Melonjaknya Kematian Tenaga Medis, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Oleh : Hanin Syahidah

Covid-19 kian melonjak. Kematian akibat Covid-19 pun terus bertambah. Termasuk para nakes yang berada di garda terdepan dalam penanganan. Mirisnya, kematian nakes tercatat paling tinggi di Asia dan termasuk 5 besar di dunia. 

Dr. Adib Khumaidi SpOT dari Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), menyampaikan sejak Maret hingga akhir Desember 2020 terdapat total 504 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terinfeksi Covid-19. Jumlah itu terdiri dari 237 dokter (131 dokter umum, 101 dokter spesialis dan serta 5 residen yang seluruhnya berasal dari 25 IDI Wilayah (provinsi) dan 102 IDI Cabang (Kota/Kabupaten), 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, 10 tenaga laboratorium medis. (kompas.com, 2/1/2020).

Masih menurut PB IDI, bahwa kenaikan jumlah kematian tenaga medis dan tenaga kesehatan ini merupakan salah satu dampak dari akumulasi peningkatan aktivitas dan mobilitas yang terjadi belakangan ini. Seperti liburan akhir tahun dan pemilihan kepala daerah (pilkada) dan aktivitas berkumpul bersama teman dan keluarga yang tidak serumah. (kompas.com, 4/1/2020)

Hal ini diperparah dengan minimnya pelatihan pencegahan infeksi bagi tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Ini membuat mereka tetap rentan. Meski sudah melengkapi diri dengan APD, belum tentu mereka paham betul prosedur penggunaannya. (tirto.id, 7/8/2020)

Menurut epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, terus bertambahnya dokter yang meninggal dunia akibat Covid-19 adalah kerugian besar bagi Indonesia. Karena berdasarkan data Bank Dunia, jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya Indonesia hanya memiliki 4 dokter yang melayani 10.000 penduduknya. Sehingga, kehilangan 100 dokter sama dengan 250.000 penduduk tidak punya dokter. Kehilangan ini juga merugikan Indonesia dalam hal investasi sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan, terlebih Indonesia sedang berperang maraton melawan Covid-19. Kehilangan tenaga medis adalah salah satu sinyal serius, yakni betapa masih lemahnya program pengendalian pandemi. (kompas.com, 29/12/2020). 

Senada dengan hal itu, epidemiolog UI Pandu Riono meminta kepada Menteri Kesehatan (Menkes) menghargai perjuangan para dokter dan tenaga kesehatan yang mengorbankan nyawanya dalam menangani pasien Covid-19. Pandu mengingatkan, setiap kematian dokter adalah sebuah persoalan besar. (Sindonews.com, 17/9/2020)

Hitungan angka-angka di atas bukanlah hanya hitungan statistik belaka. Itu adalah nyawa manusia. Terlepas apakah itu rakyat biasa ataukah tenaga kesehatan. Tidak sepatutnya ada pembiaran dalam hal ini. Maka sudah seharusnya dijaga sebaik-baiknya. Memang dalam sistem Kapitalisme dengan prinsip dasarnya materi semata, maka nilai nyawa manusia dianggap tak seberapa. Nyawa tak ubahnya sebuah materi yang tidak terlalu penting untuk dijaga. Terkadang hanya untuk hal yang remeh, nyawa pun bisa melayang.

Padahal nyawa adalah anugerah Allah Swt. yang begitu dijaga dan dilindungi dalam Islam. Tidak ada agama yang begitu menghargai dan melindungi nyawa manusia melebihi Islam. Darah dan jiwa manusia mendapatkan perlindungan kuat. (Kompas.id, 22/4/2020). 

Dalam Islam, kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Maka, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam Islam.

Pertama, tindakan preventif. Islam adalah agama yang selalu berisi peringatan-peringatan seperti halnya aspek amar makruf dan nahi mungkar adalah salah satu bentuk upaya preventif yang ada dalam Islam. Terkait kesehatan, Islam memerintahkan untuk memakan makanan yang halal lagi baik. "Makanlah oleh kalian rezeki yang halal lagi baik yang telah Allah karuniakan kepada kalian.” (TQS. An-Nahl [16]: 114). 

Dari Shalih bin Yahya bin al-Miqdam bin Ma'di Kariba dari ayahnya dari kakeknya Miqdam berkata: “Saya mendengar Rasul  saw. bersabda: 'Tidaklah anak adam mengisi penuh suatu wadah yang lebih jelek dari perutnya, cukuplah bagi mereka itu beberapa suap makan yang dapat menegakkan punggungnya, maka seharusnya baginya sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, sepertiga untuk dirinya atau udara." (HR. Al-Baihaqi). Termasuk bagaimana perintah untuk menahan lapar dengan memperbanyak puasa Sunnah. Jadi harusnya ada suasana yang dibangun untuk membuat pola hidup sehat bagi masyarakat seluruhnya oleh negara.

Kedua, kuratif. Hadis Rasulullah yang sangat masyhur “Tidak ada penyakit yang Allah ciptakan, kecuali Dia juga menciptakan cara penyembuhannya.” (HR al-Bukhari). Jika memang sudah terjadi sakit, maka upaya yang harus dilakukan adalah pelayanan kesehatan yang berkualitas yang didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara.

Karenanya negara wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotek, lembaga litbang kesehatan, penyediaan APD gratis dan berkualitas, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan serta sekolah kesehatan lainnya yang menghasilkan tenaga medis. Negara juga wajib mengadakan pabrik  yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatann. Mnyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, akupunkturis, penyuluh kesehatan dan lain sebagainya.

Muslim ilmuwan pertama yang terkenal berjasa luar biasa adalah Jabir al-Hayan atau Geber (721-815 M).  Beliau menemukan teknologi destilasi, pemurnian alkohol untuk disinfektan, serta mendirikan apotik yang pertama di dunia yakni di Baghdad.

Dilanjutkan Ibnu Sina Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai "Avicenna" di dunia Barat. Ia adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan dokter kelahiran Persia (sekarang Iran). Ia juga seorang penulis yang produktif yang sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan kedokteran. Bagi banyak orang, dia adalah "Bapak Kedokteran Modern". Karyanya yang sangat terkenal adalah al-Qānūn fī aṭ-Ṭibb yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. (Wikipedia.org)

Pada zaman Pertengahan, hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit.  Di Cairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien. Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset. Rumah Sakit ini juga tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa. (Al-waie.id, 10/2/2020)

Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis kepada rakyat tanpa diskriminasi. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara maupun milik umum. Maka dengan begitu, apabila terjadi kasus wabah penyakit menular dapat dipastikan negara dengan sigap akan membangun rumah sakit untuk mengarantina penderita, atau membangun tempat karantina darurat. Serta mendatangkan bantuan tenaga medis yang profesional untuk membantu agar wabah segera teratasi.

Tata kelola wilayah dan sanitasi yang baik juga sangat diperlukan untuk tetap menjaga pola hidup sehat bagi rakyat. Hal ini mencakup tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian dsb. Hal itu sudah diisyaratkan dalam berbagai hadis: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, Maha Bersih dan mencintai kebersihan. Maha Mulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu bersihkanlah rumah dan halaman kalian dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi.” (HR. At Tirmidzi dan Abu Ya’la)

Yang berikutnya jika terjadi wabah penyakit seperti sekarang ini adalah dengan karantina. Rasulullah juga pernah memperingatkan umatnya untuk jangan mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda: “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah tersebut. Sebaliknya jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR. Al Bukhari)

Selanjutnya adalah menginisiasi adanya vaksin. Umat Islam terdahulu mengembangkan ikhtiar baru mengatasi Pandemi, yakni vaksinasi. Cikal bakal vaksinasi itu dari dokter-dokter muslim zaman Khilafah Utsmaniy. Seharusnya ini yang konsern dikembangkan sekarang dengan banyak ahli di negeri ini, bukan hanya menunggu vaksin dari luar yang siap dipasarkan dan lagi-lagi rakyat harus bayar mahal untuk mendapatkannya.

Akhirnya, di tengah kesemrawutan negeri ini, umat muslim selayaknya merindukan satu sistem alternatif yang dapat merealisasikan sistem kesehatan yang paripurna. Yakni dengan hadirnya institusi Khilafah Islamiyyah yang mampu mengatasi pandemi tanpa menghitung untung rugi negara. Tetapi menghitung keselamatan seluruh rakyatnya sebagai prioritas di tengah pandemi. Apakah itu tenaga kesehatan atau bukan karena dalam Islam kedudukan manusia sama, dan nyawa harus benar-benar dijaga dan dilindungi. 

Wallahu a'lam bi ash-shawab

Posting Komentar

0 Komentar