RAKYAT SUSAH DI MASA PANDEMI, PEJABAT MALAH KORUPSI

Oleh : Ririn Rafita Malik, S.E

Bak jamur dimusim hujan, begitulah analogi yang tepat bagi kasus korupsi di negeri ini. Kasus demi kasus bermunculan menjerat pejabat negara, baik dari kelas kakap maupun kelas teri. Bahkan terkadang korupsi dilakukan berjamaah baik antar keluarga maupun rekan kerja. Meskipun berbagai aturan dibuat, dan pengawasan diperketat tetapi praktik korupsi tetap saja marak dari pusat hingga daerah. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak 169 kasus korupsi selama periode semester satu 2020. Kasus ini meningkat dibanding semester satu 2019 lalu.

Beberapa pekan lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kasus korupsi yang dilakukan oleh dua menteri. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan korupsi izin ekspor benih. Selang beberapa hari, Menteri Sosial Juliari Peter Batubara juga resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan bantuan sosial Covid-19 oleh KPK. Juliari diduga menerima suap 17 miliar dari dua pelaksanaan paket bantuan sosial terkait sembako untuk penanganan Covid-19. Kasus ini menyeret banyak nama dari pertahana, mulai dari Gibran Rakabuming Raka hingga Puan Maharani. 

Gibran Rakabuming Raka sempat menuai sorotan usai mencuatnya kabar yang menuding dirinya terlibat dalam kasus korupsi bantuan sosial (bansos) ini. Tagar (Tanda Pagar) Tangkap Anak Pak Lurah trending di media sosial Twitter. Meski Gibran telah memberikan sanggahannya, publik belum berhenti menyoroti dan mengulik kasus tentangnya. Lebih lanjut, terdapat informasi soal dugaan keterlibatan Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani dalam kasus tersebut.

Pihak KPK sendiri akan mendalami informasi tentang adanya keterlibatan Ketua DPR RI itu. Namun Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny K Harman mengaku ragu dengan lembaga antikorupsi tersebut. “KPK dalami ketelibatan Puan Maharani di Kasus Korupsi Bansos. KPK berani? Tangkap ikan “kakap besar” di laut dangkal saja ndak bernyali, apalagi di laut dalam. Baiknya KPK bekerja dalam diam, jangan obral harapan. Dan jangan doyan main ci luk ba! Liberte!” Tulis Benny di akun Twitternya.

Kedua kasus tersebut langsung menjadi sorotan dan menuai kecaman keras dari publik, karena dinilai ironis ditengah situasi masyarakat yang sedang kesulitan menghadapi pandemi Covid-19. 

Masyarakat merasa tersakiti disaat mereka berjuang melanjutkan hidup ditengah pandemi, tindak pidana korupsi semakin menjadi-jadi. Padahal pandemi Covid-19 ini seakan menjadi kesengsaraan bagi sebagian lapisan masyarakat. Bahkan banyak sekali masyarakat yang kena pemotongan gaji, dirumahkan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) pada masa pandemi ini. Sedang penjahat berdasi seakan tak punya hati nurani, mereka sibuk mengisi pundi-pundi kekayaannya sendiri hingga bantuan sosial pun dikorupsi. 


Sistem Demokrasi Penyubur Korupsi

Penyebab dari adanya praktik korupsi sebenarnya berpangkal dari ideologi yang diterapkan saat ini. Demokrasi-kapitalis mengajarkan empat kebebasan, yaitu kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berperilaku. Empat kebebasan ini terbukti melahirkan berbagai kerusakan. Maraknya kasus korupsi bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan diseluruh belahan dunia yang menerapkan ideologi Barat ini.

Demokrasi-sekuler memisahkan agama dari kehidupan memandang segala sesuatu berdasarkan manfaatnya. Sehingga segala perbuatan yang dikerjakan harus menguntungkan, sekalipun berperan sebagai pemimpin negara ataupun pengurus rakyat. Orientasi penjabat di sistem ini bukan lagi ibadah dan pahala, melainkan keuntungan dunia. Selain itu hukuman yang diberikan bagi para pelaku korupsi tidak memberikan efek jera. Sehingga meskipun mendekam didalam penjara para koruptor masih bisa merasakan hunian mewah ala hotel bintang lima, sehingga kasus korupsi di Indonesia makin menggurita.

Dalam sistem demokrasi, sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi pejabat negara ataupun daerah memerlukan mahar politik yang sangat besar, maka tak heran jika penjabat yang terpilih nantinya akan berusaha mengembalikan modal pribadinya maupun partai pengusungnya dengan segala cara termasuk menyelewengkan uang negara. Selain itu gaya hidup hedonisme para penjabat beserta keluarganya juga menjadi faktor penyebab korupsi. Karena gaji yang didapatkan tak cukup untuk memenuhi gaya hidup mewah mereka. Selain beberapa hal tersebut lemahnya iman para penjabat,  adanya budaya suap dilingkungan masyarakat dan adanya jual beli jabatan dan jual beli kebijakan di sektor pemerintahan juga menjadi faktor suburnya kasus korupsi di negeri ini.


Islam Basmi Tuntas Masalah Korupsi

Faktor utama penyebab korupsi adalah faktor ideologi, maka langkah yang paling penting dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan ideologi penyubur korupsi tersebut. Dengan kata lain mengganti ideologi demokrasi-kapitalis dengan diterapkan Syariah Islam. Dengan diterapkannya Islam sebagai satu-satunya hukum tunggal di negeri ini, maka syariah Islam akan dapat memainkan perannya untuk memberantas korupsi, baik dengan pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).

Berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber, sejumlah cara sebagaimana ditunjukkan oleh syariat Islam adalah dalam mencegah korupsi adalah sebagai berikut:

Pertama, rekruitmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syaksiyah islamiyah). Rasulullah SAW bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (H.R. Bukhari). Umar bin Khattab pernah berkata, “Barang siapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khattab selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, “Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk..”

Ketiga, negara harus memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Hal ini supaya mereka dapat bekerja dengan tenang dan tidak tergoda melakukan kecurangan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (H.R. Ahmad). Berkatalah juga Abu Ubaidah kepada Umar, “Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berhianat.” 

Keempat, adanya perhitungan kekayaan aparat negara. Hal ini senantiasa dilakukan oleh khalifah Umar. Umar mencatat dan menghitung kekayaan seseorang sebelum ia diangkat sebagai penguasa atau sebagai kepala daerah. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Apabila gagal membuktikannya Khalifah Umar tidak segan-segan menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah. Kadang-kadang jumlah kelebihan itu dibagi dua, separuh untuk yang bersangkutan dan separuh lainnya diserahkan kepada Baitul Mal (kas negara).

Kelima, adanya larangan menerima suap dan hadiah bagi aparat negara. Karena setiap hadiah yang diberikan pasti memiliki sebab tertentu. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja yang ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (H.R. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat, Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (H.R. Ahmad).

Keenam, adanya teladan pemimpin. Pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil apabila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi dari sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwanya, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan takwanya pula, ia takut melakukan penyimpangan karena Allah subhanahu wa ta’ala pasti melihat semua perbuatannya dan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya. Ketakwaan ini juga ditanamkan kepada seluruh pegawai negara tanpa terkecuali. 

Khalifah Umar pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik baitul mal. Hal ini dinilai Umar sebagai penyalahgunaan fasilitas negara. Hal serupa dilakukan oleh khalifah Umar bin Abdul Azis. Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, beliau sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kasturi kepada rakyat.

Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menepuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang.”

Jika korupsi telah terjadi, Syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm 78-89).

Dengan teladan pemimpin, larangan pemberian suap dan hadiah, pembuktian terbalik gaji yang mencukupi, dan hukuman yang berefek jera, insyaa Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas.

Posting Komentar

0 Komentar