Dinasti Politik Yang Terus Berulang

Oleh: Hany Handayani, S.P. (Muslimah Kota Tangerang) 

Entah harus bersikap malu atau bangga ketika ada pemimpin negara lain yang menyebut nama Indonesia di kala pidatonya. Seharusnya bangga jika yang disampaikan membawa nama baik Indonesia, itu artinya Indonesia dikenal baik di sana. Namun akan beda cerita jika apa yang disampaikan justru semacam lelucon yang membuat para audience terpingkal. 

Saya yakin anda pun pernah mendengarnya. Hal ini berkaitan dengan pemilu, kurang lebih isinya begini: “Jika di negara A membutuhkan waktu tiga hingga enam bulan guna mengetahui siapa pemenang dalam pemilu, negara B hanya membutuhkan waktu dua hingga lima jam. Namun Indonesia, sudah mengetahui pemenang pemilu sebelum pemilu itu diadakan”. Walhasil semua yang mendengar pun tertawa lepas. (Dikutip dari berbagai sumber media sosial). 

Anekdot diatas menunjukan begitu kentara sekali praktik nepotisme di Indonesia yang merebak tak terkecuali di panggung politik. Sistem demokrasi di negeri ini tak jauh beda dengan sebuah dinasti yang dibangun oleh segelintir pihak demi mempertahankan kedudukannya. Begitupun kontroversi yang terjadi saat ini terkait dengan Putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang unggul sementara dalam hitung cepat Komisi Pemilihan Umum di Pilkada Kota Solo, Jawa Tengah. 

Berdasarkan hitung cepat, pasangan Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa memperoleh suara sekitar 85 persen, atau unggul atas pasangan Bagyo Wahyono-FX. Suparjo dengan suara sekitar 14 persen pada pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo Pilkada 2020. Meski minim rekam jejak dalam dunia politik, Gibran yang diusung PDI P ini diprediksi menang di Pilkada Kota Solo dengan perolehan suara lebih dari 80 persen. (Dilansir dari Kompas.com).

Pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Wijayanto menilai kemenangan Gibran sebagai Wali Kota Solo sangat mungkin bisa diraih mengingat Gibran adalah putra Presiden."Namun, jika dilihat dari sisi etika atau fatsun politik, pencalonan Gibran sebagai wali kota seharusnya dihindari. Sebab, hal tersebut rentan terjadinya dinasti politik," jelasnya masih dari sumber yang sama. 

Memang dalam Islam pun memperbolehkan saja jika saudara, anak, menantu atau keponakan dari para pejabat mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dan pelayan umat jika memang mereka memiliki kapabilitas dan kemampuan yang sesuai dengan bidangnya. Namun jika pertimbangannya adalah karena sekedar ikatan saudara, anak, menantu semata dan mengabaikan pertimbangan kemampuan. Apakah bukan nepotisme namanya. 

Mengapa seakan tak sejalan, bukankah dalam demokrasi berbeda dengan sistem kerajaan yang secara otomatis mewariskan singgasana kedudukan dan jabatan kepada keturunan mereka. Faktanya saat ini diterapkan demokrasi yang menunjukan gambaran berkebalikan. Ketika ada kesempatan dan peluang bagi seseorang yang punya kolega walau tak punya kemampuan akhirnya memang dalam perebutan kursi jabatan. Bukan rahasia umum bahwa asal ada uang dan nama besar semua suara bisa diputarbalikan di negeri ini. 

Apa yang akan terjadi jika para pemangku jabatan tersebut tak memiliki kemampuan mendasar dalam mengemban tugasnya? Walhasil rakyat pula yang akan menjadi korban. Adanya kebijakan-kebijakan yang tak sesuai dengan Undang-Undang, yakni kebijakan yang menyengsarakan rakyat akhirnya keluar demi pundi-pundi rupiah dan kekuasaan. Tak sedikit pula kasus korupsi di kalangan pejabat menghantui lantaran tak pahamnya pejabat akan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Itu semua adalah efek dari dinasti politik yang terus berulang.

Sebagaimana pandangan dari salah satu pengamat politik Wijayanto berikut: "Jika dinasti politik itu terjadi akan berdampak negatif karena rawan korupsi, membrangus meritokrasi, merusak kaderisasi, merusak demokrasi internal partai dengan lobi, identik dengan kemiskinan, untuk beberapa kasus juga konflik kepentingan," ujarnya. Maka dari itu, kata dia sebagai seorang pemimpin keduanya harus menegakkan etika politik. Selain itu, menyadari bahwa ada amanah besar yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Beliau menambahkan "Juga perlu law enforcement dari penegak hukum agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan kewenangan. Serta pengawasan masyarakat dan media," ungkapnya.

Nepotisme yang melanggengkan dinasti politik dalam sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang di harapkan menjadi sebuah jawaban final permasalahan negeri akhirnya memberikan peluang bagi masalah-masalah baru yang justru membuat kisruh yakni membuka peluang aktivitas nepotisme tadi. Jadi permasalahannya bukan di nepotisme itu sendiri melainkan dalam sistem saat ini yang rapuh akan tindakan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Maka wajar sekalipun banyak pihak yang mengklame bahwa demokrasi bukan seperti monarki dan dinasti namun pada praktiknya di lapangan hal tersebut tak dapat dinafikan. 

Sebenarnya mudah saja memutus mata rantai dinasti politik yang berkelanjutan. Hanya dengan mencampakan sistem demokrasi, kita bisa terlepas dari beragam permasalahan yang menggelayuti selama ini. Mulai dari masalah perpolitikan yang penuh persaingan dalam merebut kekuasaan. Masalah ekonomi yang berujung pandemik. Masalah kesehatan yang masih menjadi problem utama hingga detik ini. Hingga masalah pendidikan serta pergaulan yang membuka peluang tindak kriminalitas terus meningkat. 

Belum cukupkah semua bukti tadi agar kita mau beralih pada sistem hidup lain. Sistem hidup yang manusiawi, bisa membuahkan kesejahteraan, kedamaian, kemakmuran bagi seluruh rakyatnya yang notabene heterogen dan beragam kulture seperti Indonesia. Sebuah sistem yang mampu menjawab semua masalah yang dihadapi oleh kita saat ini. Mampu menjawab tantangan zaman yang kian hari meningkat tajam. Jangan sampai kita terlambat menyadari itu semua karena nasib kita bermula dari tindakan apa yang harus kita lakukan saat ini. 

Mengapa tak memberikan kesempatan pada kaum muslim untuk mengelola negeri ini dengan sistemnya yang paripurna? Kaum muslim punya sistem yang manusiawi, sistem hidup yang berasal dari Rabb semesta alam yang tak mungkin pernah salah dalam mengatur hamba-Nya. Sebuah sistem yang pernah terbukti di zaman Rasul mampu menjadi peradaban dunia dan menyejahterakan manusia dari Maroko hingga Marauke. Haruskah kita alami hal yang paling terburuk dulu sehingga kita sadar bahwa selama ini kita terjerembab salam sistem yang salah. 

Sesungguhnya Islam datang guna seluruh alam dan Allah janjikan kemakmuran dan keberkahan bagi seluruh bumi (baik muslim maupun non muslim) untuk mendapatkannya ketika mereka mau tunduk pada aturan Rabb-Nya. Sebagaimana firman-Nya di dalam alquran. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰۤى اٰمَنُوْا وَا تَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَا لْاَ رْضِ وَلٰـكِنْ كَذَّبُوْا فَاَ خَذْنٰهُمْ بِمَا كَا نُوْا يَكْسِبُوْنَ

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 96)

Wallahu'alam bishowab.

Posting Komentar

0 Komentar