Oleh: Astriani Lidya, S.S
Sudah seperti aktivitas rutin awal tahun, banjir kembali melanda kota-kota besar di Indonesia. Di Kota Bekasi ada 94 lokasi banjir yang tersebar hampir di seluruh kecamatan. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bekasi Agus Harpa mengatakan, “Menurut data ada 94 titik banjir. Itu terbagi di 11 kecamatan. Artinya hanya satu kecamatan di Jatisampurna yang tidak terdampak banjir.” Banjir di sebagian wilayah disebabkan tingginya curah hujan dan sebagian lagi disebabkan luapan kali yang berada di kawasan permukiman. (KOMPAS.com, 8/2/2021)
Banjir juga melanda Jember, Jawa Timur. Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur Hari Putri Lestari turun langsung meninjau kondisi banjir di Tempurejo, Puger dan Bangsalsari. Pihaknya juga menyalurkan bantuan sekaligus mengecek penyaluran bantuan dari Pemprov Jatim ke korban banjir sudah tepat sasaran. Dia juga memastikan agar bantuan dapur umum untuk korban banjir bisa berjalan normal, mengingat APBD Jember 2021 masih bermasalah. Menurutnya, banjir tahunan di Tempurejo yang melanda 3 desa setempat berlangsung sudah 10 tahun lebih. Selain itu juga lokasi yang sama sungai hanya dinormalisasi atau dikeruk dan hanya bersifat sementara. Akhirnya banjir terulang kembali, berarti ada masalah yang belum tuntas. Warga masyarakat korban banjir tahunan bukan sekedar butuh bantuan makanan tapi harus ada kepastian tahun berikutnya tidak banjir lagi karena kerugian tidak hanya barang yang rusak, tapi juga hasil pertanian dan juga psikologis warga. (Lenteratoday, 17/01/2021)
Di Kalimantan, Mirmaraditha Widyani (19) terjebak banjir di indekosnya di Banjarmasin. Sementara kedua orang tuanya berada di pengungsian di Barabai, Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel. Dengan prasarana yang terbatas, Widya berupaya untuk dapat memantau situasi orang tuanya. Karena HST adalah salah satu kecamatan yang terparah terdampak banjir. Hingga kini, Widya dan rekan-rekannya masih berusaha untuk mengumpulkan donasi untuk membelikan makanan serta kebutuhan lainnya bagi para korban. Pasalnya, wilayah Barabai saat ini masih minim bantuan karena kondisi banjir yang makin parah. (kumparan.com, 16/01/2021)
Hingga hari ini, masalah banjir masih menjadi PR besar, tak hanya bagi pemerintah daerah tapi juga pemerintah pusat. Nyaris tiap memasuki musim penghujan, banjir dan longsor siap mengancam berbagai daerah di Indonesia. Ironisnya, kejadian seperti ini terus berulang sepanjang tahun tanpa upaya serius untuk memperbaiki kesalahan mendasar menyangkut paradigma pembangunan yang dikaitkan dengan keseimbangan ekologi. Wajar jika intensitas bencana makin sering terjadi dan luasannya pun terus bertambah.
Selama ini, rakyat yang cenderung disalahkan. Misal terkait budaya buruk membuang sampah sembarangan atau ketika ada yang mendirikan bangunan di bantaran sungai. Namun kemana sang periayah? Jika dilihat sebetulnya penyebab utama bencana banjir adalah pembangunan yang tidak akomodatif terhadap daya dukung lingkungan. Bahkan tampak kebijakan pembangunan bercorak sekuler kapitalistik yang lebih mementingkan para pemilik modal yang hanya memikirkan keuntungan materi. Inilah mengapa meningkatnya kasus bencana banjir selalu sejalan dengan meningkatnya intensitas pembangunan multi sektor di kawasan-kawasan dataran tinggi atau wilayah penyangga air. Seperti pembukaan lahan-lahan perkebunan, kawasan-kawasan wisata, kawasan perindustrian, wilayah-wilayah pemukiman, dan lain-lain.
Di perkotaan, banjir juga terjadi karena daerah resapan air yang dijadikan proyek perumahan, maupun pengembangan kawasan bisnis milik para kapitalis. Nyaris semua lahan di kota-kota tertutup semen dan aspal. Kondisi ini diperparah oleh rancangan instalasi drainase yang buruk sehingga menyebabkan air seolah tak punya jalan. Manajemen mitigasi bencana pun masih belum terbina dengan baik, sehingga dampak bencana masih sulit diminimalisasi. Bahkan bisa jadi beberapa bencana yang terjadi di tahun lalu, masih menyisakan PR hingga saat ini.
Peran Sang Periayah
Untuk mengatasi bencana banjir seperti saat ini, sangat diperlukan peran dari penguasa sebagai periayah umat. Islam menetapkan fungsi Kepala Negara sebagai pengatur dan juga pelindung sekaligus penegak aturan Islam. Seorang Kepala Negara atau Khalifah tidak hanya bertanggung jawab pada rakyat, tapi juga pada pemilik alam semesta. Untuk itulah seorang Khalifah sebagai pemimpin akan menghindari konflik kepentingan dalam kebijakan-kebijakannya. Khalifah tak akan membiarkan para kapitalis dan penguasa rakus untuk merusak lahan-lahan milik umum demi kepentingan sesaat.
Negara Khilafah pada prakteknya akan merancang strategi pembangunan, semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan umat dan pelestarian alam serta lingkungan. Termasuk dalam tata kelola wilayah, pembangunan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia, dan lain-lain. Dalam rangka mencegah terjadinya banjir langkah yang dilakukan diantaranya, membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Di masa keemasan Islam, bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Bendungan pengatur air (diversion dam) juga berhasil dibangun oleh sarjana-sarjana muslim. Bendungan ini difungsikan untuk mengatur atau mengalihkan aliran air. Bendungan pengatur air pertama kali dibangun di sungai Uzaym, di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu, bendungan model ini dibangun di daerah-daerah lain di negeri Islam.
Khilafah juga akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim, dan lain-lain. Selanjutnya akan dibuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut. Khilafah akan membangun juga sumur-sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan untuk tendon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik air. Untuk pendirian bangunan di lahan pribadi atau lahan umum, yang bisa mengantarkan bahaya , maka Khalifah diberi hak untuk tidak menerbitkan izin pendirian bangunan. Khalifah juga akan memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut tanpa pandang bulu.
Khilafah akan terus menerus menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan. Ketetapan ini didasarkan ketetapan syariat mengenai dorongan berlaku hidup bersih dan tidak membuat kerusakan di muka bumi.
Allah SWT, berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ArRuum: 41)
Ketika terjadi bencana banjir, Khalifah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Khilafah akan bertindak cepat menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban tidak menderita sakit, kekurangan makanan, pakaian, bahkan tempat istirahat yang memadai.
Begitulah hendaknya seorang pemimpin meriayah dan menetapkan kebijakan demi kesejahteraan rakyatnya. Penerapan syariah Islam yang didorong dengan ketakwaan pasti akan mendatangkan kehidupan penuh berkah. Sebagaimana yang dijanjikan Allah Swt dalam firman-Nya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96)
Lalu bagaimana sang periayah hari ini?
Wallahua’lam bishshawab
0 Komentar