Oleh : Yanyan Supiyanti, A.Md (Pegiat Literasi)
Lagi dan lagi, harga daging sapi naik. Setelah sebelumnya harga tahu dan tempe naik akibat harga kacang kedelai sebagai bahan baku membuat tahu dan tempe naik. Ketahanan pangan terancam di negeri yang kaya akan sumber daya alamnya.
Harga daging sapi dalam beberapa hari terakhir terus melonjak. Hal tersebut menyebabkan pedagang daging kerap merugi. Menurut salah seorang pedagang daging di Pasar Soreang, saat ini harga daging sapi mencapai Rp125.000/kg, yang normalnya Rp110.000/kg, lalu terjadi kenaikan tiap harinya sebesar Rp500-Rp1.000. Pelanggan banyak yang keberatan dengan naiknya harga ini, sehingga membuat jualan menjadi sepi. Kondisi ini membuat sejumlah pedagang berencana mogok berjualan, agar daging sapi bisa kembali turun ke harga normal.
Pemerintah Kabupaten Bandung menyiapkan antisipasi apabila pedagang daging sapi mogok berjualan, menyusul harga daging sapi yang merangkak naik. Menurut Plt Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bandung Marlan, salah satu hal yang dilakukan adalah operasi pasar bekerjasama dengan bulog untuk menjual daging sapi secara langsung kepada masyarakat. Namun, terkendala dengan daging yang dijual itu pasti beku dari impor, dan ini kurang diminati masyarakat.
Plt Kepala Disperindag Kabupaten Bandung Marlan mengatakan, di daerah luar seperti Jabodetabek, tingginya harga daging sapi dikarenakan faktor cuaca yang menganggu distribusi. (m.ayobandung.com, 21/1/2021)
Kepala UPTD Rumah Potong Hewan (RPH) Kabupaten Bandung Cecep Hendrayadi mengatakan, ada dua penyebab kenaikan harga daging sapi dalam beberapa waktu terakhir.
Penyebab pertama adalah kenaikan harga bobot hidup sapi impor. Sapi hidup impor Indonesia sebagian besar didatangkan dari Australia dan saat ini harganya mengalami kenaikan, yaitu Rp4.000-Rp5.000 per kg. Yang kedua, karena nilai tukar dolar terhadap rupiah juga mengalami pelemahan, sehingga turut mempengaruhi harga pembelian sapi impor. (m.ayobandung.com, 22/1/2021)
Harga daging sapi meroket, penyebabnya lagi-lagi karena ketergantungan terhadap impor pangan. Padahal jika pemerintah mau memaksimalkan potensi peternakan di Indonesia, sebenarnya dengan kondisi iklim yang memadai akan mampu menyediakan kebutuhan. Hanya karena politik pertanian negeri ini tidak jelas, akhirnya potensi yang dimiliki tidak dimanfaatkan. Terlebih adanya tekanan dari para pengusaha (importir), untuk memilih impor. Di sisi lain, tidak ada political will penguasa untuk menguatkan kedaulatan pangan.
Inilah buah diterapkannya sistem kepitalisme, yang lebih memihak para kapitalis daripada rakyatnya. Alih-alih menyejahterakan rakyat, yang terjadi justru lebih menguntungkan pihak asing. Ketika bebas menaikkan harga sesuka hati, mengakibatkan inflasi dan ketidakstabilan harga. Akhirnya, rakyat yang harus kembali gigit jari.
Berbeda halnya dalam sistem Islam, negara akan menjalankan politik dalam negeri dan luar negeri berdasarkan syariat Islam. Di dalam negeri, negara hadir sebagai penanggung jawab hajat rakyat, termasuk di dalamnya pemenuhan pangan yang merupakan kebutuhan asasi manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR. Muslim dan Ahmad)
Maka, negara akan serius mewujudkan ketahanan pangan dengan cara memaksimalkan potensi peternakan, berupa pemberian kemudahan mendapatkan bibit sapi unggul, menyediakan lahan peternakan, menyalurkan bantuan modal, membangun infrastruktur peternakan, sanitasi, dan lain sebagainya.
Dalam urusan luar negeri, negara harus berdaulat, kedaulatan pangan salah satunya. Negara harus mandiri dan tidak bergantung pada negara lain. Sehingga mudah didikte oleh negara lain.
Dalam hal mengendalikan stabilitas harga, negara melakukan kebijakan dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam, yaitu:
1. Menjaga supply and demand di pasar agar tetap seimbang. Bukan mematok harga barang.
2. Jika supplay barang berkurang, maka yang mengakibatkan harga naik karena demand-nya besar, maka ketersediaan barang tersebut bisa diseimbangkan kembali oleh negara dengan menyuplai barang dari wilayah lain.
3. Jika berkurangnya supplay barang karena penimbunan, maka negara bisa menjatuhkan sanksi ta'zir, sekaligus kewajiban melepaskan barang pemiliknya ke pasar.
4. Jika kenaikan harga tersebut terjadi karena penipuan, maka negara bisa menjatuhi sanksi ta'zir sekaligus hak khiyar, antara membatalkan atau melanjutkan akad.
5. Jika kenaikan harga terjadi karena faktor inflasi, maka negara juga berkewajiban untuk menjaga mata uangnya, dengan standar emas dan perak, termasuk tidak menambah jumlahnya, sehingga menyebabkan jatuhnya nilai nominal mata uang yang ada.
Demikianlah, Islam akan menjadi pelindung bagi pemenuhan hak rakyatnya, menjamin kesejahteraan bagi setiap warga negaranya. Dengan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam naungan khilafah.
Wallahu a'lam bishshawab.
0 Komentar