Oleh : Imas Royani
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim, memaparkan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 pada rapat kerja (raker) dengan Komisi X DPR RI, di Jakarta, pekan lalu. Dalam kesempatan itu, Mendikbud menyampaikan gagasan untuk meningkatkan hubungan mahasiswa dengan dunia kerja melalui program Kampus Merdeka. Program tersebut memberi peluang sebesar-besarnya kepada mahasiswa untuk belajar di luar program studi selama tiga semester, salah satunya dengan berwirausaha.
Di awal pengangkatan, Menteri Nadiem memastikan akan adanya link and match, yaitu keterhubungan antara dunia pendidikan dan industri. Ini sesuai dengan arahan Presiden yang ingin membuat berbagai terobosan signifikan guna menyiapkan SDM-SDM yang siap kerja dan siap berusaha. Dengan kata lain, target pendidikan era Jokowi kedua ini akan menitikberatkan aspek kompetensi (kemampuan) khususnya menghadapi tuntutan dunia kerja yang makin berkembang. Presiden jokowi bahkan meminta agar Mendikbud merombak kurikulum sesuai tujuan ini. Dalam waktu dekat Mendikbud akan segera merevisi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai langkah awal untuk menyukseskan pelaksanaan Peta Jalan Pendidikan dari pemerintah pusat hingga ke tingkat pelaksana.
Dilansir dari situs medcom.id, Nadiem menyebut bahwa sistem pembelajaran berbasis proyek atau project based learning mesti digalakkan. Hal ini agar kolaborasi antarpelajar terus terbangun melalui proyek pembelajaran tersebut. Kemampuan berkolaborasi di dunia pendidikan itu sendiri semakin dibutuhkan saat ini. Kolaborasi dan membangun kreativitas pula lah yang menjadi esensi dari kebijakan Merdeka Belajar, tanpa memandang bentuk atau jenis proyek yang dikerjakan.
Hal tersebut mendapat banyak sorotan dari berbagai kalangan termasuk dari ormas keagamaan karena dianggap akan berpengaruh besar terhadap profiling generasi yang sekuler dan berorientasi materi. Dikutip dari JPNN.com, pihak PBNU mengkritisi peta jalan pendidikan 2020-2035 yang dianggap hanya berorientasi kepada wilayah perkotaan sehingga belum bisa menjawab persoalan pendidikan di level grassroot, pedalaman. Hal senada diungkapkan oleh Sekertaris Dikdasmen PP Muhammadiyah Alpha Amirrachman. Beliau mengungkapkan ketidaksetujuannya perihal penyebutan peta jalan. “Lebih tepat grand desain, bukan peta jalan. hendaknya yang diatur bersifat makro, bukan super teknis. Sedangkan yang teknis dan detail mestinya diterjemahkan di renstra," ujarnya.
Bahkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) meminta agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim agar segera diganti. Beliau melihat, saat ini krisis atau darurat pendidikan yang terjadi sepanjang pandemi Covid-19 belum bisa tertangani dengan baik dan belum ada terobosan yang dilakukan Nadiem sebagai solusi dalam mengatasi darurat pendidikan nasional. Beliau sudah meminta Ketua Komisi X DPR yang juga Ketua DPW PKB Jawa Barat Syaiful Huda untuk mengambil inisiasi atas krisis stagnasi pendidikan nasional.(okezone.com, 16.01.2021).
Nampak sekali Menteri Nadiem lebih memilih orientasi kompetensi, dibanding karakter. Yaitu bagaimana membekali peserta didik agar siap menghadapi era disrupsi dalam konteks siap memasuki dunia kerja yang terus berkembang. Pendidikan akhirnya berorientasi menghasilkan generasi pekerja dan budak teknologi. Kebijakan menteri Nadiem juga diduga kuat akan memalingkan dari hakikat pendidikan yang semestinya. Pendidikan yang berorientasi pekerjaan, inilah ciri pendidikan dalam sistem kapitalis. Konsep Knowledge Based Economy (KBE) mengharuskan ilmu (pendidikan) menjadi dasar (kunci) bagi pertumbuhan (keberhasilan) ekonomi. Ilmu menjadi faktor produksi. Sehingga pendidikan harus diarahkan untuk kepentingan ekonomi, bukan semata-mata ilmu apalagi berperan bagi pembentukan kepribadian (karakter). Kriteria keberhasilan pendidikan–terutama pendidikan vokasi–hanya ditentukan oleh seberapa banyak lulusannya bisa diterima di dunia kerja. Program keterhubungan pendidikan dengan dunia usaha dan industri menunjukkan bahwa target pendidikan adalah bekerja tanpa berfokus pada perbaikan karakter generasi.
Konsep pendidikan yang seperti ini juga akan memuluskan agenda Revolusi Industri 4.0. Sebagaimana diketahui, RI 4.0 yang digagas Barat sejatinya adalah penjajahan gaya baru berkedok kemajuan teknologi dimana pendidikan berfungsi sebagai sarana untuk mencetak tenaga terdidik yang akan memenuhi pasar tenaga kerja bagi penjualan teknologi yang mereka buat. Inilah problem utama pendidikan di Indonesia yakni hanya berdasarkan sudut pandang penguasa terhadap tugas melayani pendidikan rakyat. Asas kapitalisme yang mendasari sistem pendidikan Indonesia menjadikan pendidikan mandul dan tidak produktif. Pendidikan di bawah asuhan kapitalisme dan sekularisme hanya memproduksi manusia-manusia minus nurani.
Revolusi secanggih apapun hanya akan terwujud nyata tatkala Islam menjadi aturan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara karena pendidikan sejatinya bukan hanya masalah kompetensi. Pendidikan juga harus membentuk SDM berkarakter sahih. Pendidikan harus dirancang untuk menuntaskan persoalan SDM bangsa secara umum. Ustadzah Noor Afeefa mengungkapkan bahwa, berbagai persoalan bangsa justru banyak disebabkan oleh rendah atau rusaknya karakter (kepribadian) manusianya. Misalnya korupsi, kejahatan, perampasan aset negara, keserakahan manusia yang bisa berimbas kepada kemiskinan, hingga problem kesalahpahaman terhadap ajaran agama yang berujung konflik horizontal. Belum lagi kekaburan standar kebenaran, tentang halal dan haram. Di sisi lain, serangan pemikiran dan serangan politik dari Barat atas dunia Islam (temasuk Indonesia) sangat kuat. Generasi muda tidak memiliki kemampuan menahan serangan tersebut. Hal ini tentu sangat memprihatinkan dan harus segera diatasi oleh pendidikan.
Dalam pandangan Islam, manusia cerdas adalah mereka yang memiliki ilmu, yang terdidik dan bertambah baik yang dengan ilmunya mereka semakin takut dan taat kepada Allah SWT. Dengan ilmu dan kecerdasannya pula ia mampu mengelola bumi ini baik dengan tenaganya maupun hartanya sesuai dengan aturan Allah SWT. Dan Negara bertanggung jawab penuh dalam melayani serta memastikan kebutuhan rakyat akan pendidikan terbaik, dapat terpenuhi.
Sebagaimana kehidupan pemuda di era Khilafah. Dengan bekal ilmu dan pembentukan mental yang sehat dan kuat, ditopang dengan pembentukan sikap dan nafsiyah yang mantap juga sistem yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat menjadikan kehidupan sosial benar-benar bersih. Kehormatan [izzah] pria dan wanita, serta kesucian hati [iffah] mereka pun terjaga. Dengan begitu, maka produktivitas generasi muda pun sangat luar biasa. Banyak karya ilmiah, riset dan penemuan yang dihasilkan ketika usia mereka masih sangat belia. Mereka senantiasa menyibukkan diri dalam ketaatan.
M. Ismail Yusanto dalam bukunya berjudul "Menggagas Sistem Pendidikan Islam" menuliskan bahwa pendidikan Islam terlahir dari sebuah paradigma Islam berupa pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan dunia; sebelum dunia dan kehidupan setelahnya; serta kaitan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Paradigma pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam. Pendidikan dalam Islam merupakan upaya sadar dan terstruktur serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah di muka bumi. Itulah tujuan pendidikan Islam. Asasnya akidah Islam. Asas ini berpengaruh dalam penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dikembangkan dan interaksi diantara semua komponen penyelenggara pendidikan.
“Telah aku tinggalkan kepada kalian semua, dua perkara yang jika kalian berpegang teguh padanya maka tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan Sunah Nabi-Nya.” (HR Hakim)
Hadits ini menjelaskan pentingnya kurikulum pendidikan Islam. Asas yang membangun pendidikan haruslah akidah Islam. Tidak boleh memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme). Dan rancangan pembelajaran bagi peserta didik wajib bersumber dari Al-Quran, hadits dan apa-apa yang tidak bertentangan dengan keduanya. Sebab pendidikan akan membentuk cara pandang terhadap kehidupan, cara berpikir, dan cara bersikap pada peserta didik.
Tentu kita semua mengharapkan adanya sebuah model pendidikan yang cemerlang, penuh aspirasi bagi generasi muda. Yang dengannya, akan menghasilkan generasi emas dan peradaban unggul yang dapat menjadi sumber kebaikan bagi umat hingga akhir zaman. Apalagi di era pandemi seperti sekarang ini, hendaklah visi-misi pendidikan mengandung program penjagaan generasi berupa penguatan landasan kehidupan baik dari sisi akidah maupun keterikatan peserta didik terhadap hukum syariat. Hal ini sangatlah penting mengingat guru selaku pendidik, tidak setiap saat dapat menjumpai peserta didik seperti ketika belajar di sekolah sebelum pandemi. Sebagaimana Firman Allah SWT, "Alif laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.” (QS Ibrahim [14] : 1).
Sistem pendidikan Islam akan melahirkan output generasi yang berkualitas, baik dari sisi kepribadian maupun dari penguasaan ilmu pengetahuan. Peranannya di tengah-tengah masyarakat akan dirasakan, baik dalam menegakkan kebenaran maupun dalam menerapkan ilmunya.Sistem pendidikan yang mampu menjadi sumber kebaikan bagi umat, pastinya membutuhkan sistem politik yang berdaya pula. Yakni sistem politik yang jelas, tinggi dan independen bagi negara yang bersangkutan. Visi politik negara semacam ini adalah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan dan kebodohan akibat kekufuran, kerusakan, keputusasaan dan ketidakadilan menuju cahaya Islam yang mengangkat derajat umat manusia di setiap urusan kehidupan. Dan sistem pendidikan ini hanya dapat diterapkan dalam naungan negara yang menerapkan Islam kaffah, yakni Khilafah.
Wallahu'alam bish-showwab.
0 Komentar