Tenaga Kesehatan, Korban Rezim Tak Beraturan

Oleh : Ummu Alkhalifi (Anggota Komunitas Setajam Pena)

Pandemi Covid-19 yang muncul sejak Maret 2020 hingga kini Januari 2021 telah banyak membuat berjuta-juta nyawa meninggal dunia. Termasuk didalamnya adalah para tenaga kesehatan.

Dilansir Kompas.com  (2/1/21), mereka bahwa di Indonesia sendiri sebanyak 504 tenaga kesehatan menjadi korban atas keganasan wabah pandemi ini. Angka ini menunjukkan kematian Nakes Indonesia tertinggi di Asia dan 5 besar di dunia

Menurut Ketua Tim Mitigasi PBID Adib Khumaid, terjadinya peningkatan merupakan salah satu dampak dari akumulasi peningkatan aktivitas dan mobilitas yang terjadi, seperti halnya berlibur, pilkada dan aktivitas berkumpul bersama teman dan keluarga yang tidak serumah.

Hal ini juga diperparah dengan kondisi keterisian rumah sakit, dimana data Kementerian Kesehatan telah menunjukkan keterisian tempat tidur rumah sakit secara kumulatif di Indonesia berada di kisaran angka 64,1 persen. Yang merupakan angka melebihi ambang batas aman sebagaimana yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). 

Kerugian yang besar bagi negeri adalah dampak dari tingginya angka kematian para Nakes. Berdasarkan data Bank Dunia jumlah dokter di Indonesia terendah ke2 di Asia Tenggara yaitu 0,4 dokter per 1000 penduduk. Yang artinya Indonesia hanya memiliki 4 dokter yang melayani 10.000 penduduk. Kehilangan 100 dokter sama dengan 250. 000 penduduk tidak punya dokter. 

Kondisi negeri yang semakin memburuk ini jelas karena negara tidak lepas dari paradigma sistem kepemimpinan saat ini yaitu paradigma sekularisme dan kapitalisme. Yang merupakan sistem pengatur negaranya dengan hukum-hukum buatan manusia yang hanya mengedepankan nilai - nilai materi dan manfaat saja. 

Inilah ide yang diusung sekulerisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan hingga melahirkan para penguasa dengan kepemimpinan yang  sarat kepentingan. Seperti halnya negara tidak segan - segan tetap menyelenggarakan PILKADA demi tujuan penyelamatan kekuasaan mereka. Meski ditengah wabah pandemi yang terus mengalami peningkatan. 

Tidak hanya itu, bahkan mereka tega  mengorupsi dana Bansos Covid-19. Inilah kapitalisme yang menjadikan negara berlepas tangan atas tanggung jawab dalam mengurusi rakyatnya. 

Ditambah lagi negara yang berkolaborasi dengan para pemilik modal menggarap layanan publik. Seperti layanan kesehatan BPJS dijadikan sebagai ajang bisnis, bahkan rela menyerahkan harta kekayaan umat, yaitu SDA yang melimpah ruah kepada para kapital demi segelintir keuntungan pribadinya. Mereka gadaikan harta yang mampu mensejahterakan umat. Inilah kapitalis yang hanya mengedepankan ekonomi sebagai prioritas utama bukan lagi nyawa rakyatnya. 

Negara membutuhkan solusi yang tepat untuk menyelesaikan seluruh problematika umatnya, termasuk dalam hal layanan kesehatan apalagi disaat wabah pandemi seperti saat ini. Sejarah membuktikan hanya dengan Islam lah permasalahan umat terselesaikan hingga ke akar-akarnya. 

Rasulullah saw. banyak memberikan contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya: menekankan kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengkonsumsi madu, susu kambing atau habatussaudah, dan sebagainya.

Menarik untuk mencatat bahwa di dalam Daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana.  Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.

Rasulullah saw. juga menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal saat itu, seperti bekam atau meminumkan air kencing unta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam.  Beliau juga menjadikan seorang dokter yang dihadiahkan oleh Raja Mesir kepada dirinya sebagai dokter publik.  Dokter tersebut tentu masih non-Muslim saat belajar medis.  Nah, ada sabda Rasulullah sa., “Antum a’lamu bi umuri dunyakum (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian).” 

Tidak dapat dipungkiri, Rasulullah saw. adalah inspirator utama kedokteran Islam.  Meski beliau bukan dokter, kata-katanya yang terekam dalam banyak hadis sangat inspiratif, semisal, “Tidak ada penyakit yang Allah ciptakan, kecuali Dia juga menciptakan cara penyembuhannya.” (HR al-Bukhari).

Umat yang sehat adalah umat yang kuat, produktif dan memperkuat negara. Kesehatan dilakukan secara preventif (pencegahan), bukan cuma kuratif (pengobatan).  Anggaran negara yang diberikan untuk riset kedokteran adalah investasi, bukan anggaran sia-sia.

Dengan ilmu dan teknologi yang semakin maju itu, otomatis kompetensi tenaga kesehatan juga wajib meningkat. Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya.  Dokter Khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya.  Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.

Negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah.  Ini adalah rumah-rumah sakit dalam pengertian modern.  Rumah sakit ini dibuat untuk mempercepat penyembuhan pasien di bawah pengawasan staf yang terlatih serta untuk mencegah penularan kepada masyarakat.

Pada zaman Pertengahan, hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit.  Di Cairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien.  Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset.   Rumah Sakit ini juga tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa.  Di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan oleh veteran Perang Salib yang menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah. Sebelumnya pasien jiwa hanya diisolir dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah.

Semua rumah sakit di Dunia Islam dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu.

Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya.  Namun, pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.

Banyak individu yang ingin berkontribusi dalam amal ini.  Negara memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf (charitable trust) yang menjadikan makin banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya.  Model ini pada saat itu adalah yang pertama di dunia.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama urusan masing-masing untuk menjaga kesehatan.  Namun, ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi kedokteran. 

Wallahua'lam bishowab.

Posting Komentar

0 Komentar