RUU Larangan Minol, Akankah Sejalan Dengan Islam?

Oleh: Shintami Wahyuningsih (Aktivis Muslimah Banyuasin)

Bagi sebagian besar umat Islam aturan terkait larangan minuman beralkohol (minol) adalah hal yang akan membawa kebaikan bagi kehidupan.

Terlebih lagi minuman beralkohol adalah minuman yang diharamkan oleh syariat Islam. Meski pembahasan RUU larangan minuman beralkohol sudah tertunda lama sejak tahun 2015 dan mulai dibahas kembali pada tahun 2020 ini, diharapkan bisa segera disahkan. Mengingat dampak dari minol ini yang membahayakan.

Minol dapat memberi dampak negatif bagi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, bahkan ancaman bagi kehidupan generasi pun semakin nyata, karena minuman beralkohol dapat menyebabkan orang-orang yang mengkonsumsinya kehilangan akal (mabuk). Ketika manusia sebagai makhluk berakal tidak mampu menggunakan akal sehat maka prilaku yang akan ditimbulkannya bisa membahayakan .

Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi alias Awiek meyakini, RUU ini sangat urgent untuk menjadi undang-undang. Bukan hanya demi umat Islam, tapi juga generasi penerus bangsa.

"Jangan serta merta RUU ini disebut demi kepentingan Islam saja, tidak. Ini demi kepentingan bangsa. Kebetulan memang minuman beralkohol dilarang dalam Islam," kata Awiek, Rabu (18/11/2020).

Awiek menyatakan, masyarakat sudah menantikan adanya aturan larangan minol. Sebab, tiap hari ada saja korban berjatuhan akibat alkohol. Menurutnya, hampir tiap bulan ada korban bahkan korban yang meninggal.

Namun tidak sampai disitu saja, pro dan kontra pun menghiasi pembahasan RUU larangan minol. Ketua asosiasi pengusaha minuman beralkohol Indonesia merespon dengan penolakan terhadap RUU minol ini “Kita nggak pengen disahkan. Kalau disahkan sama saja membunuh pariwisata Indonesia,” kata stefanus. 

Tidak mengherankan, dalam sistem yang diterapkan saat ini maka kotroversi pun tidak bisa dihindari. Atas dasar kebebasan semua orang bisa mengeluarkan pendapat tanpa memperhatikan halal haram. Inilah tabiat sistem demokrasi kapitalisme. Pro kontra pada pembahasan RUU minol ini membuat pemerintah mengambil sikap menampung berbagai pendapat lalu mengambil keputusan berdasarkan jalan tengah. Alhasil minuman beralkohol tidak dilarang cukup hanya diatur dan diawasi.

Bukankah ini berarti minuman beralkohol tetap beredar ditengah-tengah masyarakat, lalu bagaimana dengan hukum Allah Swt yang telah mengharamkan segala jenis minuman beralkohol?

Penerapan syariat Islam dalam sistem demokrasi kapitalis adalah sebuah kemustahilan. Sistem ekonomi kapitalis hanya berorientasi pada keuntungan materialis tanpa memandang dampak bagi masyarakat apalagi halal haram. Selama pada minuman beralkohol terdapat keuntungan yang menggiurkan bagi para pengusaha dan negara pun merasa diuntungkan secara materi, maka  melarang peredarannya hanya isapan jempol saja.

Permasalahan minuman beralkohol hanya bisa diselesaikan dengan Islam,  karena Islam secara tegas mengharamkan dan melarang peredarannya Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Maidah ayat 90 yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung".

Serta hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwasannya Nabi Saw bersabda: "Setiap yang memabukan itu Khamr dan setiap yang memabukan itu haram.”(H.R. Muslim). 

Umar bin Al Khatab ra pun telah menjelaskan tentang makna khamr, yaitu sesuatu yang menutup dan menghalangi akal untuk berfikir dengan jernih.

Belum lagi bahaya yang akan ditimbulkannya baik materi, non materi, ancaman fisik dan rusaknya tatanan kehidupan sosial.

Dalam sistem khilafah aturan yang akan diterapkan haruslah berdasarkan pada syariat Allah Swt. Sehingga segala jenis minuman beralkohol akan benar-benar dilarang. Mulai dari pembuat, pengedar, penjual dan peminum akan diberi sanksi tegas yang menjerakan. 

Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Anas ra bahwa Rasulullah Saw Bersabda, yang artinya: "Nabi Saw menerapkan hukuman cambuk terhadap orang yang meminum khamar (minuman keras dengan pelepah kurma dan sandal. Dan Abu Bakar menerapkan hukuman cambuk itu sebanyak empat puluh kali". (HR. Bukhari).

Selain membuat jera (zawajir),  hukum Islam juga bersifat jawabir ( menebus dosa), sehingga Islamlah satu-satunya yang akan membawa masyarakat pada kemuliaan hidup dan penjagaan terhadap aqal akan benar-benar dilakukan Negara yakni Khilafah Islamiyah, sebagaimana yang telah diwariskan oleh Rasulullah Saw dan para Khalifah setelahnya.

Wallahu’alam Bish Shawab.

Posting Komentar

0 Komentar