Peran Politik Perempuan Dalam Islam

Oleh : Bunda Dee (Ibu Rumah Tangga, Member Akademi Menulis Kreatif)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia tinggal menghitung hari. Gempitanya semakin terasa mendekati hari pemilihan yang akan berlangsung pada  tanggal 9 Desember 2020 nanti. Kandidat calon pemimpin daerah dari berbagai partai politik sudah mulai gencar mengkampanyekan program-programnya. Salah satu hal yang menarik adalah maraknya pencalonan perempuan sebagai kepala daerah. Dua puluh lima persen calon kepala daerah yang diajukan oleh PDIP adalah perempuan.

Khususnya di Kabupaten Bandung, dilansir dari SuaraJabar.id, 23 September 2020. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menetapkan tiga pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Bandung Tahun 2020.  Yakni Dadang Supriatna dan Syahrul Gunawan dengan dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebanyak enam kursi, Partai Nasdem sebanyak lima kursi, Partai Demokrat sebanyak lima kursi, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebanyak 10 kursi, dengan jumlah total dukungan 26 kursi di parlemen. Pasangan Yena Iskandar Masoem dan Atep dengan dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebanyak tujuh kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) empat kursi, dengan jumlah dukungan sebanyak 11 kursi. Terakhir, pasangan calon yang ditetapkan terakhir yakni pasangan Kurnia Agustina dan Usman Sayogi dengan dukungan dari Partai Golkar sebanyak 11 kursi, Partai Gerindra sebanyak tujuh kursi, dengan jumlah dukungan sebanyak 18 kursi.

Dikutip dari Jabarnews.com, Selasa, 3 November 2020, pengamat politik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Asep Warlan, menyebut Kabupaten Bandung sangat mustahil dipimpin oleh seorang perempuan, meski didominasi dua pasangan calon (paslon) perempuan di Pilkada 2020. Dia menjelaskan bahwa Kabupaten Bandung memiliki luas wilayah dan kawasan industri, dua hal yang dapat menimbulkan polemik. Wilayahnya sangat luas dan banyak tantangannya. Oleh karena itu laki-laki lebih pantas untuk duduk sebagai kepala daerah di Kabupaten Bandung. Dia berasumsi bahwa peluang perempuan menang di Pilkada Kabupaten Bandung tidak sebesar laki-laki. Namun ini  bukan berarti perempuan tidak diperhitungkan, karena dalam kontestasi politik konsolidasi dan usaha untuk mencari dukungan, tidak akan menutup kemungkinan bahwa paslon perempuan di Kabupaten Bandung bisa menang dan memimpin. Bisa jadi masyarakat tidak peduli dengan kompleksitas. Yang penting masyarakat suka paslon jujur, programnya bagus kemudian didukung partai besar.

Tidak hanya di kabupaten Bandung, dalam sistem kapitalis saat ini membahas perempuan di ruang politik selalu saja menarik dan penting. Menarik karena secara riil, keterlibatan mereka dalam politik praktis masih kecil, padahal entitas ini jumlahnya separuh populasi penduduk bumi. Penting karena ada begitu banyak hak dan kebutuhan menyangkut perempuan yang bersentuhan langsung dengan keputusan politik. Perempuan diharapkan hadir bukan hanya di parlemen, melainkan juga menjadi kepala daerah, seperti bupati, wali kota, atau gubernur. Perempuan sebagai kepala daerah diharapkan lebih memahami persoalan yang berkaitan dengan perempuan, anak, dan keluarga. Karena itu kepemimpinan perempuan dapat berkontribusi menekan angka kematian ibu (AKI), menurunkan tingkat kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan, atau memastikan adanya dukungan terhadap perempuan pelaku ekonomi.   

Bisakah Pilkada Serentak 2020 melahirkan perempuan sebagai kepala daerah yang mumpuni? Faktanya dari setiap periode kepemimpinan perempuan masalah yang berkaitan perempuan, baik  kemiskinan,  kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, perdagangan perempuan dan anak semakin marak bahkan bertambah jumlahnya. Artinya tidak ada jaminan kesejahteraan perempuan bila dipimpin oleh seorang perempuan.

Sejatinya, majunya perempuan dalam kompetisi pilkada adalah harapan pegiat gender yang sudah digaungkan sejak tahun 1995. Adalah Beijing Platform for Action (BPfA) yang dideklarasikan pada tahun 1995, telah menentukan adanya 12 area kritis untuk mewujudkan hak perempuan, dan salah satunya adalah  tentang Perempuan dalam Kedudukan Pemegang Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan. Hal ini mengharuskan 189 negara yang ikut menandatangani BPfA ini untuk mengambil langkah-langkah yang menjamin akses dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan.


Bagaimana Islam menetapkan peran politik perempuan? Dan seperti apa Islam memandang kepemimpinan perempuan?

Bagi seorang muslim, ide “kepala daerah perempuan” adalah ide berbahaya karena lahir dari kesetaraan gender yang jelas bertentangan dengan Islam. Islam sudah memiliki aturan yang khas dan memuliakan perempuan dalam kehidupan, termasuk dalam bidang politik, tanpa perlu mengadopsi ide kesetaraan gender yang lahir dari peradaban Barat. Bahkan kesetaraan gender hanya akan membawa kerusakan dalam kehidupan umat dan pelanggaran terhadap aturan Allah SWT.

Islam jelas melarang perempuan menjadi pemimpin dalam urusan kekuasaan. Rasulullah SAW bersabda “Tidak akan beruntung suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” (HR Bukhari no 4225).

Oleh karena itu, haram hukumnya seorang muslimah menjadi Kepala Negara, Gubernur, Bupati atau Wali Kota, meskipun didukung oleh suara mayoritas. Meskipun Islam mengharamkan perempuan menjadi penguasa wilayah, Islam membolehkan partisipasi politik seorang muslimah dalam batas-batas yang ditetapkan syariat.

Kata politik dalam bahasa Arab sama dengan sâsa yasusu artinya mengurusi, dan bisa juga dimaknai memelihara. Telah banyak ahli yang mendefinisikan makna politik ini, di antaranya Samih ‘Athif dalam bukunya, As-Siyâsah wa As-Siyâsah Ad-Duwaliyyah (1987: 31), menyatakan bahwa politik (siyâsah) merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan membimbing menuju kebaikan. Namun ketika politik hanya dimaknai terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi saja, wajar jika aktivitas politik lebih fokus pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya menduduki jabatan kekuasaan dan legislasi.

Islam membolehkan seorang muslimah untuk menjadi anggota partai politik, melakukan kritik dan pengawalan jalannya pemerintahan (muhasabah lil hukkam), memilih pemimpin, dan menjadi anggota majelis ummah yang merupakan lembaga perwakilan umat. Islam juga membolehkan perempuan sebagai kepala sekolah, direktur rumah sakit, pimpinan perusahaan ataupun posisi pimpinan nonkekuasaan.

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, perempuan dibolehkan menduduki berbagai jabatan selama tidak termasuk dalam wilayah pemerintahannya, seperti  Khalifah (Kepala Negara Khilafah), Mu’awin (Pembantu Khalifah), Wali (Gubernur), Qadhi qudhat (Pemimpim para qâdhi/ hakim), Qâdhi Mazhâlim (Qâdhi/Hakim yang mempunyai kewajiban menghilangkan kezaliman, termasuk memecat Khalifah jika melakukan kezaliman kepada rakyat atau menyalahi Alquran dan Hadis), (Taqiyuddin an-Nabhani, Ajhizah ad-Dawlah al-Khilâfah, Beirut Libanon: Dar al Ummah, 2005, hlm.59,113,119,134 dan 153).

Kebolehan ini juga berlaku pada jabatan kepala departemen kesehatan, departemen pendidikan, departemen perindustrian, departemen perdagangan; rektor perguruan tinggi, kepala rumah sakit, direktur perusahaan; dan lain-lain. Prinsipnya, semua posisi kepemimpinan di luar wilayah pemerintahan bisa dijabat oleh perempuan.

Dalam menjalankan berbagai peran politiknya sudah seharusnya seorang muslimah melakukannya karena dorongan ingin terikat kepada ketentuan syariah. Bukan karena motivasi lain seperti demi memperjuangkan kesetaraan atau untuk mengejar eksistensi diri. Mereka yakin hanya dengan niat taat pada syariatlah yang akan menghantarkannya pada keberkahan hidup. Islam memberikan peran politik kepada perempuan sebagaimana Islam menetapkan peran politik kepada laki-laki. Adanya perbedaan peran kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan tidak menunjukkan status kemuliaan masing-masing.

Semakin jelas bahwa menjadikan perempuan sebagai pemimpin hanya akan menggiring umat mengikuti jalan Barat dan berpaling dari hukum Allah. Inilah sesungguhnya yang dikehendaki Barat, menjauhkan para muslimah dari syariat Allah, yang bisa menjadi agen pencegah kebangkitan Islam.  Dan ini akan terus terjadi jika umat tidak memiliki negara yang akan menjaga keselamatan jiwa maupun pemikiran. Negara pelindung ini hanya akan terwujud jika Khilafah Islamiyah tegak kembali. Khilafah akan menjaga umat dari pemikiran-pemikiran sesat yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.

Yang tidak kalah penting, Khilafah juga akan mencegah berkembangnya pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam yang dikampanyekan oleh individu maupun kelompok. Bahkan Khilafah juga menyediakan sanksi bagi penyebar pemikiran sesat dan menyesatkan. Demikianlah, Khilafah Islamiyah akan menjaga umat senantiasa dalam keridaan-Nya, sehingga membawa keselamatan dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam bi shawab.

Posting Komentar

0 Komentar