Relokasi Pabrik, Demi Siapa?

Oleh: Dian Puspita Sari (Aktivis Muslimah Ngawi)

Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah mengumumkan besaran Upah Minimum Kabupaten/ Kota di 38 daerah yang ada di wilayah setempat. Khusus ring 1 Jatim yang meliputi Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan, kenaikannya merata, yakni Rp 100 ribu dibanding UMK tahun sebelumnya.

Kebijakan Pemprov Jatim ini menuai penolakan para pengusaha. Wakil Ketua Bidang Organisasi Apindo Jatim, Johnson Simanjuntak mengaku, banyak pengusaha, utamanya pengusaha-pengusaha yang bergerak di sektor padat karya, merasa keberatan atas kenaikkan tersebut, mengingat situasi saat ini yang masih dilanda pandemi Covid-19.

"Padat karya itu yang pasti paling terdampak. Ini sangat berdampak bagi mereka," ujar Johnson di Surabaya, Senin (23/11).

Akibatnya, beberapa perusahaan berpikir untuk merelokasi usahanya ke daerah yang UMK-nya lebih rendah, seperti Nganjuk dan Ngawi. Mereka sedang menyiapkan lahan di kedua kabupaten tersebut. Bahkan, ada juga perusahaan yang berpikir untuk merelokasi usahanya ke daerah di Jawa Tengah. 

Gubernur sudah berusaha menahan agar relokasi tidak keluar dari Jawa Timur. Namun jika relokasi meluas hingga Jawa Tengah, juga takkan bisa dicegahnya. (Republika.co.id, 23/11/2020)

Wilayah barat Jatim, terutama Ngawi dan Nganjuk, didesain untuk menjadi kawasan industri oleh pemerintah. Di Ngawi, tempat yang dipilih adalah wilayah hutan lindung milik Perhutani. Banyak keuntungan yang diperoleh para pengusaha dan investor di sana. Selain UMK rendah, harga tanah dan bahan baku murah, juga sudah tersedia tol. Hal ini sangat menggiurkan. Konsep ekonomi bermodal kecil dengan untung besar akan  terwujud.

Sayang, wilayah relokasi Ngawi dan Nganjuk merupakan wilayah lumbung pangan Jatim bahkan nasional. Ngawi sendiri memiliki luas wilayah pertanian kurang lebih 40 ribu hektare. Produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Ngawi, 30 persen lebih ada di sektor pertanian, peternakan, dan perkebunan. 70% mata pencaharian masyarakat Ngawi adalah pertanian. Bahkan calon bupatinya berkomitmen untuk menjadikan Ngawi sebagai lumpung pangan nasional. 

Kontradiksi akan muncul jika wilayah lumbung pangan dipaksakan menjadi kawasan industri. Akibatnya, kebijakan pemerintah di provinsi dan daerah tampak tumpang  tindih dan tidak sinkron. Hal ini menunjukkan ketidakseriusannya dalam menangani urusan masyarakat. Selain itu, tampak juga ambisi pemerintah untuk mendatangkan para investor. Tanpa berpikir "apakah wilayah yang ditarget menjadi wilayah industri tersebut cocok untuk perindustrian ataukah tidak". Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tak mereka hiraukan. Yang penting, target investasi naik. Sudah banyak contoh kasus. Yang terbaru, kasus pembakaran hutan tropis Papua demi perkebunan sawit asal Korsel. 

Cengkeraman kapitalisme atas negeri ini semakin dalam.  Berbagai cara dilakukan kaum kapitalis demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Undang-undang Ciptaker dikebut demi memuluskan ketamakan para pemilik modal. 

Harapan daerah agar wilayahnya menjadi area lumbung pangan pun tinggal angan-angan. Jargon pentingnya ketahanan pangan pun hanya isapan jempol. 

Hal ini sangat bertolak belakang dengan Islam. Islam mengatur konsep menata lingkungan, dimana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) akan diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat. Bukan kebutuhan segelintir orang yang hanya memprioritaskan kepentingan para pemilik modal.  

Program ketahanan pangan dijalankan oleh negara selaras dengan program industri. Islam akan memilah-milah mana: 

- Wilayah yang cocok untuk industri dan yang cocok untuk pertanian. 

- Wilayah yang cocok untuk  perumahan dan yang cocok untuk pertambangan, atau hutan lindung. 

- dan lain sebagainya. 

Semua itu dilakukan tanpa mengganggu lingkungan, seperti  area resapan air,  yang bisa berakibat pada rusaknya lingkungan dan kerugian pada masyarakat. 

Selain itu, pembangunan sarana insfrastruktur dilakukan merata di semua aspek dan wilayah. Bukan hanya di kawasan industri karena infrastruktur adalah hak setiap warga negara di mana saja.

Aspek ketahanan pangan seperti pertanian juga diperhatikan negara. Tak terkecuali pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Agar konsep lapangan pekerjaan yang mencukupi kebutuhan pokok rakyat dapat dipenuhi secara adil dan merata. 

Dengan pengaturan konsep seperti ini, program menjadikan daerah sebagai lumbung pangan di pedesaan dan industri di perkotaan bisa berjalan secara  beriringan. 

Masyarakat juga tidak merasa was-was dengan keberadaan pabrik-pabrik industri yang dikhawatirkan bisa merusak lingkungan kehidupan mereka. Sehingga tidak akan terjadi ketimpangan pembangunan yang mendorong adanya urbanisasi, perpindahan penduduk dari desa ke kota. 

Oleh sebab itu, sudah selayaknya kita kembali kepada tuntunan Islam. Dalam Islam, Allah mewajibkan pemerintah untuk mengurus urusan hidup rakyatnya. Negara melakukan pembangunan dan pengelolaan hamparan semua kawasan  dengan prinsip pelayanan, bukan prinsip ajang bisnis. 

Kita layak meneladani apa yang pernah dilakukan khalifah Umar bin Khaththab dalam mengurusi urusan rakyatnya. Ketika Khalifah Umar menata wilayah di Irak,  beliau serius menghitung kategori dan potensi tanah, ruang, dan hewan-hewan liarnya untuk melayani kebutuhan hidup rakyatnya, bukan berhitung dengan rumus bisnis.

Sejarah Islam juga mencatat betapa tata kelola kota di masa Khilafah begitu baik. Kota-kota Islam semisal Baghdad, Cordoba, Granada, dan  Cairo merupakan kota-kota yang dikenal akan keindahan, sarana dan prasarananya yang lengkap seperti rumah sakit, universitas, tempat pemandian umum, ketersediaan air yang memadai, dan keteraturan fasilitas publik lainnya yang mengagumkan. 

Hal ini menunjukan begitu baiknya pengurusan Khilafah  dalam menata kota atas prinsip pelayanan urusan masyarakat, bukan prinsip bisnis yang hanya menguntungkan kepentingan para pebisnis seperti konglomerat dan pengusaha.

Wallahu a'lam bishawwab.

Posting Komentar

0 Komentar