Demokrasi Membungkam Sikap Kritis dan Peduli

Oleh : Nurlela Nasution (Aktivis Muslimah)

"Sempat berpikir tuk pergi

Dan terlintas tinggalkan kau sendiri

Sampai kapan bertahan seperti ini 

Coba lari dari kenyataan tapi..

Ku tak bisa..jauh..jauh..darimu.."

Ya benar. Diri ini tidak bisa jauh barang sedikit pun untuk melepaskan gadget dan berselancar di dunia maya, karena ketika diri ini melihat berita-berita yang ada, jiwa dan rasa terusik untuk tetap berseliweran di dunia maya. Namun, ada kegusaran yang melanda ketika sebuah kebijakan lama kembali diberlakukan kembali.

Pemerintah menyatakan akan mengaktifkan kepolisian siber pada 2021. Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam wawancara khusus dengan Kompas. "Serangan digital memang dilematis, tetapi kami sudah memutuskan ada polisi siber," kata Mahfud dikutip dari kompas.id, (26/12/2020).

Menurut Mahfud, polisi siber akan diaktifkan secara sungguh-sungguh karena terlalu toleran juga akan berbahaya.

Apa dan siapa yang disasar oleh polisi cyber? Istilah polisi cyber sudah ada sejak lama. Fungsinya adalah untuk mencegah dan memproteksi sebuah jaringan online pada rumah atau perkantoran untuk bisa memonitor aktifitas online masing-masing pengguna internet dan digunakan untuk memblokir situs yang berbau kekerasan, narkoba, porno dan lain-lain.

Namun, semakin kemari tugas polisi cyber seperti sudah kehilangan arah dan disetir oleh orang yang memiliki kepentingan, di mana tugasnya bukan lagi memblokir situs-situs dengan konten porno, kekerasaan dan narkoba, tetapi berubah haluan memantau suara-suara kritis dan berusaha membungkamnya, bahkan yang menjadi sasaran polisi cyber hanyalah yang berbau terorisme, radikal dan Islam.

Saya selaku netizen merasa rugi bila keinginan saya untuk melakukan aktivitas amar ma'ruf kepada rezim berbuah banned pada media sosial saya. Bukan saya saja yang pernah kena banned, pastinya banyak netizen diluar sana juga pernah merasakan. Ini berarti mematikan sikap kritis dan peduli kita atas kebijakan-kebijakan yang kita anggap tidak sesuai, bahkan mensengsarakan.

Islam mengajarkan kita untuk senantiasa hidup dalam toleransi dengan menghargai hak-hak pribadi orang-orang yang ada di sekeliling kita. Tak hanya itu, Islam juga melarang umatnya untuk mencampuri hal-hal yang tidak menjadi urusannya, terlebih perbuatan yang menyerempet kepada hak-hak pribadi maupun aib dari setiap manusia, salah satunya adalah tajassus atau mencari kesalahan orang lain.

Allah Ta’ala berfirman, 

ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا اجْتَÙ†ِبُوا ÙƒَØ«ِيرًا Ù…ِّÙ†َ الظَّÙ†ِّ Ø¥ِÙ†َّ بَعْضَ الظَّÙ†ِّ Ø¥ِØ«ْÙ…ٌ ۖ ÙˆَÙ„َا تَجَسَّسُوا 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (Al-Hujurat : 12).

Dalam aturan Islam, kita boleh muhasabah fil Hukam agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Khalifah bisa di amar ma'ruf kan.

Masihkan kita bertahan dengan sistem Demokrasi yang rusak dan membungkam sikap kritis dan peduli padahal memiliki salah satu jargon kebebasan berpendapat. Ayo ganti sistem demokrasi menjadi sistem Islam.

Wallahu'alam Bisshowwab

Posting Komentar

0 Komentar