Oleh: Imas Royani
Menakjubkan dalam dua periode kepemimpinan Jokowi tercatat sudah ada empat menteri yang terjerat kasus korupsi. Dikutif dari kompas.com dua menteri yang terjerat korupsi pada periode ke satu (2014-2019), yakni mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi serta mantan Menteri Sosial Idrus Marham. Di periode kedua (2019-2024), menteri Jokowi yang terjerat yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Tak berselang lama kemudian Menteri Sosial Juliari P. Batubara (JPB) juga dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keempat menteri tersebut berasal dari partai politik. Adapun Idrus merupakan kader Partai Golkar dan Imam merupakan kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kemudian, Edhy adalah kader Partai Gerindra dan JPB adalah politikus PDI Perjuangan.
Kasus JPB ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK di kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek di tahun 2020. JPB bersama tersangka MJS dan AW selaku pejabat pembuat komitmen di Kemensos ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Kemudian, tersangka AIM dan HS selaku pemberi suap. Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut atas operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Jumat (5/12/2020) dini hari.
Dikutip dari news.detik.com, total uang yang diduga diterima Juliari Batubara sebesar Rp 17 miliar. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan uang miliaran rupiah itu diterima Menteri Sosial Juliari Batubara dari fee dua periode pengadaan bansos. Periode pertama, Firli menjelaskan diduga telah diterima fee sebesar Rp 12 miliar. Mensos Juliari Batubara diduga turut menerima uang senilai Rp 8,2 miliar turut diterima Mensos Juliari. Tak hanya itu, Firli menyebut pada periode kedua, yakni Oktober-Desember 2020, sudah terkumpul uang senilai Rp 8,8 miliar yang dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Mensos Juliari Batubara. Uang Rp 8,8 miliar itu diduga akan dipakai untuk keperluan Mensos Juliari Batubara. Uang itu diduga berasal dari kesepakatan fee penunjukan rekanan pengadaan bansos COVID-19 ini sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bantuan sosial. Firli mengatakan ada tiga vendor yang ditunjuk oleh Kemensos untuk menyediakan bantuan Corona, salah satu milik anak buah Menteri Sosial Juliari Batubara, yakni Matheus Joko Santoso. Matheus Joko Santoso adalah PPK pengadaan bantuan Corona yang ditunjuk langsung oleh Juliari Batubara.
"Selanjutnya oleh MJS (Matheus Joko Santoso) dan AW (Adi Wahyono) pada bulan Mei sampai dengan November 2020 dibuatlah kontrak pekerjaan dengan beberapa supplier sebagai rekanan yang diantaranya AIM, HS dan juga PT RPI yang diduga milik MJS. Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW," tutur Firli.
Pantas saja jika akhirnya ketua KPK Firli Bahuri menyatakan bahwa pelaku korupsi pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) saat pandemi Covid-19 layak dihukum mati karena disaat masyarakat membutuhkan bantuan dia malah memanfaatkan situasi dengan memperkaya diri sendiri. Sama saja dengan menari di atas penderitaan orang lain. Sudah selayaknya selaku Menteri Sosial dia melakukan kegiatan sosial yang tentu saja untuk kepentingan sosial. Ini malah Bantuan Sosial yang hanya Rp 300 ribu harus dikurangi pula Rp 10 ribu masuk ke kantongnya. Padahal bila diukur dengan gajinya sebagai Mensos yang fantastis, apalah artinya uang segitu. Berbeda dengan rakyat yang seharusnya bila menurut teori sistem demokrasi adalah pemilik kekuasaan tertinggi. Namun apalah daya itu hanya sebatas slogan teori tanpa bukti.
Namun pernyataan tersebut ditentang keras oleh Institute for Criminal Justice (ICJR). Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu merekomendasikan langkah yang lebih tepat diambil oleh pemerintah seharusnya fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya. Erasmus mengatakan ICJR dalam laporan kebijakan hukuman mati 2020 “Mencabut Nyawa di Masa Pandemi” yang dikeluarkan pada Oktober 2020 telah memprediksi bahwa wacana pidana mati di tengah pandemi ini akan digunakan untuk seolah-olah sebagai solusi atas permasalahan korupsi di pemerintahan.
Dalam laporan tersebut ICJR telah menekankan bagaimana penjatuhan hukuman mati sama sekali tidak mempunyai dampak positif terhadap pemberantasan korupsi di suatu negara. Narasi pidana mati menandakan bahwa pemerintah berpikir pendek atas penanganan korupsi di Indonesia. Pemberlakuan pidana mati untuk tindak pidana korupsi juga akan mempersulit kerja-kerja pemerintah dalam penanganan korupsi, sebab banyak negara yang jelas akan menolak kerja sama investigasi korupsi jika Indonesia memberlakukan pidana mati. Pembaruan sistem pengawasan yang harus dirombak ketimbang bersikap reaktif dengan menjatuhkan hukuman mati terhadap kasus-kasus individual. (Merdeka.com).
Lagi-lagi perbedaan pendapat mencuat di kalangan para elite politik. Termasuk dalam penanganan kasus korupsi saat ini. Hal ini semakin menandakan betapa lemahnya sistem demokrasi dimana segala sesuatu dilandaskan atas suara terbanyak, bukan halal dan haram sebagaimana dalam sistem Islam. Ditambah lagi adanya politik balas dendam antar parpol, yaitu suasana politik demokrasi yang saling menjatuhkan untuk menaikkan dukungan suara rakyat.
Hal ini pula yang membuat rakyat semakin muak dan menyatakan kekesalannya terutama di media sosial. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) terhadap tren persepsi publik tentang korupsi di Indonesia. Hasilnya, 45,6 persen responden menilai korupsi Indonesia meningkat dalam 2 tahun terakhir. Menurut Direktur LSI, Djayadi Hanan, saat konferensi virtual di YouTube LSI, Minggu (6/12/2020), tren masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam mencegah dan menegakkan hukum terhadap pelaku korupsi menurun dalam 2 tahun terakhir. Pada pointer yang dibeberkannya, tren penilaian terhadap mencegah korupsi menurun dari 42,7 persen menjadi 28,3 persen (Desember 2018-Desember 2020). Sedangkan untuk tren penilaian menegakkan hukum terhadap pelaku korupsi menurun dari 44,1 persen menjadi 22,2 persen.
Menurut Permadina Kanah Arieska, S.Si., M.Si., Suburnya tindak korupsi di suatu negeri tidak bisa dilepaskan dari sistem politik yang digunakan. Negara yang menerapkan sistem politik demokrasi dipastikan menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi karena dalam sistem politik demokrasi, rakyat yang diberikan kedaulatan penuh untuk membuat undang-undang. Kala manusia yang diberikan hak untuk membuat sebuah peraturan, produk hukum yang dihasilkan berpeluang memiliki kecenderungan kepentingan. Walhasil politik yang dilakukan bukan lagi politik pelayanan masyarakat, namun lebih pada tendensi kepentingan individu dan kelompok. Tak hanya itu, mahalnya biaya politik demokrasi semakin mengukuhkan perilaku korupsi. Pemilu yang memakan dana miliaran bahkan ada yang sampai triliunan, meniscayakan adanya praktik jual beli suara dan juga catatan dari para kapitalis besar yang menginginkan kompensasi maksimal. Mulai dari tender berbagai proyek, hingga perubahan regulasi guna mendukung kepentingan sang donatur dana. Akibatnya negara bertransformasi menjadi korporatokrasi, yaitu pemerintahan yang disetir korporasi. Hingga trias politik yang diklaim menjadi sistem politik “terbaik”, nyatanya saling bekerja sama untuk mendapatkan keuntungan demi kepentingan individu dan partainya.
Hal senada diungkapkan oleh Ustadzah Iffah Ainur Rochmah. Beliau berpandangan penuntasan kasus korupsi tidak bisa diharapkan hanya dari penegakan hukum dan jenis hukuman yang menjerakan saja. Tapi harus diberantas mulai akarnya, yaitu sistem kapitalisme demokrasi. Beliau juga mengatakan, dalam sistem demokrasi, selalu lahir individu yang tak takut dosa, berusaha mencari celah mendapat harta dengan cara apa saja. Sehingga menurutnya, pemberantasan korupsi tak cukup dengan peningkatan kinerja KPK dan menyempurnakan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atau sejenisnya. Beliau pun menegaskan, yang harus dilakukan adalah merujuk pada Islam secara paripurna/kafah. Sistem Islam akan melahirkan individu rakyat maupun pemimpin yang takwa. Islam mewajibkan negara memberlakukan syariat di semua aspek, ekonomi, politik dan pemerintahan, termasuk sanksi. Dan politik Islam jauh dari gambaran pemilihan demokrasi.
Hanya dengan sistem Islam melalui institusinya yaitu Khilafah yang terbukti nyata melahirkan keadilan, yang tidak hanya bagi muslim namun juga nonmuslim. Dalam Khilafah Islam, berkaitan dengan harta, calon pejabat/ pegawai negara akan dihitung kekayaannya sebelum pengelolaan. Saat penggunaan harta pun selalu dihitung baik pengurangannya maupun penambahannya. Apabila ada penambahan yang meragukan, maka segera dilakukan pengecekan apakah penambahan tersebut didapat dengan cara yang syar'i atau tidak. Apabila terbukti melakukan kecurangan/ korupsi, maka harta tersebut akan disita kemudian dimasukkan ke dalam daftar kekayaan negara, sedangkan pejabat/ pegawai tersebut akan dijerat hukum tanpa pandang bulu. Khilafah Islam sangat fokus dalam memberantas tindak korupsi.
Dalam Islam tindakan suap-menyuap diharamkan. Bahkan, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya akan mendapat laknat dari Allah SWT. Rasulullah Saw. bersabda, “Allah melaknat penyuap dan yang disuap dalam urusan hukum.” (HR Tirmidzi). Dalam hadits yang lain pun ditegaskan bahwa, "Yang menyuap dan yang disuap masuk neraka." (HR Ath-Thabrani).
Ketika diancam oleh laknat Allah, berarti hidup akan jauh dari rahmat dan berkah-Nya. Dan di akhirat kelak, nasibnya pun akan merugi karena suap merupakan “penyakit” yang berbahaya sebab dapat merusak akhlak individu dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi hanya akan hilang dengan tegaknya Khilafah Islam yang akan menghasilkan sebuah peradaban yang berkeadilan dan menyejahterakan untuk seluruh alam. Masih adakah keraguan untuk segera mencampakkan sistem demokrasi yang telah terbukti menjadi penyebab suburnya korupsi?
Wallahu'alam bishshowab.
0 Komentar