadanya di tengah memanasnya kondisi perang dagang dengan Cina. Sebagaimana yang disampaikan Peneliti Bidang Perkembangan Politik Internasional LIPI Siswanto, kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo, hari ini, Kamis (29/10/2020), ke Indonesia bertujuan untuk membendung pengaruh China atas konflik Laut China Selatan. (Bisnis.com, 29/10/2020)
Sudah menjadi karakter negara adikuasa yang berbasis ideologi, seperti AS akan meminta jaminan kepada negara mana pun yang ada dalam pengaruhnya untuk senantiasa mengikuti kemauannya. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana paskatragedi WTC 2001 dia menyebarkan narasi War on terrorism dan diperbarui sekarang dengan War on Radicalisme dengan politik stick and carrot, "Apakah akan bersama Amerika atau bersama teroris?" (Either, you are with us or you are with the terrorists?).
Stick and Carrot ala Bush diwujudkan dalam bentuk invasi dan embargo kepada negara-negara yang tidak kooperatif dengan AS seperti Afghanistan, Irak dan Libya. Kemudian carrot (wortel) diberikan dalam bentuk bantuan keuangan dan pelatihan kepada negara-negara yang tunduk memerangi teroris atau radikalisme bersama AS. Pergerakan ini tertuang dalam rekomendasi Cheryl Bernard dari Rand Corp, lembaga think-thank AS.
Dalam laporan berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies, (2003), AS diharapkan merangkul kepala negara dan kelompok Islam moderat, tradisionalis juga sekuler liberal yaitu yang menerima demokrasi ala Amerika dan nilai hidup Barat lainnya (seperti apa yang dilakukan oleh Menlu AS yang bertandang ke salah satu ormas Islam di Indonesia berbarengan dengan kunjungan kenegaraan ini). Namun, di sisi lain menghadang dan memusuhi negara-negara dan kelompok Islam fundamentalis/ekstremis.
Faktanya, AS sedang memainkan politik belah bambu atas umat Islam di negeri ini. Karenanya, umat harus jeli dan kritis akan hal ini. Namun itu semua tidaklah cukup. Harus ada kekuatan sistemik bagi umat Islam di negeri ini agar tidak terus dikuasai dan dipengaruhi oleh negara-negara besar layaknya Cina dan AS. Kekuatan sistemik ini adalah kekuatan negara yang berasaskan akidah Islam yakni khilafah Islamiyyah.
Khilafah dalam perjalanannya pernah menjadi mercusuar dunia selama 1300 tahun. Ia menjadi pelindung dan perisai bagi umat Islam yang menjaga keamanan, keselamatan, harta kekayaan umat. Serta tidak membiarkan adanya hegemoni satu negara mana pun dengan mengatasnamakan hubungan bilateral. Padahal nyatanya itu hanya strategi untuk mencaplok wilayah atau menginjak-injak kedaulatan negara dan membahayakan keamanan rakyat.
Khilafah akan menindak tegas segala bentuk campur tangan asing dalam upaya penyelenggaraan negara, baik itu dalam dan luar negeri. Pengurusan urusan umat adalah kewajiban yang harus dijalankan. Melepaskan semua bentuk perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat adalah kewajibannya. Segala bentuk perjanjian atau nota kesepahaman yang ujungnya adalah penyerahan aset-aset public (laut, pulau, selat, dsb.) kepada asing atau swasta dilarang keras dalam Khilafah. Karena aset publik itu adalah milik umum yang dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Perjanjian yang diperbolehkan adalah kepada negara kafir mu'ahadah (kafir yang ada perjanjian dengan Khilafah), bukan kepada negara kafir yang memusuhi umat Islam (kafir harbi) bahkan yang sampai detik ini masih menumpahkan darah kaum muslim di berbagai wilayah di dunia (Suriah, Palestina, Xinjiang, dan sebagainya). Sehingga upaya penjagaan terhadap rakyat itu jelas. Tidak abu-abu terhadap Cina, dengan alasan ekonomi atas nama BRI (Belt Road Initiatif). Juga terhadap AS, dengan alasan ekonomi, seperti investasi. Sungguh tidak ada kejelasan sikap, politik bebas aktif berasa sulit untuk dibuktikan karena faktanya semua kepentingan negara-negara besar terhadap Indonesia diakomodasi. Sampai-sampai Indonesia seperti halnya hidangan yang diperebutkan. Lantas, sampai kapan Indonesia akan terus seperti ini? []
Wallahu a’lam bi ash-shawab
0 Komentar