RUU Minuman Beralkohol, Bukti Demokrasi Bukan Untuk Islam

Oleh : Nana Munandiroh

Usulan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol mulai dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR.  Sebelumnya RUU Larangan Minuman Beralkohol ini diusulkan 21 anggota DPR, yaitu 18 orang dari Fraksi PPP, 2 orang dari Fraksi PKS, dan 1 orang dari Fraksi Gerindra. Pembahasan RUU ini diketahui terus mengalami penundaan sejak pertama kali diusulkan pada 2015. RUU ini kemudian masuk kembali dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 sebagai usul inisiatif DPR RI. 

Salah satu pengusul RUU Larangan Minol, Illiza Sa'aduddin Djamal, mengatakan RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol. Illiza juga mengklaim adanya RUU tersebut demi menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol.(tempo.co, 15/11/2020)

Melansir dokumen RUU di laman resmi DPR, RUU tersebut terdiri atas 7 bab dan 24 pasal. RUU Larangan Minuman Beralkohol ini pun menuai sorotan dari berbagai kalangan. Berbagai reaksi muncul atas usulan ini. 

Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonnesia (PGI) Gomar Gultom angkat suara berkaitan dengan wacana pembahasan Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) yang tengah digodok di DPR. "Saya melihat pendekatan dalam RUU LMB (RUU Minol) ini sangat infantil, apa-apa dan sedikit-sedikit dilarang. Kapan kita mau dewasa dan bertanggung-jawab?" kata Gultom melalui pesan singkat, Jumat (13/11).

Ketua Kelompok Fraksi Golkar di Baleg, Firman Soebagyo, mengatakan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini telah dibahas sejak DPR periode 2014-2019. Namun pembahasannya mentok lantaran perbedaan pendapat DPR dan pemerintah. "Pemerintah ketika mempertahankan terkait pengaturan, tetapi pengusul tetap kukuh terhadap pelarangan," kata Firman pada Kamis, 12 November 2020. Firman juga mengingatkan ada persoalan keberagaman yang perlu diperhatikan. Dia mengatakan minuman beralkohol pun digunakan di daerah atau agama tertentu untuk kepentingan ritual. Seperti Bali, Papua, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, hingga Sulawesi Utara.

Melihat reaksi yang diungkapkan oleh beberapa kalangan tersebut, menunjukkan bahwa pembahasan RUU ini tidak sepenuhnya untuk menghilangkan minol itu sendiri.  Akan tetapi hanya untuk melihat reaksi masyarakat. Dengan begitu bisa merubah draft yang ada untuk menampung aspirasi, sehingga aturan terkait minuman beralkohol bisa dilegalkan ditengah masyarakat. Hal itu tersirat dalam keterangan dari Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, yang menyatakan Badan Legislasi (Baleg) DPR akan memperhatikan penolakan dan masukan publik soal Rancangan Undang-undang Minuman Beralkohol. Padahal kejahatan yang ditimbulkan akibat konsumsi minol telah meresahkan masyarakat. Mulai dari gangguan keamanan dan kenyamanan warga akibat oknum yang mengkonsumsi minol, hingga kekhawatiran hilangnya nyawa, baik dari segi pelaku maupun korban kejahatan akibat minol. 

Demikianlah sifat dari demokrasi, penyususnan draft RUU yang semestinya untuk mencapai kemaslahatan yang baik pada masyarakat. Nyatanya harus dikorbankan dengan berbagai alasan, yang terpenting adalah suara terbanyak di DPR sebagai rujukan. Terlepas dari benar atau salah, dan halal atau haram kebijakan tersebut. Satu hal yang pasti bahwa kebijakan yang diambil dan diputuskan akan membawa pada kebermanfaatan bersama. Tidak jarang demokrasi membuka jalan tengah sebagai kompromi kepentingan.

Padahal didalam Islam jelas minuman beralkohol itu diharamkan. Imam At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Abu Daud meriwayatkan melalui sahabat Nabi, Jabir bin Abdillah bahwa Nabi Saw bersabda: "Sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun tetap haram."

"Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang memabukkan adalah khamr" (HR Muslim melalui Ibnu Umar). 

Oleh karena itu, berharap pada system demokrasi untuk perjuangan penegakkan syariat islam sangat mustahil, satu UU saja dibahas dengan berbagai kompromi, apalagi syariat secara kaffah. Maka dari itu sudah saatnya umat islam merubah arah perjuangannya, dari berjuang dengan demokrasi kepada berjuang dengan penyadaran umat akan pentingnya penerapan syariat Islam secara kaffah. Serta mengambil nushroh dari orang-orang yang punya kekuatan yang juga sadar akan pentingnya penerapan syariat Islam secara kaffah. Wallahua’lam.

Posting Komentar

0 Komentar