Oleh: Puji Ariyanti (Pegiat Literasi untuk Peradaban)
Dilansir oleh bbc news, sebuah investigasi visual yang diliris pada kamis (12/11) menunjukkan perusahaan raksasa asal Korea Selatan "secara sengaja" menggunakan api untuk membuka hutan Papua demi memperluas lahan sawit. Perusahaan Korea bernama Korindo tersebut merupakan salah satu perusahaan sawit dengan lahan terluas di daerah pedalaman Papua.
Greenpeace Internasional pada 2013 serta sistem geolokasi menemukan bukti beberapa tahun pembakaran dengan pola ''pembakaran yang disengaja'' secara konsisten. Hutan Papua merupakan salah satu hutan hujan yang tersisa di dunia dengan keanekaragaman hayati tinggi. Lebih dari 60 persen keragaman hayati Indonesia, ada di Papua.
Masyarakat suku Malind, yang tinggal di pedalaman Papua, perlahan kehilangan hutan adat yang menjadi tempat mereka bernaung. Mereka sedih karena hutan adatnya di pedalaman Merauke kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Sementara, ketua marga Kinggo dari suku Mandobo, Petrus Kinggo, berkukuh mempertahankan hutan adatnya di Distrik Jair, Boven Digoel. Dia menolak hutan adatnya dijadikan kebun kelapa sawit. Dia mengatakan sagu yang jadi makanan pokok masyarakat Papua lambat laun tergusur kebun kelapa sawit.
Anak usaha perusahaan Korea Selatan (Korsel), Korindo Group, menguasai lebih banyak lahan di Papua daripada konglomerasi lainnya. Perusahaan ini telah membuka hutan Papua lebih dari 57 ribu hektare, atau hampir seluas Seoul, ibu kota Korsel. Perusahaan ini sengaja membakar hutan untuk membuka lahan sawit.
Namun begitu, memperkuat hasil investigasi yang sebelumnya telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Merauke dengan Nomor Surat 522.2/0983 tertanggal 24 Agustus 2016 yang menyatakan bahwa pembukaan lahan dilakukan secara mekanis dan tanpa bakar.
Kemandulan sistem demokrasi dalam melindungi rakyat dan hak rakyat, dari campur tangan dan perusakan yang dilakukan asing adalah bukti bobroknya sistem ini. Bukti setali tiga uang antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Merauke yang telah memberikan izin pelepasan kawasan hutan, serta memberikan hasil investigasi pembukaan lahan tanpa bakar. detiknews (14/11/2020).
Kebijakan pemerintah kerap menyengsarakan rakyat. Sehingga cengkeraman penjajahan asing makin menzalimi rakyat. Mereka berdalih membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat, namun faktanya hingga kini belum mampu membangkitkan perekonomian nasional. Kebijakannya pun justru menjerumuskan Indonesia makin dalam pada jurang ekonomi kapitalis.
Mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan rusaknya kawasan hutan Papua yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan alam hutan Papua tidak ternila harganya seperti kekayaan mineral: tembaga, emas, intan, barang tambang, minyak, gas dan lain-lain. Kebijakan pemerintah atas nama investasi merugikan rakyat Papua. Tidak hanya dilihat dari sisi kerugian ekonomi dan lingkungan hidup tapi juga simbolisasi kepentingan asing yang semakin mencengkeram situasi politik dan ekonomi Papua.
Papua sebagai daerah di Indonesia dengan hutan terluas yaitu 40.546.360 hektar. Namun kekayaan alamnya tidak menjamin kesejahteraan hidup bagi masyarakat setempat. Eksploitasi korporasi oleh berbagai pihak yang mengakibatkan masyarakatnya masih hidup dibawah garis kemiskinan, berpendidikan rendah, terpinggirkan, bahkan terabaikan dan merupakan daerah tertinggal.
Papua adalah aset negara yang seharusnya dijaga, karena kekayaan alamnya merupakan kepemilikan umum. Namun kurangnya periayahan terhadap rakyat Papua menjadikan situasi politiknya memanas. Sehingga tuntutan otonomi khusus makin menguat. Hal ini tidak lepas dari "leluasanya" asing memainkan kepentingan ekonomi dan peran politiknya di wilayah ini. Betapa lemahnya negara demokrasi dalam menjaga kedaulatan negaranya.
Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat (sama-sama memiliki hak) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah).
Dengan demikian dalam sistem Islam kewajiban negara melakukan pengawasan serta mencegah kerusakan hutan dan lingkungan sekitarnya. Sehingga tak segan-segan memberlakukan sanksi tegas terhadap pelanggaran hutan seperti pembakaran hutan, penebangan yang disertai kesengajaan merusak hutan dan lingkungan sekitarnya. Prinsipnya sanksi yang memberi efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi kejahatannya. Dengan demikian asing/korporasi tidak memiliki celah untuk menguasai kepemilikan umum begitu juga dengan individu.
Pengelolaan hutan sebagai harta milik umum pun berada di tangan negara bukan swasta atau individu. Karena hutan termasuk harta kepemilikan umum, bukan milik individu atau negara. Pengelolaannya diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.
Lemahnya negara demokrasi dalam menjaga kedaulatan negara. Berbalik dengan kerja keras khilafah yang siap melindungi setiap jengkal tanah dan hak rakyat dari intervensi asing. Kita butuh Khilafah sesegera. Wallahu'alam Bissawab[]
0 Komentar