Oleh : Wina Apriani
Berbagai media memberitakan sejak awal tahun 2021, Indonesia dilanda banyak bencana alam. Yang terparah tentu adalah banjir di Kalimantan Begitu pun sebaliknya banjir terjadi juga di kota wilayah-wilayah yang lain. Persoalan bencana yang terjadi tidak lepas dari adanya Defisit Ekologi, yaitu Dampak Ekstraksi Sumber Daya Alam. Berdasarkan data Global Footprint Network tahun 2020, Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42%. Angka ini menunjukkan, konsumsi terhadap sumber daya lebih tinggi daripada yang saat ini tersedia dan akan menyebabkan daya dukung alam terus berkurang.
Terkait hal ini, Guru Besar IPB University turut menyampaikan dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Prof Dr Akhmad Fauzi, sebagaimana dikutip dari laman IPB University, turut menanggapi. Menurutnya, kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia masih belum memperhatikan modal alam secara serius. Prof Akhmad juga menyampaikan, saat ini indeks modal alam Indonesia masih rendah, yaitu di urutan 86. Padahal negara tropis umumnya ada di peringkat 10 besar urutan index modal alam.
Dari semua itu terbukti mengakibatkan kerusakan yang cukup masif pada alam di Indonesia. Kerusakan alam ini selain disebabkan oleh alih fungsi lahan, serta laju pencemaran lingkunganpun khususnya air juga tinggi. Selain itu keberagaman alam juga sudah semakin berkurang.
Alhasil inilah yang membuat perekonomian nasional kita melemah. Mengabaikan modal alam berakibat memperbesar angka ketimpangan ekonomi. Pantaslah ini bisa dikatakan sebagai defisit ekologi. Karenanya, penting sekali bagi negeri ini untuk melakukan upaya dalam memperbaiki paradigma pembangunan ke arah yang lebih berkelanjutan. Selama ilekstraksi sumber daya alam sering menimbulkan fenomena histerisis, yaitu dampaknya yang berlangsung lama meski penyebabnya sudah diatasi.
Dalam hal itulah, penting untuk memahami biaya yang harus dibayar oleh generasi selanjutnya akibat kerusakan dari alam. Pasalnya, ekstraksi sumber daya alam bukan hanya untuk satu generasi saja. Tata kelola modal alam harus terus diperbaiki untuk kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang. Selain Alih Fungsi Lahan, nyatanya juga konglomerasi ini bertumbal Ekologi selama ini alih fungsi lahan lebih banyak digawangi konglomerasi. Akibatnya, lahan tidak dikelola oleh negara sesuai dengan kebutuhan. Agar tidak terjadi eksploitasi sampai besar-besaran bahkan overload seperti ini. Contohnya kita bisa melihat yang terjadi di Kalimantan Selatan. Dua ratusan perusahaan tambang menggaruk batu bara di lahan sekitar 506 ribu hektare di Kalimantan Selatan. Sebanyak 85 perusahaan diduga menambang tanpa izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Adapun ketika Direktur utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Mining Industry Indonesia (MIND ID) Orias Petras Moedak Mengusulkan izin usaha pertambangan (IUP) berlaku seumur tambang.Menurutnya hal ini bakal memberikan kepastian usaha bagi para penambang. Selama ini kegiatan usaha tambang diatur diatur dalam jangka waktu tertentu.Ketika penambang selesai mengelola wilayah yang dimaksud, maka penambang harus mencari wilayah kerja yang lain.Bisa dipastikan ketika izin ini diperlakukan akan seperti Apa nantinya yang terjadi?
Sudah Jelas Fakta yang diatas ini baru sebagian kecil. Masih ada data eksploitasi lain yang terjadi saat ini yang masih dibiarkan begitu saja padahal dampaknya sangat berbahaya terhadap lingkungan.Maka, hendaklah kita perhitungkan dari sekarang, akan separah apa dampaknya jika bumi ini kian digerogoti nafsu buas kapitalisme tanpa memperhatikan aspek ekologisnya? Pasalnya, selama ini suara kapitalisme untuk memperhatikan ekologi toh selalu cepat dengan kepentingan ekonomi. Ekologi Defisit, tapi saat ini Ekonomi Pailit. Di balik segala kerusakan ekologi yang telah ditumbalkan bagi kepentingan kapitalisme, nyatanya ekonomi Indonesia tetap pailit. Besarnya PDB dan pendapatan rumah tangga tidak tampak berkorelasi dengan kerusakan alam yang harus dibayar.
Dengan kondisi perekonomian saat ini kita bisa merasakan Indonesia tetap miskin, bahkan makin miskin, apalagi masih terdampak pandemi. Jumlah orang miskin justru makin meningkat. Pasalnya, pandemi ternyata turut mengondisikan golongan yang kaya tetap bahkan semakin kaya, sementara yang miskin akan semakin miskin. Jadi sungguh kerugian bertubi-tubi bagi negeri ini. Ketika di satu sisi sumber daya alam dieksploitasi, tapi sama sekali tak menuntaskan kemiskinan warga negaranya. Disparitas ekonomi si kaya dan si miskin malah makin parah saat ini.
Belum lagi pandemi yang terjadi hari ini kenyataannya semakin meningkatkan kemiskinan. Tapi aktor besarnya adalah pemerataan dan distribusi ekonomi yang benar-benar nol besar. Hampir sebagian orang menyakini Jika Alam Berkah, pasti Distribusi Ekonomi Terarah. Sama halnya ketika Allah Swt. menciptakan sumber daya alam pasti dalam jumlah yang cukup untuk manusia hingga hari kiamat.kita harus Ingat, yang menjadikan sumber daya alam terasa kurang, adalah keserakahan pengusaha negeri ini. Sementara yang menjadikannya terasa cukup, adalah keberkahan. Karena itu, sebagai manusia dengan akalnya, semestinya mengelolanya sesuai dengan petunjuk Allah Swt. Agar bumi kita ini beserta segala isinya senantiasa dialiri keberkahan oleh Allah Swt.
Allah Swt. berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [07]: 96).
Namun, kita tau bahwa negeri ini ada di dalam sistem demokrasi, kapitalisme yang telah memfasilitasi keserakahan para pemodal. Harta kepemilikan umum tak terdistribusi merata bagi seluruh manusia. Ironisnya, di era pandemi yang serba sulit, dunia malah mengumumkan orang-orang terkaya di dunia dengan nilai kekayaan ribuan triliun jika dirupiahkan. Yang dengan uangnya, sejatinya mereka menguasai sumber daya alam milik rakyat. Padahal, sumber daya itu sebenarnya haram untuk mereka miliki secara pribadi. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadist di atas menegaskan bahwa sumber daya alam (hayati dan non hayati) adalah milik umum, di mana manusia berserikat dalam memilikinya. Tersebab hal ini, jelas sumber daya alam tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, beberapa individu ataupun negara sekalipun.
Berbeda sekali, dalam sistem Islam, ada Khilafah yang menjamin terwujudnya ketahanan ekonomi masyarakat. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Khilafah, mewajibkan adanya sirkulasi kekayaan di antara seluruh masyarakat, sehingga tidak terjadi hanya di antara segelintir orang. Ini sebagaimana firman Allah Swt.,“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian…” (QS Al-Hasyr [59] : 7).
Begitupun jika di tengah masyarakat terjadi kesenjangan yang lebar dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka Khilafah akan segera mengatasinya dengan mewujudkan keseimbangan ekonomi. Aturan Islam menjamin distribusi harta ini dengan sebaik-baiknya. Yakni dengan cara menentukan tatacara kepemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, serta menyuplai orang yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Harta tersebut baik yang bergerak ataupun yang tidak bergerak. Harta ini berasal dari Baitul Mal, yang merupakan milik seluruh kaum Muslim.
Oleh karena itu mengakhiri persoalan defisit ekologi hanya dengan kembali kepada sistem Islam melalui Khilafah Islamiah saja yang mampu mewujudkan perintah Allah dan Rasul-Nya terkait pengelolaan sumber daya alam dengan tetap memperhatikan aspek ekologi. Berikut menjaga kelangsungan distribusi ekonomi di tengah wabah yang terjadi saat ini. Inilah yang harus segera diwujudkan oleh kaum Muslim negeri ini.
Wallahu'alam bi ash Shawab[]
0 Komentar