Oleh : Hanin Syahidah
Beberapa hari lalu Indonesia menerima kunjungan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo. Lawatan ini sekaligus berbarengan dengan kunjungannya di kawasan Asia. Di antaranya India, Sri langka dan Maladewa. Kunjungan ini menyisakan tanda tanya di tengah-tengah publik. Pasalnya kunjungan ini dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dan Cina dalam mencari dukungan negara-negara di Asia, khususnya soal konflik Laut Cina Selatan, yang diklaim sebagai wilayah milik Cina. Klaim tersebut ditentang oleh banyak negara, termasuk Indonesia. (Suara.com, 23/10/2020).
Terlebih dalam periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo ada kesan bahwa Indonesia lebih dekat dengan Cina. Apalagi selama merebaknya wabah Corona di seluruh dunia, maka tidak mungkin kunjungan yang dilakukan hanya sekadar mempererat hubungan bilateral bidang ekonomi, politik dan hankam kedua negara yang selama ini sudah terjalin tanpa ada deal-deal tertentu yang berkaitan dengan ketegangan di laut Cina Selatan. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa AS tentunya berharap Indonesia berada di belakang Washington. Permintaan AS untuk mendaratkan pesawat tempur mata-mata dapat diartikan demikian.(Republika.co.id, 26/10/2020).
Sungguh karakter AS sebagai kampium adikuasa yang menjadikan Kapitalisme sebagai ideologinya pasti tidak akan dengan mudah begitu saja melepaskan pengaruhnya di dunia. Karakter dasar ideologi adalah menyebarkan pengaruhnya ke luar negeri, dan Kapitalisme melakukannya dengan imperialisme, bisa secara fisik dalam bentuk invasi militer atau secara ekonomi dalam bentuk deal-deal ekonomi, atau penguasaan pengaruh dalam bentuk utang luar negeri. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pengesahan UU Cipta kerja yang ternyata didukung oleh World Bank (Kompas.com, 17/10/2020).
Bukan hanya keberpihakan Indonesia dalam ekonomi, politik dan hankam saja yang diharapkan AS. Sosial budaya juga diharapkan bisa dikendalikan oleh mereka juga, terbukti selain kunjungan itu bertemu dengan menteri luar negeri Retno Marsudi, Mike Pompeo juga menghadiri forum gerakan Pemuda Ansor. Dalam lawatannya ke Ansor, Pompeo membahas mengenai dialog agama dan peradaban.(Republika.co.id, Kamis 22/10/2020).
Tampak jelas bagaimana arogansi negara adikuasa satu ini untuk menguasai Indonesia yang kaya raya ini agar bisa disetir sesuai kepentingannya di segala bidang.
Selain kucuran dana utang berbunga, kerja sama militer, perang melawan fundamentalisme (radikalisme) akan menjadi bahan yang diperbincangkan kembali. Endingnya adalah bagaimana eksistensi Islam yang modernis dan liberalis semakin kuat di Indonesia karena merekalah yang aware dengan nilai-nilai barat.
Sebagaimana yang disebutkan oleh RAND corporation salah satu lembaga think thank AS yang mengotak-kotakkan kelompok Islam menjadi 4, diantaranya adalah fundamentalis-radikal sebagai bahaya yang harus dihabisi, tradisionalis diawasi, modernis (moderat) berstatus aman untuk tetap dipelihara dan liberalis sangat aman untuk eksis di negeri ini. Alhasil, tak heran untuk modernis dan liberalis akan terus diberi panggung untuk memuluskan semua kepentingannya di negeri muslim terbesar ini. Meskipun Menteri Luar Negeri tetap yakin akan eksistensi Indonesia untuk mempertahankan politik luar negeri bebas aktif, tetapi publik meragukan hal itu. Karena selama ini yang berkembang, keberadaan Indonesia ternyata selalu diperebutkan negara-negara besar, layaknya Cina dan AS. Bahkan disebut pengaruh Cina Indonesia sangat besar. Ini didasarkan pada hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), pengaruh China terhadap Indonesia mengalahkan pengaruh Amerika Serikat (AS).(merdeka.com 12/2/2020).
Dengan demikian, sebelum negeri ini berdiri tegak pada satu asas ideologi tertentu, akan sangat mudah posisinya digeret oleh kekuatan negara adikuasa yang berasas ideologi seperti Kapitalisme, Sosialisme ataupun Islam. Jika dikerucutkan, Ideologi hakiki di dunia tak lain ketiga ideologi tersebut.
Sosialisme telah runtuh sejak uni Sovyet bubar. Maka yang berkuasa sekarang adalah Kapitalisme dengan AS yang menjadi aktornya. Kemudian, saat ini yang jadi musuh Kapitalisme adalah Islam. Maka dengan negara yang berpenduduk mayoritas muslim, sangat tidak mustahil Islam menjadi kekuatan ideologi di Indonesia. Akankah Islam benar-benar bisa menjadi kekuatan baru di Indonesia yang akan menjadikan Indonesia superpower? Bi idznillaah, Islam akan kembali tegak sesuai bisyarah Rasulullah. []
Wallahu a'lam bi ash-shawab
0 Komentar