Oleh : Rahma Alifah
Marina Taufani seorang yang membunuh anak kandungnya di Nias Utara meninggal dunia di RSUD Gunungsitoli, Sumatra Utara pada Minggu pagi 13 Desember 2020, sekitar pukul 06.00 WIB. Usai membunuh, wanita berusia 30 tahun itu sempat beberapa kali mencoba bunuh diri, setelah aksi membunuh anak kandungnya dengan cara menyayat lehernya sendiri dengan menggunakan parang, namun aksinya berhasil digagalkan oleh suaminya Nofedi Lahagu alias Ama Fina. (viva.co.id)
“Tersangka MT dinyatakan oleh dokter umum RSUD Gunungsitoli telah meninggal dunia,“ ungkap Perwira Urusan Hubungan Masyarakat (Paur Humas) Polres Nias, Aiptu Yadsen Hulu, kepada wartawan, Minggu siang 13 Desember 2020.
Pembunuhan berencana tersebut ditengarai karena impitan ekonomi yang kian sulit. Karena saking terimpitnya, mengakhiri hidup menjadi pilihan. Seolah tak ada pilihan lain yang bisa dilakukan. Fenomena tersebut bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, sudah banyak peristiwa serupa yang menjadi catatan kelam negeri ini.
Angka kemiskinan dari tahun ke tahun kian naik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, per Maret 2020 persentase penduduk miskin sebesar 9,78 %, naik 0,56% dari September 2019. Itu artinya, jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan 1,63 juta jiwa menjadi 26,42 juta jiwa per Maret 2020. Apalagi jumlah ini kian bertambah tersebab pandemi yang menyebabkan banyaknya pemutusan hubungan kerja para karyawan.
Kemensos RI menggariskan, salah satu kriteria kemiskinan yakni sumber penghasilan kepala keluarga di bawah Rp600.000,- setiap bulannya. Itu artinya, jika kepala keluarga berpenghasilan Rp600.000,- setiap bulannya, per hari hanya mendapatkan penghasilan Rp20.000,- dan menurut Kemensos tidak masuk kriteria warga miskin. Miris bukan? Padahal jika dihitung-hitung, Rp20.000,- sehari tidak cukup untuk memenuhi berbagai keperluan sebuah keluarga di luar makan. Lantas, bagaimana kondisi masyarakat bisa sejahtera?
Standar yang dibuat pemerintah ini sungguh tak memanusiakan manusia. Bagaimana mungkin, seorang kepala keluarga dengan upah Rp20.000,- per hari bisa dikatakan sejahtera? Sementara, di sisi lain segelintir orang menguasai berbagai kekayaan di negeri ini. Sebut saja Garibaldi Thohir yang merupakan kakak dari Menteri BUMN, Erick Thohir. Pria yang akrab disapa Boy Thohir ini masuk sebagai orang terkaya di Indonesia di urutan ke-15 versi Majalah Forbes. Total kekayaannya tercatat sebesar 1,65 miliar dollar AS atau sekitar Rp23,5 trilliun (Kurs Rp14.200). (money.kompas.com, 22/12/2020)
Salah satu sumber kekayaannya berasal dari batu bara yang kemudian ia privatisasi dan rakyat hanya mendapatkan ampasnya saja. Begitulah pilunya hidup dalam sistem Kapitalis. Kekayaan negeri ini hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Faktanya, kemiskinan bukan karena faktor individu. Melainkan termiskinkan secara struktural oleh sistem yang diterapkan di negeri ini, yakni sistem Kapitalisme. Akhirnya, akan selalu ada pemandangan kontras antara si kaya dengan bangunan mewahnya dan si miskin dengan bilik kumuhnya.
Islam Mengentaskan Kemiskinan
Dalam Islam, kriteria kemiskinan tidak diukur berdasarkan pengeluaran atau pendapatannya. Melainkan dari terpenuhi atau tidaknya kebutuhan asasi (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok tersebut mencakup sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan secara layak. Dalam salah satu hadis disebutkan bahwasanya seseorang terkategori sejahtera jika ia memiliki kelebihan 50 dirham di luar berbagai kebutuhannya. “Tidaklah seseorang meminta-minta, sementara ia kaya. Kecuali pada Hari Kiamat nanti ia akan memiliki cacat di wajahnya.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, apa yang menjadikan ia termasuk orang kaya?” Beliau menjawab, “Harta sebesar 50 dirham…” (HR. an-Nasa’I dan Ahmad).
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi ad-Dawalah al-Khilafah menyatakan, “Siapa saja yang memiliki harta sebesar 50 dirham —atau setara dengan 148,75 gram perak, atau senilai dengan emas seharga itu— yang merupakan kelebihan (sisa) dari pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal; juga pemenuhan nafkah istri dan anak-anaknya serta pembantunya— maka ia dipandang orang kaya. Ia tidak boleh menerima bagian dari zakat.”
Dalam sejarah peradaban Islam, pernah ditorehkan bagaimana masyarakat hidup sejahtera dalam naungan Islam. Sebagaimana pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa pemerintahannya yang cukup singkat, yakni 2,5 tahun mulai dari 99-102 H/717-720 M. berhasil melakukan berbagai perubahan, perkembangan dan keberhasilan di berbagai bidang. Pada masanya keadilan benar-benar ditegakkan. Rasa aman meliputi seantero negeri. Kesejahteraan pun begitu rakyat rasakan.
Salah satu kunci keberhasilan beliau dalam menjalankan roda pemerintahanya adalah dengan menjadikan Alquran dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Aturan Islam ditegakkan dengan sempurna. Ketakwaan pun menyelimuti pemimpin dan penduduknya. Adapun kebijakan yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz saat memimpin yakni:
1. tidak ambisi menjadi pemimpin dan menolak diperlakukan istimewa;
2. menerapkan pola hidup sederhana, khususnya untuk diri dan keluarganya;
3. menolak suap dalam bentuk apapun;
4. menegakkan keadilan dan mengabdikan diri untuk menyejahterakan umat;
5. melestarikan lingkungan hidup; dan
6. menghukum orang sesuai dengan kesalahannya.
Selama masa kepemimpinannya, rakyatnya hidup sejahtera. Bahkan diriwayatkan, tak ada yang berhak menerima zakat. Karena rakyatnya sudah hidup dalam kecukupan. Hal ini diungkapkan oleh Umar bin Usaid, “ Demi Allah,Umar bin Abdul Aziz tidak meninggal dunia hingga seorang laki-laki datang kepada kami dengan sejumlah harta dalam jumlah besar dan berkata, “ salurkan harta ini sesuai kehendakmu. Ternyata tak ada seorang pun yang berhak menerimanya. Sungguh Umar bin Abdul Aziz telah membuat manusia hidup berkecukupan.” []
Wallahu a’lam bi ash-shawab
0 Komentar