Umat Butuh Perubahan Mendasar Agar Tak Kesasar

Oleh : Yuliyati Sambas, S.Pt (Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)

Kondisi dunia kini disadari oleh banyak kalangan demikian memprihatinkan. Lembaga Moneter Dunia (IMF) memprediksi dalam laporan resmi yang dirilis Juni 2020, bahwa output ekonomi global tahun ini akan mengalami penyusutan hampir 5 persen. Diungkapkan dengan penurunan tersebut, dunia akan kehilangan output ekonomi hingga US$ 12 triliun selama dua tahun. (BBCNewsIndonesia, 25/6/2020)

Imbas buruknya sampai juga ke negara kita. Resesi telah resmi dialami, diperlihatkan selama dua kuartal istiqamah mengalami pertumbuhan ekonomi minus. Utang luar negeri terbesar peringkat ke-7 pun menjadi prestasi yang disandang oleh negeri dengan harta kekayaan melimpah ini.

Para petinggi negeri di dunia kini berlomba agar bisa keluar dari kondisi buruk tersebut. Di Indonesia sendiri problem ekonomi disikapi dengan mengeluarkan strategi-strategi yang dipandang ampuh mengobati sakit parah ekonomi yang tengah diderita. Dimana ia merembet memunculkan problem  multidimensi yang kian membentuk benang kusut. Satu di antara besutan teranyarnya adalah dengan disahkannya Undang-Undang Omnibus Law. Dengan kemampuan sapu jagatnya, meski telah diprotes oleh hampir semua kalangan rakyat, namun tetap melenggang dengan mulusnya. Undang-Undang setebal 1.187 halaman itu telah resmi ditandatangani oleh Presiden Jokowi tanggal 2 November 2020. (detikNews, 2/11/2020)

Pemerintah selalu berargumen bahwa UU Omnibuslaw yang penuh kontroversi itu disahkan demi memperbaiki tingkat kesejahteraan rakyat yang amburadul. Dalam narasinya, UU tersebut akan mampu memperbaiki iklim ekonomi dengan menarik sebanyak mungkin investasi perusahaan-perusahaan baik lokal terlebih asing. Hal itu digadang-gadang akan berbanding lurus dengan pembukaan lapangan kerja dan terserapnya tenaga kerja lokal. Namun faktanya tak semanis seperti apa yang dinarasikan. Terbukti banyak dari pasal-pasal yang ada di dalamnya demikian tak memihak pada kalangan pekerja. Bahkan nyata lebih berpihak pada kalangan korporat. Itu yang terjadi pada klaster ketenagakerjaan.

Klaster yang lainnya pun tak jauh berbeda. Perkara pertanahan pun tak luput dari poin yang nyata menzalimi rakyat. Undang-undang itu dianggap melanggengkan dominasi investasi dan bakal mempercepat laju kerusakan lingkungan.

Klausul sertifikasi kehalalan produk yang beredar di masyarakat pun mendapat sorotan banyak pihak. Kedudukan ulama dalam menetapkan kehalalan suatu produk, melalui UU ini kian dipangkas. Walhasil umat makin tak mendapat perlindungan dari negara terkait aspek keamananan bahan pangan yang akan mereka konsumsi.

Semua memperlihatkan betapa UU yang sebelumnya telah sekian kali mengalami revisi itu demikian kental aroma liberalnya. Penolakan demi penolakan yang disampaikan oleh masyarakat pun dipandang bak angin lalu. Demokrasi yang selama ini dipandang memiliki kemampuan super dalam mekanisme tersampaikannya aspirasi dan kehendak rakyat, nyata ditelanjangi dengan kasus ini. Demokrasi tak lebih sekadar legalisasi dalam meraih hati rakyat ketika pesta suksesi lima tahunan. Sementara dalam proses selanjutnya, mereka yang berhasil duduk di singgasana kekuasaan seolah lupa dengan janji di masa kampanye, janji untuk sejahterakan rakyat, janji untuk senantiasa ada di sisi rakyat dalam memperjuangkan setiap kebutuhan dan terapkan keadilan di tengah mereka.

Itulah karakter asli demokrasi. Sebagai sistem politik yang diwarisi dari Barat telah nyata wajah buruknya. Ia pun setali tiga uang dengan sistem ekonomi yang berjalan membersamainya, yakni kapitalisme. Sistem ekonomi yang nyata demikian rapuh dan tak sanggup memberi keadilan di tengah rakyat. Kesenjangan ekonomi yang dihasilkan sistem yang mendewakan materi dan profan ini disebabkan ia telah gagal dalam proses pendistribusian harta. Kekayaan negeri hanya dimiliki segelintir para kapital dan penguasa yang beroligarki dalam lingkarannya. Sementara rakyat banyak harus berjuang mati-matian dalam mengakses kebutuhan hidupnya. 

Sekularisme yang dianut menjauhkan peran agama dalam tata pengaturan kemaslahatan negeri. Halal haram telah lama ditinggalkan jika berhubungan dengan harta dan dunia. Minimnya rasa takut akan pengadilan di negeri akhirat menjadikan para penguasa tak segan menggadaikan keamanahannya di saat mengurus rakyat. Aturan agama dikerdilkan perannya dengan diperbolehkan mengatur urusan ibadah mahdhah. Sementara perkara kehidupan, baik berpolitik, bernegara, bermuamalah, memandang perkara adil atau zalim, pengurusan rakyat dan seterusnya dikembalikan pada aspek manfaat, agama dilarang masuk area ini.

Apa yang terjadi di negeri ini menimpa juga negeri-negeri lain di dunia. Terlebih dengan adanya pandemi global, telah berhasil meluluh lantakkan ketahanan ekonomi setiap negara di seluruh pelosok dunia. Hatta negeri adi daya sekalipun. 

Maka, beragam problem ekonomi yang merembet pada persoalan multidimensi lainnya itu kian menyadarkan betapa dibutuhkan perubahan di tengah rakyat. Sementara telah muncul kesadaran bahwa demokrasi kapitalis tak mampu diharapkan lagi. Maka dibutuhkan perubahan besar yang bersifat mendasar agar rakyat tak kesasar. Bukan perubahan bersifat parsial. Dimana berusaha menutup satu permasalahan dan menghasilkan lubang persoalan lain yang menganga.

Masyarakat dunia lamat-lamat telah mendengar seruan yang menyuarakan adanya opsi perubahan mendasar yang ditawarkan oleh Islam. Sebagai sebuah agama paripurna, di dalamnya terdapat sandaran akidah yang demikian kokoh. Ia memancarkan seperangkat aturan kehidupan (syariat) dimana tak ada satu pun problematika di dunia luput dari pengaturannya. Kebenarannya tak terbantahkan karena ia datang dari Zat yang Maha Pencipta, Maha Tahu hakikat kebenaran dan kebaikan atas setiap ciptaan-Nya.

Dunia pun sesungguhnya telah membuktikan betapa wajah kehidupan hasil dari pengaturannya demikian gemilang, adil dan menyejahterakan. Hampir 14 abad dunia berada pada pengayoman syariat Islam. Ungkapan jujur Will Durrant, seorang sejarawan dunia asal Barat, dapat menjadi satu gambaran betapa dunia berterimakasih pada kegemilangan syariat yang diterapkan dalam institusi berdaulat di bawah kepemimpinan seorang khalifah.

Para khalifah (pemimpin sistem Islam) telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besar bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zamannya. (The Story of Civilization)

Sebuah konferensi online internasional telah diselenggarakan pada Sabtu, 31 Oktober 2020 tentang kerinduan akan kembalinya tatanan dunia Islam. Pembahasan mengerucut pada butuhnya dunia akan terwujudnya kembali penerapan syariat Islam menyeluruh. Untuk menyelesaikan setiap problematika kehidupan yang nyata tak sanggup diselesaikan oleh demokrasi kapitalis sekuler. (http://www.hizb.org.uk/media/press-releases/the-return-of-the-islamic-world-order-conference-concludes-with-a-message-of-hope-for-the-oppressed-and-a-call-to-work-earnestly-for-the-khilafah)

Terlebih bagi seorang muslim, diterapkannya syariat Islam menyeluruh bukan sekadar kebutuhan. Hal ini juga merupakan kefardhuan dari Rabb semesta alam yang akan menghantar pada kemuliaan hidup. Sebagaimana firman-Nya, "Wahai orang-orang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh bagimu." (TQS. al-Baqarah ayat 208)

Pertanyaannya, siapkah umat semua menyongsong perubahan mendasar menuju perubahan hakiki? Sebagaimana yang dahulu Sang Teladan Umat Rasullulah Muhammad saw. jalani. Tatkala mendapati kezaliman demi kezaliman menimpa insan.

Posting Komentar

0 Komentar