Pepesan Kosong Undang-Undang Minol Dalam Legislasi Demokrasi

Oleh: Puji Ariyanti (Pegiat Literasi untuk Peradaban)

Dilansir Kompas.com usulan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol kembali dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Selasa (10/11/2020), pengusul memaparkan RUU Larangan Minuman Beralkohol yang saat ini masuk sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020.

RUU Larangan Minuman Beralkohol diusulkan oleh 18 orang anggota Dewan dari Partai Persatuan Pembangunan, dua orang dari Partai Keadilan Sejahtera, dan satu orang dari Partai Gerindra. RUU ini hendak melarang produksi, penyimpanan, penyebaran, hingga konsumsi minuman beralkohol kecuali untuk kepentingan terbatas.

Tentu saja hal ini menuai pro dan kontra. Pihak kontra berpendapat, pengesahan RUU disebut sebagai hal yang tidak penting dan tidak dewasa. Gomar Gultom Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonnesia (PGI) angkat bicara seperti dilansir CNN Indonesia. Pendekatan undang-undang ini sangat infantil alias segala sesuatu dilarang. Gultom membandingkan dengan negara lain seperti Uni Emirat Arab mulai membebaskan minuman beralkohol untuk dikonsumsi dan beredar luas di masyarakat. Menurutnya dengan adanya undang-undang minol Indonesia mundur beberapa langkah ke belakang.

Namun begitu pihak yang pro merupakan salah satu pengusul yaitu anggota DPR dari Fraksi PPP Illiza Sa'aduddin Djamal mengatakan, RUU Larangan Minol bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif akibat pengonsumsian minuman beralkohol. Demikianlah usulan legislasi pelarangan minol mendapat tentangan berbagai pihak dan dianggap menyalahi prinsip dasar legislasi ala demokrasi.

Banyak kepentingan atas penolakan undang-undang ini. Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia (APBMI), Stefanus berpendapat, jika RUU ini disahkan, dapat membunuh pariwisata Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, minol termasuk produk yang dikenai cukai. Data Kementerian Keuangan menunjukkan cukai minuman keras berkontribusi pada perekonomian negara dengan nilai sekitar Rp7,3 triliun tahun lalu. viva.co.id (13/11/ 2020).

Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Baleg, Firman Soebagyo juga mengingatkan ada persoalan keberagaman yang perlu diperhatikan. Dia mengatakan minumam berakhohol pun digunakan di daerah atau agama tertentu untuk kepentingan ritual. Seperti Bali, Papua, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, hingga Sulawesi Utara.

Minol yang terkenal merusak akal, dapat menimbulkan kejahatan, kekerasan, tindak perkosaan, bahkan merusak kesehatan. Sehingga, RUU ini diharapkannya dapat menjaga ketenangan masyarakat agar masyarakat terkondisikan. Namun faktanya negeri dengan sistem demokrasi, larangan minol berujung pada hasil kompromi. Wajar jika RUU Minol tak segera disahkan sejak pertama kali diajukan pada 2009.

Padahal korban jiwa berjatuhan karena minol. Namun karena keuntungan materi  yang sangat menggiurkan, melarang total peredarannya hanya harapan semata. Miras menimbulkan banyak persoalan sosial. Berdasarkan catatan Polri sepanjang tiga tahun terakhir terjadi 223 tindak pidana yang dilatarbelakangi miras. Di daerah, kasus kriminalitas yang disebabkan miras juga marak. Pada tahun 2011 misalnya, Polda Sulawesi Utara melaporkan sekitar 70 persen tindak kriminalitas terjadi akibat mabuk miras.

Minuman beralkohol bisa merusak kesehatan dan berakibat fatal terhadap hilangnya akal dan sebagainya. Banyak kasus pemerkosaan dalam kondisi mabuk serta  kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana mungkin seluruh syariat ditegakkan melalui mekanisme legislasi demokrasi? Tentu saja hanya isapan jempol semata. Bisa dipastikan bukan lagi UU Larangan Minol yang disahkan, tapi win-win solution alias Undang-undang yang penuh kompromi, dimana   Undang-undang ini tidak akan berisi larangan mengonsumsi, memproduksi, atau mengedarkan. Tapi hanya sebatas pengaturan atau regulasi. Siapa yang boleh mengonsumsi, siapa yang boleh memproduksi, hingga siapa yang boleh mengedarkan.

Demokrasi meletakkan legalitas hukum pada akal manusia,  manusialah penentunya baik atau buruk. Dengan begitu mustahil syariat mampu tegak dalam sistem demokrasi. Dipastikan tidak akan berhasil. Dari asasnya saja demokrasi tidak sesuai dengan Islam.

Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS Al Maidah: 90-91)

Menjauhi khamr merupakan perintah dari Allah SWT dan sebagai muslim kita wajib menaati. Dengan demikian hanya Khilafah sebagai tatanan yang sempurna dalam mengatur masyarakat dalam ketaatan. Wallahu'alam Bissawab[]

Posting Komentar

0 Komentar