Oleh: Destiantini Siti Mardiah.,S.Pd (Ibu rumahtangga - Angkrek)
Rabu 13 Januari 2021 vaksinasi masal virus covid 19 mulai dilaksanakan di Indonesia, di awali dengan penyuntikan vaksin kepada presiden Joko Widodo. Pro kontra mengenai vaksin coronaVac buatan sinovac life science co.Ltd dan Bio Farma belum lah usai, namun pemerintah seakan terburu-buru untuk segera melaksanakan vaksin masal ini, meskipun dalam keadaan genting karena terus melonjaknya angka kasus covid 19 di Indonesia namun untuk pengujian vaksin ini tidak boleh dilakukan tergesa-gesa karena akan mempengaruhi proses penelitian dan berdampak buruk pada keakuratan hasil pengujian nya. Berdasarkan rencana awal tim riset Fakultas kedokteran Universitas Padjadjaran pada tanggal 8 Januari 2021 baru akan menyerahkan hasil uji klinis tahap 3 kepada BPOM dan di tanggal 15 januari BPOM akan mengumumkan hasil kajian keamanan dan efektifitas vaksin sinovac tersebut baru mengeluarkan keputusan boleh tidaknya digunakan berdasarkan izin darurat atau emergency use authorization (UEA) BPOM. Melihat alur time line awal dengan sekarang tentu sangat terlihat sangat terburu-buru nya pemerintah untuk memulai vaksin masal, karena di tanggal 11 Januari 2021 MUI mengeluarkan keputusan bahwa vaksin sinovac ini suci dan halal digunakan umat muslim dan dihari berikutnya dikeluarkan izin darurat/UEA BPOM hingga hari ini tepat satu hari setelahnya vaksinasi masal resmi dilakukan di seluruh Indonesia. Di Sumedang sendiri kegiatan vaksin masal akan dilaksanakan pada tanggal 22 Januari 2021 dan bupati Sumedang Dony Ahmad Munir akan menjadi orang pertama yang mendapatkan vaksin pertama di Sumedang (detik news, 31/12/2020).
Tentu ketergesa-gesaan pemerintah ini menimbulkan berbagai pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi? Disaat negara lain masih melakukan pengujian terhadap vaksin, Indonesia justru sudah memulai vaksinasi masal menggunakan vaksin sinovac, padahal berdasarkan hasil efektifitasnya vaksin sinovac hanya sebesar 65,3% jauh berbeda dengan vaksin lainnya seperti Moderna 94% dan Pfizer/BioNtech 95%. Meski berada diatas batas minimum efektifitas 50% akan tetapi tetap saja ini merupakan langkah beresiko, dan ini akan membuka celah korupsi para tikus berdasi yang memanfaatkan situasi. Bukan hal yang tidak mungkin karena pandemi ini tetap menjadi lahan basah untuk bermain para kapitalis dan oknum pemerintah, seperti yang terjadi pada bantuan sosial kemarin.
Meski pemerintah menyatakan bahwa penerimaan vaksin ini gratis namun apakah hanya untuk jenis vaksin sinovac saja ataukah berlaku juga untuk jenis vaksin covid 19 yang akan datang. Karena mungkin saja nanti pusat kesehatan mengatakan bahwa vaksin sinovac habis dan menyatakan vaksin jenis lain yang itu berbayar dan disini akan memunculkan diskriminasi karena lebih mengutamakan vaksin yang berbayar. Terlepas dari permasalahan regulasi vaksin yang belum jelas, adanya vaksin tidak akan memutus mata rantai penyebaran virus covid 19 jika tidak dibarengi dengan budaya sehat masyarakat dan pemerintah dengan tegas menutup pintu masuk bagi wisatawan asing selama pandemi ini. Masyarakat pun harus tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan dan mengurangi aktivitas diluar rumah agar mata rantai pandemi ini cepat terputus.
Begitulah yang diajarkan oleh syariat Islam dalam menangani pandemi disuatu negeri, vaksin merupakan pengobatan yang dianjurkan dalam rangka ikhtiar dalam kesehatan namun harus diperhatikan zat-zat yang terkandung didalamnya. Penguasa harus menjamin keamanan dan kehalalan vaksin tersebut dan memberikan layanan kesehatan terbaik dan berkualitas tinggi bagi seluruh rakyat nya. Tidak akan ada kebingungan dalam pengadaannya terkait biaya karena dalam Islam hasil pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki suatu negeri akan masuk ke kas negara sepenuhnya dan darisanalah segala kebutuhan rakyat dipenuhi yang mencakup pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial lainnya yang didapatkan rakyat secara gratis sebagai bentuk periayaah (pengurusan) umat oleh penguasa.
Wallahu a'lam bi ash-showab.
0 Komentar