Masih Layakkah Berharap pada Sistem Demokrasi?

Oleh : Ummu Jameelah

Dalam beberapa minggu ke depan 270 daerah di Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Pilkada akan diselenggarakan tanggal 9 Desember 2020 dengan melibatkan sekitar 105 juta pemilih. Sembilan provinsi di Indonesia yang akan melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur adalah Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Selain itu pada tingkat kabupaten dan kota terdapat 224 kabupaten dan 37 kota yang akan melaksanakan pilkada. (Dini Rahmiati, www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1427-potensi-konflik-sosial-pilkada-2020).

Di tengah suasana pandemi yang belum mereda, sungguh ironi memang pemerintah berniat menggelar pesta demokrasi (Pilkada). Padahal anggaran untuk Pilkada membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi kondisi sekarang membutuhkan dana tambahan protocol kesehatan penanganan Covid- 19 selama pelaksanaan Pilkada.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, sebelum ada kewajiban penerapan protocol kesehatan, kebutuhan anggaran untuk pelaksanaan Pilkada tahun ini sebesar Rp 15,23 triliun. Seluruhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) , seperti yang biasa dilakukan. Maka setelah ada tambahan tersebut, pada akhirnya Kementrian Keuangan (Kemenkeu) menyuntik dana untuk Pilkada dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 5,23 triliun. (republika.co.id, 22 September 2020)

Dalam Pilkada, selain pemerintah yang terlibat (pihak yang mengeluarkan anggaran sekaligus penyelenggara), ada pihak lain yang terlibat yakni partai politik (parpol). Parpol selain mencalonkan kader-kader terbaiknya untuk maju sebagai pasangan calon (paslon) di Pilkada, mereka pun turut mengeluarkan biaya (untuk kampanye dsb) dalam mendukung jagoannya agar menjadi pemenang pilkada di daerahnyamasing-masing.

Sejatinya pilkada ditujukan untuk memilih Kepala Daerah yang akan memimpin, mengurus dan mangatur urusan rakyat yang ada di suatu daerah tertentu. Harapan rakyat terhadap pemimpinnya adalah kelak mereka bisa memimpin daerahnya dengan membawa kebijakan yang pro rakyat. Benarkah demikian?


Demokrasi : Sistem yang cacat bawaan

Dalam sistem demokrasi, yang bercirikan “pemerintah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat” seakan-seakan merupakan satu-satunya sistem yang ideal di dunia. Apalagi dengan adanya pilkada yang dilaksanakan langsung di Indonesia, membuat rakyat benar-benar merasa dilibatkan secara langsung memilih kepala daerahnya.

Pada awalnya dalam sistem demokrasi ini rakyat dilibatkan. Akan tetapi sistem demokrasi yang mengawali pergeseran dengan awal kelahirannya (di Yunani), maka kedepannya rakyat mewakilkan urusan mereka kepada para wakil rakyat yang berkoordinasi dengan dengan penguasa.

Wakil rakyat di tingkat nasional yang diwakili oleh DPR, tingkat provinsi diwakili oleh DPRD I dan di tingkat kota/kabupaten diwakili oleh DPRD II. Para wakil rakyat ini seakan-akan merupakan wakil rakyat yang bisa mendengar dan menampung aspirasi rakyat sehingga diharapkan undang-undang produk wakil rakyat ini benar-benar mewakili suara rakyat mayoritas. Namun, sayangnya di sistem demokrasi para wakil rakyat adalah terdiri dari para wakil anggota parpol yang menang saat pemilu. Tak heran kebijakan yang dibuat oleh wakil rakyat tidak murni mewakili suara/aspirasi rakyat, melainkan segelintir rakyat (baca: kepentingan berbagai parpol yang menjadi wakil rakyat). Yang pada akhirnya berbagai kebijakan yang disahkan oleh mereka semata-mata menguntungkan berbagai parpol yang terlibat di dalamnya dan kerap kali merugikan mayoritas rakyat. Belum lagi bila penguasa daerah tersebut berasal dari suatu parpol tertentu, maka kekuasaan yang tercipta akan melayani kepentingan berbagai parpol pengusung dan partai pendukung. Tidak berhenti di partai parpol pendukung dan pengusung saja tetapi juga para cukong atau pemilik modal yang memodali anggota parpol maupun calon penguasa (baik pusat ataupun daerah) saat pemilihan hingga menghantarkan mereka menjadi “pemenang”.

Inilah memang cacat bawaan sistem demokrasi yang mengatakan bahwa wakil rakyat itu adalah jelmaan rakyat, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. DPR atau DPRD sebagai lembaga legislatif (lembaga pembuat undang-undang) bersama lembaga eksekutif (pemerintah pusat maupun daerah sebagai pelaksana undang-undang) melayani sekelompok rakyat yang berada di pusaran kekuasaan mereka. Sehingga tidaklah mengherankan bila Undang-undang yang tercipta seperti UU Ciptakerja banyak menuai protes dari berbagai kalangan karena isinya dipandang banyak merugikan kaum buruh dan pro kepada para pengusaha (korporat), tidak lantas membuat DPR atau pemerintah (melalui presiden) mencabut UU tersebut. Karena di benak mereka saat berada di tampuk kekuasaan, adalah bagaimana mereka mengembalikan modal yang terpakai (baik modal pribadi maupun partai) saat kampanye ataupun melakukan balas budi (membuat UU untuk memuluskan berbagai proyek) kepada pihak-pihak yang sudah ikut andil dalam proses pemenangan. Maka, terungkapnya banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh wakil rakyat ataupun pejabat tiada lain untuk proses pengembalian modal. Karena sistem demokrasi sangat membutuhkan modal yang cukup besar bagi siapapun yang hendak berkuasa. Pada akhirnya jalan apapun mereka lakukan meskipuntidak sesuai dengan hati nurani.

Sisi lain yang menunjukkan kelemahan sistem demokrasi adalah aturan yang dibuat adalah produk manusia. Manusialah yang melahirkan aturan. Penentu benar atau salah adalah manusia. Rakyatlah yang menentukan para wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih. Baik buruknya kualitas para wakil rakyat dan pemimpin terpilih tergantung tingkat intelektual dan kepentingan rakyat. Singkatnya kedaulatan ada di tangan manusia. Masalahnya, layakkah manusia sebagai pembuat aturan?

Sifat manusia diantaranya terbatas, lemah, serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain. Manusia terbatas sifatnya, karena ia tumbuh dan berkembang sampai pada batas tertentu yang tidak dapat dilampauinya lagi. Ini menunjukkan bahwa manusia terbatas. (Taqiyuddin an Nabhani, Nizham Al-Islam, 1953).

Kesepakatan diantara manusia seringkali dipengaruhi oleh waktu dan tempat. Misal saat ini manusia sepakat menghasilkan aturan A, besok lusa berubah jadi B, lima tahun kemudian berubah jadi C. Hal ini menandakan kelemahan dalam berpikir manusia. Padahal dari zaman manusia pertama hingga saat ini, potensi hidup manusia itu tetap sama alias tidak berubah, yakni manusia memiliki kebutuhan fisik (hajatul udhowiyah) dan naluri (mempertahankan diri, beragama dan memperbanyak keturunan) yang sama. Berarti aturan yang ada tiada lain sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan naluri manusia itu sendiri. Adapun yang mengalami perubahan tiada lain dalam hal sarana dan prasarana untuk menunjang pemenuhan atas potensi hidup manusiatersebut.

Dari fakta di atas dapat disimpulkan dengan keterbatasan dan kelemahan manusia, maka manusia membutuhkan Dzat yang lebih dari dirinya yaitu Al Khaliq (Pencipta manusia) sekaligus Al Mudabbir (yang membuat aturan untuk manusia). Mengapa Al Khaliq sekaligus Al mudabbir? Karena Dialah yang sangat mengetahui kelemahan dan kelebihan manusia sejak awal diciptakan hingga kematian manusia. Dan Dialah yang bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir).


Pilkada : Antara Kepentingan Penguasa dan Keselamatan Rakyat

Di masa pandemi saat ini, perubahan apa yang diharapkan dari digelarnya pilkada di berbagai daerah? Akankan ada perubahan besar bagi tatanan kehidupan di negeri ini dengan lahirnya para penguasa baru di masing-masing daerah? Ataukah pesta lima tahunan ini hanyalah sekedar ceremonial belaka tanpa makna dan tanpa hasil yang nyata untuk rakyat.

Dari semua pertanyaan di atas penulis cenderung meragukan bahwa pilkada yang akan di gelar alih-alih membawa perubahan(kesejahteraan bagi rakyat) yang ada akan memunculkan masalah sosial baru di tengah masyarakat. Masalah sosial tersebut diantaranya adalah dengan adanya kerumunan massa. Hal itu bisa dilihat sebelum waktu kampanye dimulai saja, kerumunan massa tidak bisa dikendalikan dan mengabaikan protocolkesehatan.

Contoh yang terjadi yakni, ketika Gibran (putra Presiden Jokowi) yang mendaftar sebagai Walikota Solo bersama pasangannya, Teguh Prakosa, disambut oleh ribuan pendukungnya. Para pendukung dan kader menyebar di sepanjang jalan di depan Kantor KPU dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka mengabaikan aturan jaga jarak dan kewajiban mengenakan masker. Dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat itu tidak memberikan sanksi kepada Gibran dengan alasan saat kerumunan terjadi, masa kampanye Pilkada belum dimulai. Ditambah pernyataan dari pihak kepolisian malah mengatakan kerumunan massa saat membersamai Gibran tersebut ada payung hukumnya. Sementara itu perlakuan berbeda dilakukan oleh aparat yang mempermasalahkan kerumunan orang yang menyambut kedatangan Imam Besar HRS.

Kerumunan massa di tengah pandemi untuk menghadiri kampanye sungguh suatu hal yang kecil kemungkinan terkendali, meskipun pemerintah berjanji untuk menerapkan protocol kesehatan yang ketat. Tentu akan membuat kekhawatiran yang luar biasa bagi rakyat dan para medis. Bagaimana tidak, saat ini saja tim medis sudah kewalahan dengan penyebaran virus ini, yang setiap hari bertambah kasusnya, ditambah banyak diantara tim medis yang berguguran (meninggal) positif terkena virus saat mereka melakukan tugas mulia untuk menangani para pasien. Bila rencana pilkada dengan kerumunan massa tetap dibolehkan, maka bersiaplah Indonesia mengalami lonjakan angka kenaikan kasus Covid-19. Tidak hanya itu, dikhawatirkan akan munculnya kluster Pilkada yang diperkirakan akan semakin memperparah penularan virus Corona dan memperburuk infrastruktur kesehatan di negeri ini jika jumlah pasien positif terus bertambah.

Di tengah pro kontra terkait pelaksaan pilkada di tengah masyarakat, apa sebenarnya yang mendorong pemerintah tampak bersikeras menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi?

Ahmad Doli Kurnia selaku Ketua Komisi II DPR RI menyatakan bahwa Pilkada 2020 akan tetap dilaksanakan sesuai tanggal yang telah ditetapkan dengan alasan bahwa seluruh tahapan yang sudah dan sedang berlangsung masih sesuai rencana dan situasi masih terkendali. (Agnes Setyowati, https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/10064311/kontroversi-pilkada-2020-di-tengah-pandemi-covid-19?page=2.)

Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD juga menerangkan bahwa penundaan Pilkada dirasa tidak memungkinkan lagi karena hal tersebut membutuhkan UU dan Perpu yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Mahfud juga menambahkan bahwa penundaan ini juga akan berdampak pada banyaknya pejabat Plt di beberapa pemerintahan daerah yang tidak memungkinkan mereka untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis. (Agnes Setyowati, https://nasional.ksompas.com/read/2020/10/06/10064311/kontroversi-pilkada-2020-di-tengah-pandemi-covid-19?page=2)

Tekad yang bulat dari pemerintah dan didukung oleh wakil rakyat untuk tetap menyelenggarakan pilkada di bulan Desember ini membuktikan bahwa sistem Demokrasi melahirkan penguasa serta wakil rakyat yang yang bertindak lebih mengedepankan kepentingan diri dan kelompoknya dibanding keselamatan rakyat.


Penutup

Masihkah kita berharap pada sistem demokrasi yang memang mengalami cacat bawaan dan melahirkan sistem tatanan yang rusak dan merusakkan di negeri ini? Padahal sudah ada sistem yang paripurna buatan Pencipta Manusia yang sudah terbukti berabad-abad lamanya diterapkan,  dimulai oleh Nabi Muhammad Saw sejak hijrah ke Madinah hingga masa Kekhilafahan turki Utsmani (tahun 1924), yakni sistem Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah yang menerapkan semua aturan Pencipta tanpa terkecuali.

Posting Komentar

0 Komentar