Demokrasi-Kapitalisme, Melahirkan Jiwa Ambisius Dan Mematikan Rasa Kemanusiaan

Oleh : Yeni Ummu Athifa (Muslimah Peduli Negeri)

Belum lagi hilang dari ingatan kita tentang OTT oleh KPK terhadap tersangka  korupsi yang di lakukan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edi Prabowo. Tanah air kembali di gemparkan dengan terciduknya Menteri Sosial, Juliari Batubara oleh KPK juga  terkait  tindak pidana korupsi. 

Mirisnya, kali ini kasus yang menyeret lima orang Tersangka lainnya tersebut, didakwa atas kasus dugaan suap pengadaan paket bantuan sosial (bansos) sembako penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial RI Tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode, (Nasional.Okezone.com).

Sungguh tidak manusiawi! Di saat masyarakat sedang mengalami kesusahan  akibat pandemi yang tak kunjung berakhir ini. Terlebih lagi, bansos saat ini sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia, khususnya yang terdampak  Covid-19 ini. Di saat Banyak orang dilema  memenuhi kebutuhan pangan karena kondisi ekonomi yang tidak jelas, antara keharusan dan kekhawatiran akan terkena virus Covid-19.

Bukankah begitu besar jumlah orang yang  menderita secara ekonomi?  Betapa banyak masyarakat yang kehilangan mata pencariannya akibat pandemi, namun mereka tetap perlu biaya untuk menyambung kehidupan. Di samping itu, jumlah orang yang meninggal karena virus Corona  kian meningkat, di saat paramedis berjuang  tanpa kenal lelah dan siap pasang badan menghadapi risiko tertular virus mematikan ini.  Benar-benar menyesakkan dada!

Namun  hal ini sudah sejak awal diprediksikan akan menjadi celah terjadinya penyalahgunaan jabatan oleh pihak tertentu. Mengapa? Karena sejak mulai merebaknya covid-19 di negeri ini bahkan pandemi ini masih berlangsung hingga kini. Pemerintah telah mengonturkan berbagai  dana bantuan untuk masyarakat baik  terimbas langsung covid-19 maupun yang tidak.

Dilansir dari  kompas.com, 6/12/2020, Pemerintah Pusat sendiri menganggarkan dana lebih dari Rp 431 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Kementerian Sosial mendapatkan anggaran bansos terbesar. Program bansos tersebut meliputi PKH Rp 36,71 triliun, kartu sembako Rp 39,71 triliun, bantuan sembako Jabodetabek Rp 6,44 triliun, dan bantuan sembako non-Jabodetabek Rp 33,33 triliun. Berikutnya adalah bansos tunai penerima sembako Rp 4,5 triliun, dan bansos beras bagi penerima PKH Rp 5,26 triliun.

Selain digunakan untuk bansos warga miskin, dana PEN juga disalurkan untuk berbagai program antara lain Kartu Prakerja Rp 19,9 triliun, diskon listrik Rp 9,74 triliun, BLT dana desa Rp19,17 triliun. Maka wajar jika KPK, jauh-jauh hari telah memberi sinyal  kemungkinan akan menjadi titik rawan korupsi dana bansos di kementerian ini, (Liputan6.com, 06/12/2020).

Jelas terlihat bagaimana carut marutnya negeri ini dengan berbagai persoalan bangsa yang  tak kunjung selesai. Di sisi lain,  kasus korupsi terus menggurita dan sulit diberantas. Bahkan kian santer terdengar, merebak bak jamur di musim semi. Seakan ketika  jabatan diperoleh,  merupakan jalan tol untuk mengerut dana negara untuk  keuntungan pribadi jika ada kesempatan. Mereka lupa bahwa uang yang mereka ambil adalah uang rakyat.

Maka sudah menjadi rahasia umum, jabatan di sistem Demokrasi-Kapitalisme ini senantiasa menggiurkan sehingga sering diperebutkan. Tak heran pula, disebut jabatan politis. Pasalnya berbagai cara rela dilakukan untuk meraih jabatan. Bukan hanya jabatan balas jasa atau bagi-bagi kekuasaan saat berjibaku menyukseskan Pilpres/Pilkada namun tak jarang harus menegosiasi dengan membayar  sejumlah uang yang tidak sedikit.

Wajar, apabila kemudian   pemangku jabatan akan mengeluarkan kebijakan  yang memihak pengusaha yang menjadi kroni-kroninya. Selain melirik  kesempatan yang bisa dimanipulasi  demi meraih keuntungan atau setidaknya balik modal atas usaha dan sejumlah kapital yang tekah dikeluarkan demi jabatan tersebut. 

Sehingga jangan terlalu berharap kepada mereka, mau memikirkan bagaimana agar rakyat sejahtera, karena itu bukan prioritas mereka. Sebaliknya, justru jurus ABS (Asal Bapak Senang) yang menjadi fokus perhatiannya. 

Tidak salah jika dikatakan, sistem ini rusak dan merusak.  Bayangkan, ibarat  lingkaran  setan, sistem Kapitalisme menimbulkan permasalahan demi permasalahan. Sistem yang berasas Sekularisme, memisahkan aturan agama dalam  kehidupan, bukan saja melahirkan pribadi-pribadi yang rusak, tapi juga merusak pribadi-pribadi yang hanif/baik ketika terlibat di dalamnya. 

Bahkan sistem Demokrasi-Kapitalisme dapat berubah seseorang menjadi manusia yang  ambisius, gila harta hingga tak jarang  mematikan rasa kemanusiaan. Terlihat dari kasus mensos ini, walaupun telah memiliki harta kekayaan lebih kurang Rp 47,118 M, masih saja terasa belum cukup.  Alih-alih mengeluarkan bantuan dari kantong pribadinya, dana bantuan untuk masyarakat miskin pun tega di gerayangi.

Alhasil, kapital atau materilah yang menjadi tujuan meraih jabatan. Tentu saja,  korupsi hanya lah salah satu jalannya. Jika pun tertangkap, dalam sistem ini memungkinkan banyak cara untuk mengelak dari tuntutan hukum pidana yang mestinya dia terima.  Melarikan diri ke luar negeri atau menghilangkan bukti sering terjadi, Bahkan tak jarang pada awalnya tersangka akhirnya tervonis bebas melenggang. 

Semua  tidak aneh terjadi karena hukum pun bisa di beli dalam sistem batil ini.  Hukum  bisa mulus oleh sejumlah   fulus.   Jadi,  percaya korupsi bisa dibabat Habis dalam sistem Demokrasi-Kapitalisme-Sekularisme, apalagi menyejahterakan rakyat? 


Islam Menuntaskan Korupsi

Islam tidak memandang mengguritanya korupsi  hanya sebagai kasus  korupsi saja. Akan tetapi korupsi merupakan tindakan  kriminal/kejahatan yang terjadi secara sistemik  hingga tidak bisa dilepaskan dari sistem yang di jalankan saat ini, saling terkait dengan aturan hidup lainnya. Sementara jelas, saat ini negara tidak menjalankan sistem Islam dalam pengelolaan urusan negara. Akibatnya, tak heran jika ada kekuasaan dan kesempatan sangat memungkinkan    korupsi itu  terjadi. 

Maka jika ingin memutuskan mata rantai masalah korupsi ini haruslah diselesai dari akarnya, yaitu dari sistem pemerintahannya. Di mana  Islam telah menjelaskan bagaimana memberangus suatu kejahatan apa pun bentuknya,  tidak terulang kembali. Maka  hendaklah diselesai  melalui tiga  pilar yang utama, yaitu; 

Pertama, membentuk ketakwaan individu. Di mana keluargalah yang membangun fondasi ketakwaan ini pertama kali. Menanamkan taat kepada Allah dan rasul hingga taat syariat. Jika seseorang memiliki ikatan “idrak Sillah Bilallah" dengan Allah, sadar dia bahwa Allah senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik manusia. Tahu persis Allah akan memberi ganjaran atas segala perbuatan dengan siksa dan pahala, lalu bagaimana mungkin dia akan melakukan perbuatan yang melanggar syariat, bukan?

Kedua, adanya kontrol masyarakat. Kontrol masyarakat akan ada jika dalam masyarakat terkondisikan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga jika masih lolos dari ketakwaan individu oleh sebab sesuatu hal, maka di sinilah perlu adanya kontrol masyarakat yang akan saling mengingatkan sehingga mencegah dia untuk berbuat  kejahatan tersebut.

Ketiga, harus adanya peran negara, negaralah yang berkewajiban untuk menegakkan dan memastikan syariat terlaksana.  Karena itu negara juga akan memberikan sanksi terhadap pelanggar syariat melalui qhadi/hakim yang amanah, yang telah di tunjuk oleh Khalifah. Karena sanksi itu  sendiri berfungsi sebagai jawajir  yaitu membuat efek jera dan berfungsi sebagai jawabir yaitu mencegah perilaku berulang kembali terjadi.

Namun perlu diketahui, bahwa sanksi dalam Islam di jatuhkan sesudah negara yakin bahwa telah tertutupnya segala kemungkinan yang mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan tersebut. Sebagai contoh, untuk menghindari tindakan korupsi maka negara selain menempatkan pejabatnya sesuai dengan kemampuan dan tentunya adalah orang yang amanah.   Kemudian  memastikan  para pejabat ini tercukupi segala keperluannya, gaji yang sesuai dan layak baginya, terjamin kesehatan, sandang dan pangan, termasuk juga  pendidikan untuk putra dan putrinya. 

Selain itu, Islam tidak mengategorikan korupsi ini sebagai pencurian  sehingga tidak mesti diberi sanksi dengan hukum potong tangan jika lebih dari ¼ dinar. Akan tetapi korupsi dipandang sebagai tindakan kriminal/kejahatan yang hukumannya berdasarkan takzir yang diputuskan oleh seorang Qadhi atau hakim tergantung dari besarnya kejahatan yang di lakukan. Bisa saja hukuman penjara, diasingkan, potong tangan bahkan hukuman mati sekalipun atau yang lainnya tergantung keputusan qadhi.  

Demikian, cara Islam menuntaskan korupsi. Di mana hal ini pernah terjadi di masa  Khalifah Umar, di mana beliau pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah-saat itu menjadi gubernur Syam. (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123). 

Terakhir, hanya dalam sistem Islam yang mampu menuntaskan masalah korupsi. Sistem yang hanya dapat dijalankan dalam bentuk negara Daulah Khilafah Islamiyah. Jika demikian faktanya. Masih layakkah  sistem Demokrasi-Kapitalisme dipertahankan?

Wallahu A'lam Bi Shawwab.

Posting Komentar

0 Komentar