Oleh : Dian Puspitasari
Sejak awal mula penyebarannya di Wuhan, lalu meluas hingga penjuru dunia termasuk negeri ini, Covid-19 tak kunjung usai. Bahkan kian ganas memakan korbannya yang tak terbilang jumlahnya.
Terlebih lagi di negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum, tenaga kesehatan berada di garda terdepan dalam perang melawan Corona. Sudah sewajarnya nasib mereka diperhatikan oleh negara. Sayang, nasib mereka diabaikan.
Menurut Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi, kematian tenaga medis dan kesehatan di Indonesia tercatat paling tinggi di Asia. Selain itu, Indonesia juga masuk ke dalam lima besar kematian tenaga medis dan kesehatan di seluruh dunia. "Sejak Maret hingga akhir Desember 2020 terdapat total 504 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terinfeksi Covid-19," ujar Adib dikutip dari siaran pers PB IDI, Sabtu (2/1/2021). (kompas.com, 2/1/2021)
Kematian tenaga medis Indonesia yang tercatat paling tinggi se-Asia, menunjukkan betapa lemahnya pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Nyawa manusia, termasuk seorang dokter yang sangat dibutuhkan rakyat, sangat tak berharga, dibandingkan aspek ekonomis yang lebih diprioritaskan pemerintah negeri ini. Mereka menggunakan sudut pandang kapitalisme dalam mengurusi kebutuhan rakyat, yang berpikir untung dan ruginya secara ekonomis.
Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang hal ini? Dalam Islam, nyawa manusia adalah segala-galanya. Hilangnya satu nyawa seperti hilangnya seluruh nyawa.
مَنۡ قَتَلَ نَفۡسًۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ اَوۡ فَسَادٍ فِى الۡاَرۡضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيۡعًا ؕ وَمَنۡ اَحۡيَاهَا فَكَاَنَّمَاۤ اَحۡيَا النَّاسَ جَمِيۡعًا ؕ
"..Barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia." (QS. al-Ma'idah: 32)
Meskipun mereka yang meninggal akibat Covid-19 bukan disebabkan pembunuhan, mereka tetap saja menjadi korban salah penanganan pandemi Covid-19. Akibat penerapan kebijakan "new normal" ditengah pandemi, di mana nyawa dinilai kurang berharga dibandingkan harta (aspek ekonomi) dan tahta (kekuasaan). Hilangnya nyawa ratusan tenaga kesehatan merupakan aktivitas membiarkan kematian mereka terjadi secara terus menerus. Tanpa ada ihtiyar maksimal agar pandemi Covid-19 ini berangsur-angsur sirna.
Tak salah jika Islam mengajarkan umatnya segala hal. Mulai dari hal kecil hingga hal besar. Termasuk gaya hidup sehat. Dengan tubuh yang sehat dan kuat, tujuan penciptaan manusia oleh Allah untuk beribadah akan tercapai secara optimal.
Ada satu alasan mengapa tubuh yang kuat dapat menjadikan diri seorang muslim dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah saw. bersabda,
اَلْمُؤْمِنُ اَلْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلىَ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٍ
“Orang beriman yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang beriman yang lemah dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu, kesehatan adalah satu dari sekian banyak kebutuhan primer rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Jika negara mengabaikan nyawa warganya, mereka telah melakukan kezaliman terhadap rakyat.
Di masa hidup normal, negara wajib:
1. Membudayakan pola hidup sehat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah. Seperti "mencegah lebih baik daripada mengobati" penyakit. Misalnya: menekankan kebersihan, makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang, lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar), mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan berpuasa Senin-Kamis, mengkonsumsi madu, susu kambing atau habatussaudah, dan lain sebagainya.
2. Menyediakan akses kesehatan yang mudah dan gratis kepada setiap warganya, tanpa pandang si kaya atau si miskin, pejabat atau rakyat jelata.
3. Memfasilitasi rumah sakit-rumah sakit dengan fasilitas kesehatan yang nyaman nan memadai, obat-obatan terjangkau.
4. Melakukan pemajuan ilmu dan teknologi kesehatan.
Sebagaimana dahulu Islam pernah melahirkan ilmuwan muslim yang berjasa luar biasa dalam bidang kesehatan, seperti:
• Jabir al-Hayan atau Geber (721-815 M), yang menemukan teknologi destilasi, pemurnian alkohol untuk disinfektan, serta mendirikan apotik yang pertama di dunia yakni di Baghdad.
• Banu Musa (800-873 M), yang menemukan masker gas untuk dipakai para pekerja pertambangan dan industri sehingga tingkat kesehatan para pekerja dapat diperbaiki.
• Muhammad ibn Zakariya ar-Razi (865-925 M), yang memulai eksperimen terkontrol dan observasi klinis, serta menolak beberapa metode Galen dan Aristoteles yang pendapat-pendapatnya hanya berlandaskan filsafat, tidak dibangun dari eksperimennya yang dapat diverifikasi. Ar-Razi juga meletakkan dasar-dasar mengenali penyakit dari analisis urin.
5. Memfasilitasi para tenaga medis dengan peralatan kesehatan memadai yang mereka butuhkan untuk melayani pasien.
Di saat negeri sedang diuji dengan pandemi (wabah menular), negara wajib:
1. Memperlakukan "lockdown" (karantina wilayah) di area terdampak wabah hingga wabah berangsur-angsur hilang. Seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan Khalifah Umar bin Khaththab.
2. Memisahkan warga yang sakit dari yang sehat.
3. Melakukan normalisasi hidup bagi warga yang sehat. Sedangkan karantina dan perawatan khusus tetap diberlakukan bagi warga yang sakit.
Demikianlah Islam menjamin kebutuhan kesehatan atas setiap warga negaranya. Satu hal yang layak diperhatikan, jaminan tersebut mustahil diwujudkan oleh aturan hidup yang berlandaskan sekulerisme. Hanya syariat Islam dalam naungan khilafah yang mampu mewujudkannya, atas izin Allah.
Wallahu a'lam bishawwab.
0 Komentar