Oleh : Iim Kamilah
Bagai pungguk merindukan rembulan. Itulah perumpamaan mencari keadilan dalam sistem saat ini. Sering kali kita dipertontonkan dengan ketidakadilan hukum yang diberlakukan para penegak hukum. Perlakuan yang sama pun bisa diperlakukan berbeda hanya karena melihat siapa yang melakukan. Ada orang-orang yang kebal atas hukum, ada pula orang-orang yang dipaksakan untuk dihakimi, dicari-cari kesalahannya agar dapat dijerat hukum.
Seperti kasus yang menjerat Habib Rizieq Shihab (HRS) baru-baru ini. Usai menggelar acara maulid nabi dan akad nikah putri HRS di Petamburan pada sabtu (14/11). Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi polisi untuk memperkarakan acara tersebut. Polisi segera bertindak terkait kerumunan pada acara tersebut, dengan melakukan penyelidikan kepada pihak-pihak yang terkait dengan acara tersebut. Mulai dari pejabat DKI Jakarta, penyelenggara acara, hingga saksi-saksi tamu yang hadir dalam acara tersebut. Tanpa adanya surat pengadilan sebagai tersangka, pada kamis (10/12) Polda Metro Jaya menetapkan HRS dan 5 panitia penyelenggara acara sebagai tersangka. Yang mana 2 pemanggilan sebelumnya pada selasa (1/12), dan senin, (7/12) HRS masih berstatus sebagai saksi. Kemudian HRS mendatangi Polda Metro Jaya pada sabtu (12/12). Habib menjalani serangkaian pemeriksaan sebagai tersangka selama 12 jam lebih. Setelah itu HRS keluar dari ruang penyidikan dengan mengenakan baju tahanan dengan tangan diborgol. HRS dibawa menggunakan mobil tahanan. Ia ditahan di Rutan Polda Metro Jaya. Dilansir dari detiknews.com (13/12/2020). Pihak FPI menilai bahwa penetapan tersangka pada Habib Rizieq merupakan bentuk kriminalisasi. Tim kuasa hukum FPI keberatan atas langkah Polda Metro Jaya yang menetapkan HRS sebagai tersangka dalam kasus kerumunan.
FPI pun merespon hal demikian dengan membandingkan kasus kerumunan di Petamburan dengan kasus kerumunan pada pilkada dan acara-acara lainnya. Hal ini diungkapkan oleh Aziz Yanuar selaku Sekretaris Bantuan Hukum FPI pada sejumlah wartawan. "Dan kita juga tidak minta diistimewakan, akan tetapi kita meminta keadilan. Kita minta juga di proses yang sebelum-sebelumnya, antara lain kerumunan tidak menjaga jarak, tidak memakai masker yang terjadi di Solo waktu pengantaran Gibran sebagai calon wali kota di solo, kemudian di surabaya Edi Cahyadi dan wakilnya mereka berkumpul pada saat mencalonkan wali kota" tuturnya. Tak hanya dari pihak FPI, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pun menuntut hal yang serupa. Dilansir dari kannal youtube Kompas tv, Rabu (18 November 2020).
Namun polisi menyanggah hal ini dengan meminta agar kasus kerumunan saat pendaftaran putra presiden joko Widodo, Gibran Rakabuming sebagai calon walikota solo tidak disamakan dengan kasus kerumunan acara pimpinan Front Pembela Islam ( FPI). Hal ini dinyatakan oleh kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (POL) Awi Setiono. Ia pun mengungkap bahwa setiap kasus dengan pelanggaran protokol kesehatan memiliki perbedaan sehingga tidak bisa dipukul rata. Terangnya di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Rabu (18/11/2020). dikutip dari Tribun news WIKI Official, kamis, (19/11/2020).
Sedangkan menurut Reffly Harun selaku Pakar Hukum Tata Negara menjelaskan bahwa tidak ada bedanya antara kerumunan HRS dan kerumunan pilkada. Melihat bahwa negara kita ini sedang dinyatakan dalam dua kondisi darurat:
1. Darurat kondisi kesehatan masyarakat pada 31 maret.
2. Darurat bencana nasional
Berdasarkan perspektif Hukum tata negara dalam sebuah kondisi darurat, apalagi darurat nasional, maka hukum-hukum yang normal itu bisa di by pass. Maka sebetulnya tidak ada bedanya antara kerumunan HRS dengan kerumunan pilkada, karena keduanya adalah kerumunan yang bisa berpotensi untuk melanggar kedaruratan kesehatan masyarakat. Dan berdasarkan perspektif kesehatan pun sama bahayanya.
Persoalannya dalam kerumunan Pilkada itu ada berlaku Undang-Undang yang menyatakan bahwa mereka boleh berkampanye berdasarkan peraturan KPU. Sedangkan peraturan KPU yang berdasarkan UU No 6 tahun 2018 sesungguhnya bisa di bypass. Dilansir dari tvOneNews, kamis (19/11/2020)
Melihat dari kasus diatas terlihat sangat jelas bahwa ada diskriminasi Hukum dari aparat penegak hukum dalam menindak kasus yang hampir sama. Jika pemerintah memang serius, seharusnya kerumunan serupa baik itu dilakukan dalam konteks Pilkada, peringatan maulid ditempat lainnya, dan juga acara-acara yang membuat kerumunan lainnya pun mestinya dicari siapa yang bertanggung jawab dan ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian, ada banyak sekali pelanggaran protokol kesehatan bawaslu, bahkan bisa menunjukan sekian ratus bahkan sekian ribu pelanggaran protokol kesehatan, tetapi tidak ada satupun darinya yang ditetapkan sebagai tersangka. Jelas sekali bahwa ada diskriminasi hukum, dimana hukum ini cenderung tajam kebawah dan tumpul keatas, tajam kepada lawan dan tumpul kepada kawan.
Beginilah penampakan hukum yang dibuat oleh akal manusia. Tidak memuaskan akal dan tidak pula menentramkan hati. Semua bergantung pada kepentingan pihak-pihak yang berkuasa. Menuntut keadilan dalam sistem ini adalah bagaikan anak singa yang yang meminta perlindungan pada gerombolan serigala. Keadilan akan sulit untuk di dapat, yang ada hanyalah terkaman.
Berbeda dengan konsep hukum berdasarkan Islam. Dalam firmannya, Allah subhanahu wa ta'ala telah mewajibkan umat manusia untuk senantiasa berlaku adil.
وَاِذَاحَکَمتُم بَینَ النَّاسِ اَن تَحکُمُوابِالعَدلِ
" dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah kamu menerapkannya dengan Adil." (Qs.An-Nisa [4]:58).
Keadilan itu sendiri menuntut dan menempatkan manusia sama di depan hukum. Tidak ada yang diistimewakan ataupun disepelekan, tidak ada bedanya antara pemimpin negara sekalipun atau keluarganya dengan rakyat kecil. Antara kaum muslimin dengan non muslim, semua ditempatkan sama di depan hukum. Sejarah pun telah mencatat konsep keadilan yang dijunjung tinggi pada masa kepemimpinan islam, baik pada masa Daulah Nabawiah maupun Daulah Khilafah. Sebagian contoh kecil ada Pada suatu kisah yang diriwayatkan oleh Iman Bukhari. Beberapa waktu setelah pembebasan kota Makkah, Rasulullah SAW dengan tegas menetapkan hukum potong tangan terhadap seorang pencuri wanita dari kalangan Bani Makzum. Bani Makzum sendiri tergolong sebagai kabilah yang paling kaya dan paling disegani di seluruh kota Makkah. Sebelumnya para tokoh dari Bani Makzum saling bersepakat akan membela pencuri itu, sebab mereka merasa kehormatan mereka sedang dipertaruhkan. Mereka lantas mendatangi sahabat nabi, Usamah bin Zaid, mereka ingin dipelantarai untuk bertemu Rasulallah SAW, dengan maksud agar Rasul meringankan hukuman atas perempuan Bani Makzum.
Setelah Nabi mendengar penuturan sahabatnya itu, Nabi SAW naik keatas mimbar untuk berpidato. Usai mengucapkan puja dan pujinya terhadap Allah SWT. Nabi menyampaikan pesannya kepada khalayak. " Sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah akibat mereka tidak mau menindak tegas kalangan terhormat diantara mereka yang mencuri, tetapi langsung menghukum orang lemah yang mencuri. Demi dzat yang jiwa Muhammad berada didalam genggamannya, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya!"
Pada kisah diatas, Islam telah tegas menegakkan aspek keadilan dalam penegakan hukum. Tidak boleh hukum bagaikan pedang yang tajam kebawah namun tumpul ke atas seperti saat ini.
Sudah waktunya kita menyadari bahwa keadilan itu hanya akan kita rasakan ketika hukum ini berlandaskan Islam. Hanya Islam yang menjunjung tinggi nilai keadilan. Semoga kedzaliman ini cepat binasa, dikarenakan sikap ketidakadilan yang mereka lakukan. sesuai dengan pesan Nabi SAW di atas dalam ceramahnya kepada para sahabat dan Bani Makzum. Aamiin yaa Allah yaa Rabbal Aa'lamiin.
Wallahu'alam bisshawab.
0 Komentar