Kritik Untuk Indonesia Lebih Baik

Oleh : Susi Damayanti, S.Pd

Bagi siapapun yang mengharapkan perubahan, maka harus siap menerima beragam kritikan, setajam apapun itu. Karena kritik itu laksana pecutan cambuk bagi kuda tunggangan yang bisa membuatnya berlari lebih kencang. Dan sebaliknya, siapa saja yang anti kritik, niscaya akan terhalangi dari perubahan.

Sayangnya sebagai negara besar, Indonesia hari ini masuk dalam kategori anti kritik, betapa tidak, hasil survei Indikator menunjukkan bahwa 79,6 persen warga makin takut menyuarakan pendapatnya (Merdeka.com/ 251020). 

Hal itu karena upaya pembungkaman bagi setiap gagasan yang tak sejalan kerap kali dilakukan, rasa aman dalam menyampaikan pendapat semakin mahal saja di negeri ini. Padahal kebebasan berpendapat dan bersuara dijamin oleh Undang-Undang.

Pemerintahpun sering kali memberlakukan standar ganda, alih-alih membuka kebebasan dalam berpendapat dan mewadahi perbedaan, yang ada justru pemerintah semakin refresif dan cenderung anti kritik. Jika rakyat menyuarakan pembelaan terhadap rezim, akan dilindungi. Jika sebaliknya maka harus siap dibungkam bahkan persekusi. Aksi penangkapan sejumlah masyarakat yang mengkritik pemerintah lewat media sosial menjadi bukti tak terbantahkan akan refresifnya rezim hari ini.

Belum lagi perangkat aturan dan UUpun kerap dijadikan alat untuk memukul pihak yang tak  sejalan, sebut saja upaya pembubaran ormas Islam yang kritis terhadap pemerintah dengan alasan yang mengada-ada dapat dengan mudah dilakukan melalui penerbitan Perppu yang terkesan terburu-buru, Atau kasus terbaru yaitu terdepaknya sejumlah nama dari kelompok Alumni 212 yang kritis terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dari kepengurusan MUI periode 2020-2025, seperti Bachtiar Nasir, Yusuf Martak, dan Tengku Zulkarnain. 

Jika terus menerus demikian maka sudah bisa dipastikan Indonesia akan terharamkan dari perubahan menuju kemajuan.

Berbeda halnya dalam Islam, perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang diberi ruang yang selebar-lebarnya selama tidak bertentangan dengan Syara. Dalam hal ini standarnya jelas, yaitu Al Qur'an dan Sunnah bukan kepentingan atau maslahat rezim maupun para elit penguasa.

Seorang pemimpin harus berjiwa besar dan siap menerima nasihat dan kritik hatta dari rakyat jelata sekalipun, pemimpin juga harus pro aktif untuk mendengarkan dan menampung aspirasi umat, bukan justru tutup mata. Itulah yang kerap dilakukan Rasululloh SAW dan para Khalifah setelahnya.

Amirul mukminin Umar bin Khathab bahkan rela untuk bersegera menghentikan kudanya dalam rangka mendengarkan nasihat dari seorang nenek tua yang beliau temui di perjalanan. Itulah sedikit gambaran sikap yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang besar lagi baik.

Kemudian jika penguasa melakukan pelanggaran terhadap hukum Syara misalnya, rakyat bukan hanya boleh, bahkan wajib untuk mengoreksinya. Dalam sebuah hadist bahkan mensejajarkan aktivitas mengoreksi penguasa ini dengan pahala penghulu syuhada.

Kemudian jika penguasa menolak dan mengabaikan masukan tersebut , maka rakyat bisa saja mencabut mandat kekuasaan darinya. Hal itulah yang akan menjamin tegaknya kebenaran dan keadilan di dalam negara dan menjauhkannya dari hal yang dapat melemahkan bahkan menghancurkannya.

Wallahu'alam.

Posting Komentar

0 Komentar