DEFISIT EKOLOGI AKIBAT TIADA KHILAFAH

Oleh: Susanti Pratiwi S. (Mahasiswa Biologi dan Aktivis Dakwah)

Menurut data Global Footprint Network tahun 2020, Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42%. Angka ini menunjukkan, konsumsi terhadap sumberdaya lebih tinggi daripada yang tersedia saat ini dan akan menyebabkan daya dukung alam terus berkurang. Guru besar IPB University dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Prof Dr. Akhmad Fauzi menyebutkan “Kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia masih belum memperhatikan modal alam secara serius”.

Sistem kapitalisme dalam mengatur ekonomi tidak memikirkan dampak buruk bagi alam, yang terpenting mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan harus mendapat untung sebesar-besarnya. Sehingga, kepentingan produksi diatas segala-galanya, wajar jika kepentingan rakyat dan alam diabaikan. Alhasil, dalam sistem kapitalisme ekologi yang seharusnya dilestarikan, malah berada digaris kerusakan. Sumber daya alam di eksploitasi, polusi udara, kebakaran hutan akibat alih fungsi lahan, polusi sungai dan lautan, sampai kepunahan keanekaragaman hayati lainnya, sesungguhnya berasal dari semangat kapitalisme yang bernafsu menjalankan produksi tanpa batas. Segala cara “legal” atas nama kebebasan berekonomi menjadi prinsipnya. Tidak ada yang boleh menghalangi derap langkahnya dalam meraih tujuannya, ternyata hal ini juga didukung oleh sistem politiknya. Selama ini tidak ada kampanye visi politik yang menggangkat tentang lingkungan, yang ada hanyalah tentang “investasi dan infrastruktur”, wajar jika semakin banyak bermunculan para kapitalis yang serakah. Ditambah lagi dengan hukum yang dibuat oleh penguasa untuk melancarkan arus berjalannya proyek kepentingan para kapitalis baik berupa UUD yang berkali-kali diamandemen, UU, KUHP dan berbagai produk hukum lainnya. Setelah terbitnya UU Minerba dan UU Cipta Kerja pada tahun 2020 menunjukkan para kapitalis semakin leluasa dan memudahkannya mengeksploitasi sumber daya alam bahkan, bukan bertujuan untuk melakukan konservasi. Oleh sebab itu, mengharapkan dari penerapan kapitalisme untuk  melindungi dan melestarikan alam adalah suatu kemustahilan seperti mimpi di siang bolong. Solusi yang ditawarkan kapitalisme tidak akan pernah sejalan dengan alam bahkan selalunya menentang alam sebab, sejatinya hukum kapitalis yang berasaskan manfaat dan berasal dari manusia, tak akan mungkin sesuai dengan alam dan seisinya.

Jauh berbeda dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah. Sebab kepemimpinan dalam sistem Islam wajib memberikan jaminan perlindungan bahkan pemimpinnya bagaikan perisai, dan yang berada dibawah kepemimpinannya akan dilindungi baik kehormatan, jiwa, harta maupun lingkungannya. Merusak alam sangat dilarang dalam islam apalagi berkehendak sesuka hati demi meraup keuntungan semata. Sebagaimana perintah Allah dalam QS. Al A’raaf ayat 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. Adapun pembangunan ekonominya akan diiringi kelestarian alam serta di awasi ketat oleh Kepala Negara. Bahkan konsep kepemilikan dan batasannya didalam Islam sudah sangat jelas. Salah satunya ialah kepemilikan individu diperbolehkan memiliki lahan pertanian tetapi tidak boleh memiliki tanah hutan, tanah yang mengandung tambang yang sangat besar dan tanah yang terdapat di atasnya fasilitas umum. Jika ada yang rakus akan semua lahan ini maka, ia akan mendapatkan sanksi dari Negara. Bahkan didalam Islam penjagaan lingkungan maupun konservasi sudah di praktekkan sejak kepemimpinan Rasulullah Saw dan diteruskan oleh para khalifah dengan upaya Hima’. Hima’ merupakan suatu kawasan yang dilindungi oleh pemerintah atau Negara Islam. Hima’ memiliki syarat dan menjadi syarat salah satunya adalah harus lebih menguntungkan masyarakat daripada merugikan mereka. Sedemikian rupa Islam menjaga alam serta kepentingan masyarakatnya tanpa menjatuhkan ataupun mengabaikan salah satunya. Begitulah secercah cahaya kegemilangan peradaban Islam yang indah dan akan kita jumpai banyak cahayanya lagi, hanya dengan satu cara yakni penerapan Islam kembali.

Wa Allahu’alam Bishawab.

Posting Komentar

0 Komentar