Oleh : Ismawati
Awal tahun 2021, Indonesia dirundung berbagai musibah. Mulai dari beberapa alim ulama meninggal dunia, jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di perairan Kepulauan Seribu, hingga bencana alam. Salah satunya banjir yang merendam sejumlah daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel) pada beberapa hari terakhir. Dikutip dari media kompas.com, Jumat (15/1) setidaknya ada 1.500 rumah warga di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel yang kebanjiran dengan ketinggian air mencapai 2-3 meter.
Hujan deras yang mengguyur daerah Kalsel beberapa hari terakhir diduga menjadi penyebab banjir di beberapa wilayah. Namun, Staf Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja mengatakan dampak secara langsung penyebab banjir memang curah hujan yang tinggi. Namun, masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus juga turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini.
Jefri mengatakan, ini dilihat dari beban konsensi hingga 50 persen dikuasai tambang dan sawit. Datanya dari tahun ke tahun luas perkebunan mengalami peningkatan dan mengubah kondisi sekitar. Antara 2009 hingga 2010 terjadi peningkatan luas perkebunan sebesar 14 persen dan terus meningkat di tahun berikutnya sebesar 72 persen dalam 5 tahun. Direktorat Jenderal Perkebunan 2020 mencatat luas lahan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan mencapai 64.632 hektar.
Dimana, mongabay melaporkan, 8 perusahaan sawit di Kabupaten Tapin mengembangkan lahan seluar 83.126 hektar, 4 perusahaan di Kabupaten Barito Kuala di lahan rawa seluas 37.733 hektar, 3 perusahaan sawwit di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan luasan 44.271 hektar, 3 perusahaan di Kabupaten Banjar dengan lahan sawit seluas 20.684 hektar, dan Di Kabupaten Hulu Sungai Utara ada satu perusahaan dengan luas 10.000 hektar dan di Kabupaten Tanah Laut mencapai 5.999 hektar.
Inilah sebab utama banjir yang tak kunjung mereda di wilayah Kalsel. Kebijakan memberikan izin usaha kepada perusahaan untuk mengelola sumber daya alam dengan megabaikan perlindungan terhadap alam. Pada akhirnya, di tengah cuaca ekstrem seperti saat ini bumi kurang memiliki daya resapan air akibat berkurangnya lahan karena masifnya pertambangan dengan total 4.290 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan perkebunan sawit. Padahal, Jefri Raharja menjelaskan akar-akar pohon dari hutan heterogen dapat membantu tanah mengikat dan menyimpan air hujan.
Seperti inilah gambaran hidup dalam lingkaran sistem kapitalisme. Hutan-hutan di Kalsel di berikan kepada korporasi atas izin penguasa. Darinya, mereka bisa mudah mengelola sumberdaya alam untuk mengejar ekonomi. Hasilnya masung dalam kantong-kantong pribadi, sementara rakyat hanya mendapat getahnya saja. Padahal, hutan adalah harta milik umum, maka tidak seharusnya di kelola dan di manfaatkan untuk keuntungan pribadi.
Maka, banjir terparah tahun ini bukan hanya disebabkan oleh faktor alam saja, namun karena kerusakan dari tangan-tangan manusia itu sendiri. Allah Swt berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 41 yang artinya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (TQS. Ar-rum : 41).
Sistem kapitalisme adalah sistem yang rusak dan membawa kerusakan. Karut marut tata kelola hutan menambah daftar panjang kerusakan yang dihasilkan oleh sistem ini. Contohnya adalah mudahnya pemberian izin kepada perusahaan mengelola hutan kita dan mengesampingkan kepentingan masyarakat.
Sementara Islam adalah agama yang sempurna. Di dalam Islam, hutan termasuk dalam kepemilikan umum dan tidak boleh dikuasai untuk kepentingan pribadi. Rasulullah Saw bersabda : “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api.” (HR. Abu Dawud). Negaralah yang mengelolanya, hasilnya untuk kemasalahatan rakyat. Dengan demikian tidak ada celah bagi para korporasi untuk menguasai kekayaan alam milik umat ini.
Sistem Islam akan hadir membawa keberkahan dan aturan sesuai dengan perintah-Nya. Dalam memetakan penambangan dan perkebunan, negara Islam akan melakukaannya dengan mengacu pada AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) sehingga wilayah yang akan di eskplorasi tidak berdampak buruk bagi masyarakat. Sementara dalam mengatasi banjir, negara Islam akan membangun bendungan-bendungan untuk menampung curah hujan dan membuat kanal, saluran air dan semisalnya untuk mengurangi intensitas jumlah air.
Oleh karena itu, datangnya bencana bertubi-tubi hari ini dapat menjadi bukti bahwa kerusakan akibat sistem kapitalis sekuler begitu nyata. Tidakkah kita masih percaya pada sistem kapitalis dalam mengurus rakyat? Sementara disisi lain, berbagai masalah akibat tata kelola hukum dan kebijakan yang salah seperti kemiskinan, kelaparan, dan kerusakan sumber daya alam semakin terasa hari ini. Dengan demikian, sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam. Sebagai sistem satu-satunya yang mampu memberikan jaminan kesejahteraan rakyat.
Wallahu a’lam bishowab.
0 Komentar