Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd (Lingkar Studi Muslimah Bali)
Kehidupan yang layak atas sandang, pangan, dan juga papan adalah hak bagi setiap insan manusia. Pemenuhan atas kehidupan yang layak sudah semestinya menjadi tanggung jawab sebuah Negara. Terlebih lagi jika Negara tersebut memiliki aturan-aturan yang jelas dalam hal pemenuhan kehidupan yang layak ini. Melalui Undang-Undang atau peraturan tertentu yang telah diterbitkan.
Misalnya saja di Indonesia yang memiliki seperangkat UU ataupun aturan. Berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah menetapkan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar dalam penetapan Upah Minimum.
Komponen yang menjadi acuan dalam KHL ini mencakup kebutuhan makanan, minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. Berdasarkan UU inilah seharusnya pemerintah memastikan kondisi warganya, juga sekaligus menjalankan sesuai UU yang sudah dilegalkan. Bukan sibuk membuat UU baru namun kenyataanya setelah dilegalkan justru dilanggar.
Saat ini banyak fakta berkeliaran yang menunjukkan kondisi masyarakat sangatlah jauh dari kata layak. Fakir miskin juga anak-anak banyak yang hidup di jalanan. Padahal di Indonesia juga punya aturan di dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat 1, yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”.
Namun kenyataannya, acuan jaminan hidup layak tersebut belum semuanya diterapkan bagi seluruh warga Negara. Alih-alih ingin melaksanakan kehidupan layak bagi warganya, maka masyarakat berharap kepada pesta demokrasi. Pemilu maupun pilkada.
Meski bergonta-ganti pemimpin melalui pemilu ataupun pilkada. Apabila masih tetap pakai sistem yang sama. Alhasil, masyarakat juga akan mendapat hasil yang sama pula. Bahkan tidak sedikit, justru menimbulkan polemik baru ketika pemimpin yang terpilih bukan sosok yang diharapkan oleh masyarakat. Ketimpangan sosial pun terjadi. Satu masyarakat dengan masyarakat yang lain saling mencurigai., dan lain sebagainya.
Tak akan ada hasil yang berbeda jika usahanya masih sama. Tak akan ada perubahan hakiki jika masih pakai sistem yang sama. Begitulah kira-kira kehidupan di demokrasi kapitalis ini. Yang berkuasa hanyalah orang-orang pemodal. Maka hanya merekalah yang akan berubah sesuai dengan modal yang mereka keluarkan.
Maka kehidupan layak ini hanyalah angan-angan semata yang nyaris tak dapat diwujudkan bagi orang-orang yang tidak memiliki kekuatan, baik dari segi ekonomi, kedudukan, ataupun dari faktor yang lain.
Peristiwa ibu yang membunuh ketiga anaknya yang baru-baru ini terjadi di Nias Utara, (9/12/2020) menjadi salah satu contoh bahwa kehidupan layak hanyalah sebuah ilusi. Dikabarkan bahwa di tanggal tersebut sang suami ikut berpartisipasi dalam pilkada. Sedangkan si istri dan ketiga anaknya tetap berada di rumah.
Diduga stress dengan kondisi ekonominya, sang ibu rela membunuh ketiga anaknya yang masih di bawah umur. Setelah membunuh, sang ibu juga mencoba bunuh diri namun berhasil digagalkan oleh sang suami. Namun kondisinya memburuk ketika dia tak mau makan. Yang pada akhirnya ia pun meninggal setelah perawatan selama tiga hari di rumah sakit setempat.
Peristiwa miris ini menunjukkan ironi di kehidupan demokrasi. Saat sang suami berharap mendapat pemimpin baru, namun sang istri dan anak-anaknya justru kehilangan harapan hidup. Bukan sekali dua kali saja sistem ini memakan korban. Bukan sekali dua kali pula sistem ini membawa kerusakan.
Maka sistem seperti ini haruslah segera diganti dengan sistem yang revolusioner. Sistem revolusioner yaitu sistem yang memiliki visi jauh ke depan. Juga mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan, baik individu, masyarakat, bahkan Negara. Sistem itu ada di dalam Islam yang akan diterapkan dalam Negara Islam. Khilafah ‘ala min hajjin nubuwwah namanya.
Negara Khilafah berbeda dengan bentuk negara apapun di dunia. Negara Khilafah ada untuk mengurus urusan agama dan dunia. Kemaslahatan agama dan dunia terwujud di dalam naungan Khilafah dengan menerapkan syariah Islam. Dengan syariah pula, seluruh kemaslahatan rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim, terwujud dengan sempurna.
Sebagai rakyat negara Khilafah, baik Muslim maupun non-Muslim, kaya, miskin, tua, muda, kuat, lemah, pria dan wanita, semuanya mempunyai hak yang sama. Begitu juga, negara Khilafah mempunyai kewajiban yang sama kepada mereka. Karena itu, jaminan yang diberikan oleh Negara Khilafah kepada rakyatnya berbeda dengan jaminan yang diberikan oleh negara kapitalis.
Jaminan kesejahteraan diberikan melalui mekanisme syariah. Mekanisme ini sekaligus mengatasi masalah “ketergantungan” rakyat kepada negara, di satu sisi. Di sisi lain, mekanisme ini juga mendidik mental mereka, dan terbukti mampu mengatasi masalah mereka dengan tuntas, dan adil seadil-adilnya.
Jaminan di atas bisa diwujudkan, jika setiap warga negara yang mampu bekerja atau berusaha mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja dan berusaha. Karena itu, Negara Khilafah mempunyai kewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan, dan kesempatan berusaha bagi seluruh rakyatnya.
Lantas, dari mana Khilafah bisa memberikan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan dengan gratis dan pada level tertinggi untuk seluruh rakyatnya? Jawabannya, dari seluruh pendapatan Negara Khilafah, baik yang bersumber dari kekayaan milik umum, seperti tambang emas, batubara, minyak dan gas, maupun kekayaan milik negara, seperti Kharaj dan lain-lain.
Wallahu a’lam bish showwab.
0 Komentar