Budaya Korupsi Lahir dari Sistem Demokrasi

Oleh : Darni Salamah (Aktivis Muslimah Sukabumi)

Korupsi seakan menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan dengan demokrasi. Di mana ada sistem demokrasi, di situlah membudayanya  korupsi. Dikutip dari  Merdeka.com,  Lembaga pemantau indeks korupsi global, Transparency International merilis laporan bertajuk 'Global Corruption Barometer-Asia' dan Indonesia masuk menjadi negara nomor tiga paling korup di Asia ( Merdeka. Com, 20 /01 2020).

Kasus korupsi Bansos di tengah pandemi bahkan menjadi hal yang memalukan. Betapa tidak, disaat rakyat sedang menjerit karena lalimnya negara mengatasi pandemi, negara justru menjadikan rakyat semakin menderita karena hak-haknya dizalimi. Lagi-lagi kegagalan demokrasi yang sistematis. Pincangnya hukum di Indonesia menjadi salah satu hal yang memperkuat korupsi semakin bertumbuh di negara ini. Lantas, jika korupsi adalah hal yang kriminal, mengapa sampai detik ini negara tidak pernah berani memberikan hukuman yang membuat koruptor jera? 

Korupsi seakan menjadi virus yang kronis di Indonesia. Meski menjadi budaya buruk, naasnya praktik korupsi malah semakin menggurita, bahkan sedari Indonesia merdeka, korupsi malah kian menggila. Bukti sistem yang salah kelola.

Penguatan badan anti korupsi bukanlah solusi jitu untuk mengamputasi kasus korupsi hingga akarnya. Tanpa sistem yang benar, praktik korupsi akan senantiasa mengakar hingga Indonesia bangkrut karena dijajah oleh penghuninya sendiri. 

Rakyat butuh hukum yang tidak berkhianat dan membutuhkan sistem yang jujur. Pada hakikatnya, faktor utama dari penyebab korupsi adalah faktor ideologi. Maka langkah utama dilakukan yakni mengganti sistem kapitalis itu sendiri . Kemudian langkah  selanjutnya menerapkan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya berlaku di negeri ini. Hal ini karena sistem yang ada berasal dari manusia yang sudah jelas menyengsarakan manusia.Dalam keterbatasan nya tentu aturan dari manusia tidak bisa menjangkau apa yang dia mau secara menyeluruh. Bahkan yang ada sistem demokrasi mengakibatkan ketimpangan. Sistem yang ada saat tak bisa dipungkiri,  merupakan warisan penjajahan bukan asli bangsa Indonesia yang mayoritas muslim.

Dengan menggunakan hukum warisan Belanda yang notabene buatan manusia (demokrasi,sekularisme,pluralisme)yakni sebagian hukum Islam, hukum adat dan hukum Barat. 

Dalam Islam sendiri, menggunakannya hukum Islam secara sebagian(sekularisme pluralisme)adalah haram hukumnya untuk diterapkan. Jelas dikatakan dalam Quran Surat Al Kahfi ayat 26 bahwa  Allah tidak mengambil seorang pun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum. 

Jelas hukum pluralisme tersebut  harus digantikan dengan hukum yang adil. Dengan diterapkannya syariah Islam (nantinya) sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di negeri ini, maka syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).

Secara preventif salah satunya melakukan rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi saw pernah bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari). Umar bin Khaththab pernah berkata, “Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, ”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk."

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi saw, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, ”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”

Ketiga, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw berkata, “Hadiah yang diberikan  kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).

Keempat, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Kelima, adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka Islam menetapkan jika seseorang memberi teladan yang baik, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya jika memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.

Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”

Kalau memang korupsi telah terjadi, Syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki,Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89). 

Lantas, masihkah kita harus bergantung pada sistem yang tidak menjamin kemaslahatan rakyat? Jika sistem Islam memberikan jaminan yang tak menipu, mengapa kita harus bergantung pada sistem yang senantiasa berkhianat? 

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar