SOLUSI ISLAM ATASI LEDAKAN UTANG

Oleh: Imas Royani

Bank Dunia merilis daftar negara dengan utang terbesar. Indonesia masuk dalam jajaran 10 negara berpendapatan kecil dan menengah yang memiliki utang terbesar di dunia.  Indonesia berada pada posisi ketujuh setelah Cina, Brasil, India, Rusia, Meksiko dan Turki dengan total Utang Luar Negeri mencapai 402,08 miliar dolar Amerika Serikat atau setara Rp5.910 triliun pada tahun 2019.(wartaekonomi.co.id, 18/10/2020)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pada acara The 5th G20 Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting yang diselenggarakan secara daring pada Jumat, (20/11/2020), disepakati adanya perpanjangan masa cicilan utang. Perpanjangan masa cicilan utang tersebut dinamakan Debt Service Suspension Inisiative (DSSI).

Sri Mulyani mengungkapkan, DSSI adalah inisiatif untuk memberikan fasilitas relaksasi bagi pembayaran utang negara-negara rentan, yang saat ini dihadapkan pada kondisi ekonomi dan fiskalnya yang sangat sulit. Oleh karena itu, di dalam pembahasan DSSI tersebut kemudian didukung oleh lembaga multilateral seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, menyepakati untuk memberikan relaksasi cicilan utang. Tujuannya agar negara yang berpendapatan rendah bisa memiliki ruang fiskal dalam menangani Covid-19. (CNBC Indonesia, 22/11/2020).

Yang tidak kalah mengejutkan dalam dua minggu pemerintah Indonesia menambah utang baru yang jumlahnya cukup besar dengan alasan demi menyelamatkan rakyat dan negara untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Utang baru tersebut merupakan kategori pinjaman bilateral. Rincian utang luar negeri itu berasal dari Australia sebesar Rp15,45 triliun dan utang bilateral dari Jerman sebesar Rp9,1 triliun. Jadi totalnya utang baru Indonesia bertambah sebesar lebih dari Rp24,5 triliun. (kompas.tv, 21/11/2020).

Jelas hal ini bukanlah suatu prestasi yang pantas dibanggakan. Kendati Josh Frydenberg, Menkeu Australia memuji Indonesia dengan mengatakan Indonesia dinilai memiliki ketahanan dan proses pemulihan yang cenderung cepat pada masa pandemi Covid-19. Ucapan tersebut akan lebih tepat bila disebut sebagai jebakan rayuan dari para pemberi utang agar dapat mencengkeram negara penerima utang  lebih kuat. Seharusnya Indonesia segera tersadar dari buai rayu tersebut karena ini merupakan penjajahan model baru yang tidak menyerang fisik tetapi menyerang ekonomi.

Para korporasi dunia melobi para politisi negeri agar membuat “iklim investasi yang makin kondusif”, berupa aturan atau Undang-undang yang membuat mereka makin legal dan bebas mengeruk kekayaan SDA mulai dari sektor hulu seperti pertambangan emas atau migas hingga hilir seperti pasar retail. Pada saat yang sama, lingkungan menjadi rusak, teknologi semakin dikuasai dan utang luar negeri makin menumpuk. Rezim kapitalis sebenarnya telah gagal mengelola SDA, utang dijadikan sebagai solusi untuk menutupi kegagalan mereka. 

Sebenarnya Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang beraneka ragam, potensi hutan, laut, sumber daya mineral dan energi juga potensi SDA yang begitu besar. Nyatanya belum berhasil mengentaskan kemiskinan seluruh rakyat negeri ini. Masyarakat kesulitan membiayai pendidikan, kesehatan dan perumahan. Kemiskinan adalah akibat dari pembangunan ekonomi yang tidak berhasil. Ekonomi riil tak cukup berkembang dan merata, sehingga tidak cukup menyediakan lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan semua orang. Ini semua berasal dari cara pengelolaan SDA yang berbasis kapitalisme liberal.

Dalam konsep kapitalisme, utang berperan dalam penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Padahal tanpa terasa di dalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha maupun di perusahaan bursa hingga pemerintah.

Sementara dalam Islam utang tidak menjadi pilihan untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi negara. Karena baiknya pengelolaan pemasukan negara yang berasal dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa’i, ghanimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya. Dalam kepemimpinan Islam, negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan negara tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak).

Hendaknya kaum Muslim menyadari tentang bahaya utang bukan hanya akan menjadikan rakyat sengsara dan negara hancur, teapi lebih dari itu, ketika utang ribawi telah meliputi suatu negeri, Allah akan memeranginya. Hal ini menunjukkan bahwa dosa riba sangat besar dan berat. “Rasulullah Saw melaknat pemakan riba yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda, mereka semua sama.” (HR Muslim)

Pakar ekonomi Islam, Nida Sa’adah, S.E.Akt., M.E.I. mengungkapkan, ada yang luput dari perhatian para pejabat keuangan negeri ini. Ketika sistem keuangan negara makin terjerat utang, wajar ada konsekuensi politik yang harus ditanggung. Padahal, Islam sudah mengingatkan sejak lama tentang bahaya utang luar negeri ini. Sebab faktanya, tak satu pun negara di dunia yang melejit menjadi negara besar dengan cara mengandalkan pembiayaan negara melalui jalan utang. Yang terjadi justru sebaliknya, negara yang berutang harus melepas satu persatu aset di negerinya kepada negara atau lembaga kreditur. Sistem keuangan negaranya makin lama makin kacau. Dan pada akhirnya menjadi negara yang bangkrut.

Dalam Islam, terdapat beberapa cara praktis  yang akan dilakukan dalam menyelesaikan utang.  Penyelesaian ini tanpa mengambil harta kekayaan masyarakat, dikelola negara untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh masyarakat. Penyelesaian secara langsung akan menghancurkan dominasi kapitalis Barat. Juga menghapus ketergantungan negeri-negeri muslim pada dunia Barat. Selain itu dapat menambah kepercayaan diri kaum muslimin bahwa mereka dapat berdiri sendiri tanpa sokongan dari jebakan utang Barat. Tentu hanya Khilafah yang mampu melakukan hal ini. 

Pertama, Khilafah akan memisahkan utang luar negeri pemerintah sebelumnya dengan utang pihak swasta (baik perorangan maupun perusahaan). Jika utang itu milik swasta, merekalah yang harus membayar. Sebaliknya, jika melibatkan penguasa sebelum munculnya Khilafah, maka Khilafah harus mengambil alih sisa cicilan pembayarannya.

Kedua, sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokok saja, tidak meliputi bunga, karena syariat Islam mengharamkan bunga. Baik Khilafah, individu, maupun perusahaan yang memiliki utang luar negeri, hanya wajib membayar sisa cicilan pokoknya saja dan diharamkan untuk menghitung serta membayar sisa bunga utang.

Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman.” (QS al-Baqarah [2]: 278)

Ketiga, meski diwajibkan melunasi sisa cicilan pokok utangnya, Khilafah perlu menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya. Hal itu dapat dilakukan dengan “lobi” agar pihak pemberi utang bersedia memberikan cut off (pemutihan). Bila cara ini gagal, untuk mengurangi tekanan beban pembayaran dalam jangka waktu yang amat pendek, bisa meminta rescheduling (penjadwalan pembayaran utang yang lebih leluasa waktunya).

Keempat, utang sebelumnya akan dibayar negara dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh rezim sebelumnya beserta kroni-kroninya. Deposito mereka disimpan diberbagai bank luar negeri, baik di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura dan lain-lain, akan dijadikan jaminan negara bagi pembayaran sisa utang luar negeri. Apabila akumulasi deposito harta kekayaan mereka masih kurang untuk melunasi sisa utang, Khilafah harus mengambil alih utang tersebut dan menalanginya dari pendapatan negara. Misalnya, bisa menggunakan harta yang berasal dari pos Jizyah, cukai perbatasan atau badan usaha milik negara. Khilafah, sejauh mungkin menghindarkan penggunaan harta yang berasal dari pemilikan umat (seperti hasil hutan, barang-barang tambang dan sebagainya) untuk pembayaran utang. Sebab, yang berutang adalah penguasa sebelumnya, bukan rakyatnya.

Kelima, utang luar negeri yang dipikul swasta (baik perorangan maupun perusahaan) dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. Misalnya, bisa dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang mereka miliki. Jika jumlahnya masih kurang, Khilafah bisa mengambil paksa harta kekayaan maupun deposito para pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka. Namun, bila jumlah harta kekayaan mereka belum mencukupi juga, negara harus mengambil-alih dan menalangi utang-utang mereka, karena negara adalah penjaga dan pemelihara (Râ’in) atas seluruh rakyatnya, tanpa kecuali. 

Begitu sempurnanya Islam dalam mengatasi seluruh masalah yang terjadi baik yang meliputi aspek alam, manusia dan kehidupan. Mulai dari urusan pribadi hingga negara, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Sebab aturan Islam dibuat oleh Sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur yang mencintai makhluk-Nya lebih besar dibanding cinta makhluk kepada dirinya sendiri. Masihkah kita ragu untuk segera meninggalkan sistem kufur? Wallahu 'alam bishshowwab.

Posting Komentar

0 Komentar