Oleh: Leihana (IRT dan Pemerhati Umat)
Ada ungkapan bahwa perempuan adalah tiang sebuah negara, jika hancur kaum perempuan sebuah negara maka hancur pula negara tersebut. Maka tidak heran jika pemerintah mulai menggulirkan Program Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP) untuk memperbaiki kondisi perekonomian di Indonesia. Tetapi benarkah program ini dapat menyelamatkan perekonomian negara ini dan turut memperbaiki kesejahteraan perempuan?
Memang benar pilar negara salah satunya adalah kaum perempuan, tetapi bukan berarti perempuan menjadi ujung tombak yang bertanggung jawab atas seluruh masalah sebuah negara. Dalam hal ini hal peran pokok kaum perempuan itu sendiri secara maksimal akhirnya dapat menjamin kemajuan sebuah negara. Peran utamanya adalah mencetak generasi terbaik sebuah negara/bangsa, karena tidak ada pihak lain yang mampu menggantikan peran tersebut.
Secara fitrahnya perempuan saja yang dibekali Allah Swt potensi untuk melahirkan. Selain itu perempuan bukan hanya bertugas melahirkan saja tetapi banyak peran-peran lainnya. Diibaratkan seperti mesin produksi yang siap mencetak suatu produk dan tak peduli hasilnya bagaimana dan diapakan. Di mana sejatinya kaum perempuan memiliki peran sebagai ibu yang melahirkan, merawat dan mendidik generasi yang kelak akan melahirkan generasi terbaik dalam akhlak juga kompetensi kehidupan yang penting lainnya.
Nah, apa jadinya jika kaum perempuan diposisikan sebagai mesin pencetak keuangan dan perekonomian sebuah negara? Apa mungkin negara tersebut benar-benar akan sejahtera dan maju dalam berbagai bidang? Kondisi di Indonesia sudah menjawabnya, kaum perempuan sebenarnya sudah lebih mudah dan mendapatkan akses pekerjaan di dalam maupun luar negeri.
Akhirnya banyak keluarga mengalami "dunia terbalik", para bapak kesulitan mencari mata pencaharian karena lapangan kerja banyak disediakan untuk para ibu, sebaliknya para ibu mudah mendapat pekerjaan bahkan bisa menjadi TKW ke luar negeri meski punya anak dan suami. Jadi peran mereka dipaksa dibalik menjadi ibu pencari nafkah dan bapak rumah tangga. Nyatanya ekonomi Indonesia tidak kunjung membaik tetapi justru kondisi sosialnya memburuk.
Adapun program Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP) ini akan membuat jebakan yang lebih dalam bagi kaum perempuan dalam lubang eksploitasi yang tak berujung. Jebakan ini bukan hanya didukung oleh pemerintah pusat dan daerah melalui perpu dan perda juga didukung oleh lembaga ekonomi internasional.
Dikutip dari CNN Indonesia, International Development Finance Corporation (DFC) menggelontorkan jaminan kredit sebesar US$35 juta untuk memobilisasi investasi US$100 juta guna mengurangi sampah plastik di laut Asia Tenggara.
"Kami ingin memberdayakan pengusaha perempuan seperti Anda, tetapi sekaligus melihat bagaimana kita dapat menghilangkan plastik di laut dan plastik secara luas, serta lebih banyak mengubah dunia kita menjadi tempat yang lebih baik di saat yang sama," imbuh Adam yaitu CEO dari DFC. (CNN Indonesia,14/01/2021)
Dalam sistem kapitalisme tidak ada makan siang gratis. Begitupun dengan program yang disebut bantuan seperti CSR. Di mana dengan bantuan para perempuan bisa mengembangkan segala potensi. Hal ini tentu akan menguntungkan sebuah perusahaan/korporasi apalagi yang berbentuk kredit. Kredit tentulah bukan bantuan karena harus dibayar kembali beserta bunganya.
Jadi memberdayakan perempuan dalam ekonomi kecil menengah dengan memberikan pinjaman meski dengan bunga ringan dan masa pengembalian yang panjang. Tetap saja ini tidak seutuhnya untuk sekadar membantu kaum perempuan. Memang bentuk pinjaman tersebut jika dikembangkan dalam usaha mikro, misalnya bisa meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi.
seperti dilansir dalam sebuah artikel "Sebuah penelitian menunjukkan bahwa memajukan kesetaraan perempuan di Asia-Pasifik dapat menambah US$4,5 triliun ke PDB kawasan tersebut pada 2025, atau meningkat 12 persen pertumbuhan rata-ratanya." (diterjemahkan dari https://borgenproject.org/investing-in-women-2x-womens)
Namun, patut dikritisi bahwa pertumbuhan ekonomi yg dimaksud dalam rangka mendongkrak untung bagi kaum kapitalis, bukan menjadi solusi masalah perempuan. Mungkin ada peningkatan angka pertumbuhan ekonomi tapi tepatnya siapa yang diuntungkan itu belum pasti kaum perempuan.
Bahkan yang kerap menjadi terancam. Adalah keutuhan institusi keluarga, para suami sudah mendapat pekerjaan kemudian para ibu sibuk mengembangkan usaha dan mengembalikan pinjaman dan anak-anak terbengkalai tanpa bimbingan dan pendidikan kedua orangtuanya.
Upaya PEP ini hanya sekadar menggali lubang untuk jalan keluar sistem kapitalisme , dari jalan buntu krisis ekonomi akibat pandemi berkepanjangan. Di saat korporasi besar tidak berkembang bahkan mengalami keruntuhan, upaya ini dinilai menjadi cara tetap bertahan menghadapi krisis ekonomi global tanpa mengganti sistem kapitalisme sebagai aturan umum kehidupan di negara-negara yang menganutnya.
Hanya sistem Islam yang memperhatikan kebutuhan kaum perempuan tanpa memerah/mengeksplotasi potensi kaum perempuan di luar batas fitrahnya. Kaum laki-laki didorong dan difasilitasi untuk mampu menjalankan kewajibannya mencari nafkah untuk keluarganya. Sementara kaum perempuan juga diberi kesempatan berkiprah di kancah publik untuk kepentingan ekonomi, pendidikan, politik dan dakwah tanpa melanggar fitrah mereka sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Harmoni tersebut hanya bisa terjadi jika sistem Islam diterapka secara kafah (sempurna) di bawah institusi yang dicontokan para sahabat nabi dan disyariatkan Allah dan Rasul-Nya yaitu institusi Khilafah.
Wallahu a'lam bishshawab
0 Komentar